Title : Don’t Believe In Anything
Genre : Family, Friendship, Romance
Rating : General
Language : Indonesia and English
Theme song : YUI
Author : Amel Chan
Synopsis:
Human is a pupil, pain is the teacher.
-Ryosuke Yamada-
Cats:
Ryosuke Yamada as Ryosukey (Nick name; Key)
Dyan patricia P.P as Diyanu (out character)
Aneri (Diyanu’s best friend)
Otousan (Ryosuke’s Dad)
Furata (Ryosuke’s Brother)
Ishida Mura (Rival)
Part 4
Hi Key, How Are You?
June, 11st
“Key, wajah mu terlihat pucat.” Taka menghampiri ku di
dapur. Sebagai waitress seharusnya aku tidak berada didapur. Tapi sekarang aku
bukan sedang bekerja. Setelah mengantarkan pesanan pasta di meja 9, aku dengan
sedikit terseok beristirahat didapur. Koki senior tampak sibuk dengan buku
menu. Suara percikan minyak menguasai suasana dapur. Asisten koki tahu pasti
apa yang harus dilakukan, tanpa ada aba-aba mereka bergerak sesuai dengan yang
diinginkan koki ketua.
Aku berdiri menyandar didinding dekat pintu dapur,
“Tiba-tiba badan ku sedikit meriang, mungkin kelelahan.”
Taka memeriksa suhu tubuh ku dengan punggung tangannya.
“Oh god, badan mu panas sekali. Jangan
dilanjutkan, sebaiknya kau pulang Key. Aku akan menggantikan perkerjaan mu
malam ini.” Taka menarik lengan ku ke ruang ganti. “Ganti pakaian mu dan akan
ku antar sampai halte bis.”
“Tidak, ini sudah yang kesekian kalinya kau menggantikan
aku bekerja. Aku masih sanggup.”
“Dasar bodoh. Cepat pulang, biar aku yang bilang dengan
bos nanti. Lagi pula bos kan tidak datang malam ini.”
Sebenarnya aku segan dengan kebaikan hati Taka. Tapi mau
bagaimana lagi, tubuh ku tidak bisa diajak kompromi. Sekarang pun rasanya sudah
tidak sanggup berdiri lagi. Keringat dingin mengalir dari tangan. Napas ku
sudah mulai tidak teratur.
“Mohon bantuan mu malam ini Taka, aku pulang dulu.” Sendi
kaki ku bergetar, perlahan-lahan kehilangan tenaga. Jangan disini.
Secepat mungkin aku memaksakan diri keluar dari
restaurant dan menuju halte bis. Aku menaiki bis biru yang selalu kutumpangi
saat pulang kerja. Sepi seperti biasanya. Nafasku terasa panas. Satu... dua...
tiga halte sudah dilewati. Dan sekarang bis berhenti di halte ke empat. Aku berdiri
menopang tubuh dengan berpegangan pada kursi-kursi. Kemudian menggesekkan kartu
pada mesin otomatis didekat pintu sebagai transaksi pembayaran.
Untuk sampai kerumah aku harus lanjut berjalan kaki
sejauh 700 meter. Malam ini terasa sangat menyiksa. Tidak ada suara burung
hantu, tidak ada suara seruan mobil, bahkan tidak terdengar suara hembusan
angin. Waktu terasa berjalan sangat lamban, lamban sekali sampai aku tidak bisa
merasakan nafasku sendiri.
“Bughh!!!” Sebuah pukulan kuat menghantam perut ku,
disusul dengan tiga pukulan lain yang berhasil membuatku terjatuh tanpa
perlawanan.
“Aku sudah lama menunggu mu disini”.
Seorang laki-laki seumuran dengan ku berdiri di tengah
jalan.
“Nama mu Key kan? Dengar, ini peringatan. Jangan pernah
mendekati Diyanu lagi !!”
“Mendekati Diyanu? Apa tidak salah? Aku sedang tidak
ingin melayani omong kosong.”
Kata-kata itu hanya untuk melarikan diri dari
kondisi tubuhnya yang semakin tidak bisa dikontrol, pukulan tadi membuat inti
rasa sakit berkembang mengganas. Satu titik diperutku bereaksi cepat
menyebarkan rasa sakit keseluruh tubuh.
“Jadi merebut kekasih orang lain menurut mu itu hanya
omong kosong? Wah hebat sekali. Aku dan Diyanu sudah satu tahun berpacaran,
terakhir sebelum pindah kemari dia berjanji hanya akan melukis wajah ku. Tapi
apa? Semua buku sketsanya penuh dengan wajah mu. Sedikitpun tidak ada niatnya
untuk melukis diriku. Kalau kau pintar seharusnya kau tahu apa arti itu semua.”
Ia menarik paksa lenganku yang sudah tergeletak lemah. “Kenapa tidak melawan?
Takut? Pengecut! Jangan hanya berani bertindak dari belakang, jika benar-benar
hebat lawan aku sekarang!” Dengan penuh emosi orang ini menghantamkan beberapa
pukulan lagi kewajah ku.
Rasanya ingin sekali melawan. Beraninya dia menginjak
harga diriku. Tapi, mana mungkin aku minta break
time dan bilang aku sakit. Tidak bisa bergerak.
Ingatan dan penglihatanku tidak terlalu jelas malam ini,
karena tubuh dan pikiranku sibuk mengatasi hentakan perih di perut. Terdengar
suara samar orang yang ku kenal. Dia membela ku. Suaranya marah. Ada suara bantingan
logam berat, seperti suara tempat sampah yang dibanting. Ada nada ancaman di
kata-katanya.
“Sekali lagi mengganggu sahabatku, aku akan membawa kasus
ini ke polisi! Mengerti?” Orang itu ternyata Taka. Dengan brutal dia mengayunkan
tongkat kayu kearah laki-laki yang tidak ku kenal. Laki-laki itu lari dengan
beberapa memar dibadan.
“Awalnya aku hanya khawatir dengan kondisimu. Takut tumbang
ditengah jalan. Eh malah ada yang menyerangmu. Masih bisa berdiri?” Taka
membantu ku duduk dan bersandar dilengannya.
“Hehh... breng..sek... lain kali tidak akan ku lepaskan.”
Ringis ku.
“Sudah jangan sok jago. Masa melawan orang seperti itu
saja tidak sanggup. Aku antar pulang sekarang.” Ia mengulurkan tangan untuk
membantu ku berdiri. Aku menyambutnya dan...
Tidak bisa bergerak. Gerakkan membuat perut ku semakin
sakit.
Aku meringis sambil membungkuk memegangi perut.
“Pukulan tadi keras sekali yah? Sampai tidak bisa
berdiri.” Taka duduk berjongkok, “cepat naik, akan ku gendong sampai rumah.”
***
Bagaimana bisa suara hening terasa sangat ribut ditelinga
dan membuat ku terbangun. Tubuh ku masih terasa tidak bertenaga. Warna putih
dan biru, dan bau antiseptik ini membuat ku sadar dimana sekarang. Rumah sakit.
Kenapa dia ada disini?
“Ryosukey, kamu sudah bangun yah?” tanya seorang perawat
yang sudah cukup tua.
“Siapa yang membawa ku kemari?”
“Tengah malam kemarin kau digendong oleh temanmu yang
bernama Taka. Saat itu kondisi mu hampir kritis. Apa kau berkelahi dengan
berandalan sampai babak belur begitu?” Jelasnya.
“Aa... yah...” Aku ingat saat Taka menggendongku
kepunggungnya. Ku kira saat itu dia akan mengantarkanku pulang kerumah. Tapi
ternyata...
“Suster... Apa aku sudah bisa pulang sekarang?”
“Ryosukey, tunggulah sebentar lagi, kau akan bertemu
dokter yang menangani mu.” Belum selesai suster bicara panjang lebar pintu
terbuka, dokter berumur 50 tahunan tersenyum hangat.
“Dokter Won?!” aku sedikit terkejut melihat dokter yang
sudah sangat sering kutemui.
“Selamat pagi Key, sebenarnya aku tidak ingin kau berbaring
disini, tapi ada masalah serius yang harus kita bicarakan sekarang. Kau sudah
terlalu lama mengulur waktu.” Ucap dokter Won.
Nama lengkap dokter Won adalah Ji Won Young. Dia orang
Korea Utara yang mendapat beasiswa kuliah di Universitas Tokyo Jurusan Kedokteran
specialis penyakit dalam. Dan sebagai imbalan beasiswa itu Dokter Won harus
mengabdi kepada pemerintahan Jepang dengan bekerja di rumah sakit ini.
Kami sudah lama saling kenal, sekitar satu setengah tahun
yang lalu. Saat pertama kali aku merasakan ketidak beresan pada lambungku yang
ayah bilang penyakit magh. Saat berobat dengannya aku sekalian bertanya meminta
nasehat dan jalan keluar kepada dokter Won untuk menolong cacat kaki ayah. Mereka
banyak membicarakan masalah itu, tidak mungkin menumbuhkan kembali kedua kaki
ayah yang sudah di amputasi. Bila menggunakan kaki palsu ayah masih harus
menggunakan tongkat. Untuk sementara ayah hanya menggunakan kursi roda. Aku berencana
akan mengusahakan ayah untuk dibuatkan kaki robot. Sehingga bisa berjalan tanpa
tongkat walaupun tidak akan seluwes kaki sesungguhnya. Ku rasa itu lebih baik,
jadi ayah bisa menjalankan aktivitas, bekerja, dan pergi ketempat yang dia mau
dengan ringan.
Tapi itu semua butuh biaya besar. Dokter Won yang
bersimpatik tidak mungkin menanggung semua biayanya. Lagi pula dia dokter
spesialis penyakit dalam, amputasi atau pembuatan kaki robot bukan bidangnya.
Tapi dokter Won berjanji kepada ku akan menghubungi dokter yang bisa menangani
masalah itu dan membicara apa saja yang dibutuhkan, berapa biaya yang harus
dikumpulkan. Aku meminta waktu dan pertolongan sekali lagi kepada teman dokter
Won yang akan menangani ayah kalau sudah waktunya nanti, agar mau menunggu uang
untuk hal itu terkumpul. “Beri waktu aku sekitar 2 tahun”, itulah yang aku
katakan kepadanya dulu, lalu aku mulai gila bekerja.
Disaat yang bersamaan juga aku bercerita kepada dokter
Won tentang kakak yang buta karena mengalami Step saat kecil. Dokter Won
membantu ku lagi dengan sungguh-sungguh. Dia memperkenalkanku yang cuma anak
baru tamat Junior High School kepada
sahabatnya dokter spesialis mata. Dokter spesialis mata meminta ku membawa
kakak atau Furuhata kerumah sakit supaya diperiksa seberapa parah kebutaan yang
dialami. Dengan susah payah aku berhasil membawanya kerumah sakit, tapi
Furuhata memberikan syarat, biaya pemeriksaan akan Furuhata tanggung sendiri.
Oke lah, tidak masalah bagi Key, yang penting tindakan sesudah pemeriksaan itu
nanti.
Dokter sudah memperoleh data kondisi kesehatan Furuhata.
Katanya jika dilakukan operasi amplatasi mata, Furuhata masih memiliki peluang
untuk sembuh. Senang mendengar peluang itu, Key meminta waktu juga kepada
dokter untuk memberikan dia waktu 2 tahun. 2 tahun ini dia akan berusaha
mengumpulkan biaya dan mempelajari prosedur yang harus dijalani saat operasi
nanti akan dilaksanakan.
Keberuntungan yang besar, ketiga orang dokter itu mau
membantu anak yang baru masuk senior high school seperti ku. Walaupun aku tahu
mereka skeptis terhadap rencana dan usaha yang akan aku lakukan.
Ke-skeptisan dokter Won dan teman-temannya aku tampis
dengan kerja keras banting tulang. Dokter Won tahu pekerjaan apa saja yang ku
geluti termasuk membuatkan karya ilmiah dan skripsi. Sekalipun itu pekerjaan
yang salah. Tapi aku butuh pekerjaan itu, karena upah yang diperoleh bisa
sampai puluhan juta untuk 1 buah karya tulis.
Itu semua kulakukan demi ayah dan kakak.
“Suster, tolong tinggalkan kami berdua.” Dokter Won
tersenyum kepada suster dan mencari posisi duduk yang nyaman disamping kasur.
“Hal serius?” kening ku berkerut. “Sebelumnya bolehkah
aku duluan yang bicara dokter?”
“Tentu saja Key, katakan saja”
“Aku ingin operasi ayah dan kakak dilaksanakan minggu
ini. Aku mohon lakukanlah pemeriksaan dan prosedur operasi. Buatkanlah kaki
robot yang pas untuk ayah. Aku takut tidak ada waktu lagi untuk itu. Ku rasa uang
yang terkumpul sudah cukup.” Pinta ku memelas.
Dokter Won terdiam, cukup kaget. Dan tersentuh. Dari awal
bertemu dengan Key dia sudah merasa sangat menyayanginya seperti anak sendiri.
“Bukan itu yang ingin aku bicarakan tadi Key” ucap dokter
Won.
“Tapi ini yang ingin aku bicarakan sekarang dokter. Hal
ini lebih penting dari apapun juga bagi ku di dunia ini. Walaupun ada sedikit
kekhawatiran biaya pembuatan kaki ayah akan kurang. Tapi ku mohon lakukanlah,
aku mohon dengan sangat.” Key menundukkan kepala dalam-dalam sambil duduk di
kasur rumah sakit. Tangannya keram karena terinfus.
“Jika biayanya kurang, aku rela menjual kornea mataku
untuk orang yang membutuhkannya. Aku akan menjualnya dengan harga tinggi.
Dokter tidak usah khawatir, aku akan membuat surat persetujuan diatas materai
mengenai pengakuan ini.” Jelasku dengan panik.
“Hentikan Key.” Dokter Won memegang tangan ku. Terasa
seperti tangan ayah. Aku tidak ingat kapan ayah menggenggam tangan ku seperti
ini.
“Dari kata-kata tadi sepertinya kau sudah paham dengan
kondisimu sendiri Key. Kanker usus yang kau derita sejak hampir setahun ini
sudah berada di ambang kronis. Aku sudah menjelaskan kepadamu sebelumnya bahwa
ini adalah kanker terganas dari segala jenis kanker. Sampai saat ini belum ada
yang selamat dari kanker usus. Tapi kita sudah berusaha memberikan perawatan
dan obat yang kau butuhkan. Aku hanya menyesali kenapa kau tidak mau mengikuti
kemoterapi? Aku sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Jangan mengkhawatirkan
biaya kemoterapi karena aku yang akan menaggungnya. Tapi watakmu memang keras
kepala.” Ucap Dokter Won perlahan.
“Itu tidak penting dokter, yang ada dikepalaku hanya ayah
dan kakak. Percuma melakukan kemoterapi pada penyakit yang kemungkinan
sembuhnya hanya 0,1 persen. Untuk apa? Setidaknya aku ingin melakukan hal yang
berguna sebelum aku mati. Sekarang yang aku butuhkan adalah dukunganmu dokter,
aku mohon.” Key menundukkan kepalanya, bukan untuk memohon. Tapi karena air
matanya mengalir.
Mengapa air mata ini mengalir?
Apa karena takut dokter
Won tidak akan menolongnya?
Apa karena terharu akhirnya ayah dan kakak akan
dioperasi?
Apa sedih karena aku tidak mencoba kemoterapi dan bertaruh dengan
kesempatan sembuh yang kecil? Apa aku sedih karena takut mati?
Apa aku sedih
karena takut tidak bisa melihat ayah dan kakak lagi?
Atau aku sedih karena nasib
yang harus ku jalani?
Mengapa air mataku ini mengalir? Sudah sejauh ini kenapa
harus menangis?
Kali pertama melihat Key menangis, gejolak perasaan
menyesal dan sayang menggerakkan tangan dokter Won untuk merangkul Key kedalam
lengannya yang sudah tidak kekar lagi. “Kau anak laki-laki ku Key” bisiknya.
Key menangis tanpa suara.
June, 17th
Tindakan medis untuk ayah dan kakak dilaksanakan diminggu
yang sama tetapi dirumah sakit berbeda di kota itu. aku menyerahkan masalah
pembiayaan kepada dokter Won, semua hasil tabungan diberikan semua kepadanya.
Karena aku mengkhawatirkan hal yang besar sekali jika aku tidak menyerahkan
uang itu.
Ayah butuh proses yang lebih santai dan waktu cukup lama
untuk pembentukan kaki palsu elektriknya. Tidak ada yang perlu diperhatikan.
Furuhata sejak lima belas menit yang lalu masuk keruang
operasi untuk menjalani tranplantasi mata. Seorang wanita yang tewas karena
kecelakaan menyumbangkan kornea matanya untuk furuhata.
Malam terasa panas. Kekhawatiran memenuhi dada ku. Lalu
seorang perempuan mengenakan sweter putih dan rok ungu duduk disampingku.
“Tolong maaf kan perbuatan Ishida pada mu kemarin. Aku
tidak tahu kalau dia memukulmu malam itu. tadi sore aku baru tahu dari Taka.
Aku bertanya padanya kenapa kamu sudah seminggu tidak masuk kerja, kemudian dia
menceritakan kejadian itu.” Diyanu bicara ragu-ragu.
“Tidak apa-apa, lupakan saja.” Key melihat daun yang
berdesir tertiup angin malam. Suaranya menenangkan, seperti nyanyian pengantar
tidur.
“Sejak awal kau selalu menguntitkukan Diyanu?” ucap ku
datar.
Diyanu menoleh dengan sangat terkejut.
“Itu, itu .... aku hanya...”
“Tidak apa-apa. Aku tahu dan hanya membiarkanmu
mengikutiku kemana-mana. Ternyata di perhatikan itu menyenangkan juga.” Kalimat itu terlontar dengan posisi yang sama
saat aku melihat desiran daun.
Kami duduk di kursi di bawah pohon ex. Aku tidak menunggu
operasi Furuhata di dalam karena hanya akan membuat dada ku semakin sesak.
“Tolong maaf kan aku” bujuk Diyanu.
“Diyanu apa kau mau menolong ku?”
Sedikit bingung dengan sikap Key, Diyanu mengangguk,
“Baiklah, untuk apa?”
“Kau sudah tahu apa saja yang aku lakukan setiap hari.
Apa ada yang ingin kau tanyakan? Tanyakan saja. Karena nanti jika terjadi
sesuatu padaku. Dan jika ada yang bertanya tentang aku tolong beri tahu mereka
semua yang kau ketahui. Jadi tanyakan apa yang ingin kau tanyakan.” Key
mengalihkan pandangannya dari daun pohon ke arah Diyanu.
“Ada apa ini? Aku tidak tahu apa yang terjadi. Dan kau
bicara aneh seakan-akan mau terjadi hal besar.”
“Jangan ingkari janji, kau bilang akan membantu ku kan.”
Diyanu benar-benar heran. Dia seperti berhadapan dengan
seorang jenius yang mematikan pikirannya.
“Baiklah, kau sudah tidak dirawat dirumah sakit. Tapi
kenapa masih berada disini?” tanyanya
“Ooh, Furuhata sekarang menjalani operasi transplantasi
mata. Aku harap operasi itu berhasil.”
“Benarkah? Seharusnya kau memberi tahu aku sebelumnya.
Kita kan tetangga. Jadi aku bisa mengajak ibu dan Aneri menemanimu disini.
Kalau begitu mana ayahmu?”
“Ayah sekarang dirawat untuk pembuatan kaki barunya. Aku
harap itu juga akan berhasil.”
Diyanu melotot kesal kepada Key, “Untuk hal yang
sepenting ini kau tidak memberitahukannya kepada tetangga dekat mu hah?”
Key diam menatapi telapak tangannya yang bergetar.
“Kau kedinginan Key?” Tanya Diyanu, ia memberika syal
yang dibawa didalam tas kepada ku.
“Terima kasih” aku menyambut syalnya.
“Ada lagi, kenapa kau selalu berkelahi dengan ayah dan
Furuhata?”
“Ternyata kau terganggu dengan perkelahian itu yah.” Key
tersenyum miris. “Hampir sebagian besar keributan itu karena ulah ku. Aku
selalu pulang telat, membantah kata-kata ayah dan Furuhata, antisosial,
seenaknya. Aku rasa itu hal yang wajar jika mereka marah. Tapi itu semua demi
mereka.”
“Maksud mu?” Diyanu mengerutkan alisnya.
“Sebelum pindah ke Kagoshima kami tinggal di Yokohama.
Aku murid yang nakal dan sering membuat keributan bersama-sama geng ku. Kami
tauran dan berkelahi untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan masing-masing
geng. Yah saat itu, geng ku sangat terkenal karena orang-orang didalamnya. Keluargaku
kerepotan karena masalah yang timbul hahahaha....” aku tertawa pelan.
“Sampai saat pengeroyokan itu terjadi. Aku sendirian
pulang dari rumah sahabatku. Geng lawan mengeroyok dan menghajarku
habis-habisan untuk balas dendam karena aku membakar uang hasil rampokan mereka
dari anak elementary school. Uang itu
tidak banyak kok. Tapi mereka dendam sekali ternyata. Saat itu ayah datang
membantuku, dan seorang dari geng lawan mendorong ayah sampai jatuh dari
jembatan penyeberangan. Dan tidak disangka, sebuah mobil melindas kedua kaki
ayah sehingga lumpuh seperti sekarang. Itu semua salah ku.” Aku terdiam cukup
lama sebelum melanjutkan cerita.
“Sejak saat itu aku mengutuk diri sendiri. Aku menyesal
sedalam-dalamnya. Ibu ku sudah meninggal, Furuhata buta dan butuh perhatian
lebih, dan sekarang ayah ku cacat seumur hidup. Ayah kehilangan pekerjaan.
Penyesalan semakin besar saat aku sadar bahwa dikeluarga ku sudah tidak ada
yang bisa bekerja mencari nafkah. Pengobatan ayah butuh waktu berbulan-bulan
sampai dia bisa duduk dikursi roda. Butuh biaya untuk hidup. Waktu itu aku
hanya bisa menguras semua tabungan ayah untuk menutupi biaya pengobatan dan
kebutuhan sehari-hari. Lalu semakin kusadari, uang itu menipis dan hampir
habis. Aku mulai mencari pekerjaan dan berbohong mengenai usia agar diterima
bekerja. Awalnya di Yokohama aku bekerja sebagai tukang cuci piring dan
pembersih di panti jompo. Dengan kondisi keluarga dan pikiran tertekan, geng
lawan masih saja mencari masalah dan memancing keributan. Mereka berhasil
membuat ku dipecat 3 kali dari tempat kerja. Lalu aku meminta ayah untuk pindah
dari Yokohama kemana saja, untuk memulai hidup baru dan berjanji tidak akan
membuat ulah lagi.”
Diyanu melihat key menggosok-gosok tangannya, mungkin
dingin.
“Akhirnya kami pindah kepulau ini, Kagoshima. Dan seperti
janji kepada ayah, aku tidak membuat ulah. Setelah pindah banyak yang aku
pikirkan. Kecacatan ayah adalah tanggung jawabku. Jadi aku memikirkan rencana
pembuatan kaki penolong untuk ayah. Aku ingin nanti Furuhata bisa menafkai diri
sendiri dan membantu ayah, jadi aku juga
memikirkan cara operasi tranplantasi mata untuknya. Kemudian aku menyadari ada
yang salah dengan tubuhku. Hal itulah yang membuatku gila kerja tanpa
memikirkan waktu. Karena aku harus mengumpulkan uang dalam jumlah besar dengan
cepat.”
“Ada yang salah dengan tubuhmu? Apa itu” tanya Diyanu
hati-hati.
“Awalnya dokter Won mengira aku menderita penyakit magh
dan semakin kronis. Tetapi beberapa minggu sesudah itu dia menemukan sel sel
kanker diususku. Dan dia mengatakan bahwa kau menderita gejala awal kanker
usus. Akhir-akhir ini aku merasa itu semakin memburuk. Jadi aku memohon operasi
ayah dan Furuhata dilakukan minggu ini.”
“Bagaimana keadaan mu sekarang?” Diyanu cemas, dia
seperti tidak perduli dengan operasi Furuhata atau ayah. Dia mengkhawatirkan
Key.
“Terima kasih sudah mendengarkanku, tapi aku tidak akan menjawab
pertanyaan yang satu ini. Karena jika ada yang bertanya tentang penyakit ku,
dokter Won lah orang yang paling tahu dan paham apa yang harus dia jawab.” Key
melirik arlojinya. Sudah setengah jam sejak mereka berbincang-bincang.
“Apa ayah dan furuhata tahu kau yang membiayai dan
merencanakan operasi ini?”
“Tidak, mereka tidak akan mau jika tahu aku yang
membiayainya. Dokter bilang bahwa ada suka relawan yang bersedia mendanai. Ah
aku lelah, maukah kau menjaga Furuhata disini sampai operasi selesai? Aku sudah
menelepon Taka untuk menemani ayah di rumah sakit. Sekarang aku mau pulang,
mandi dan beristirahat. Besok setelah mengurus izin sekolah aku akan kembali
kemari.” Jelas ku pada Diyanu yang tampak agak bingung dan empati.
“Iyah, pulanglah. Percayakan Furuhata pada ku.” Diyanu meyakinkan.
Aku menyodorkan syal ungu kepada Diyanu dan melangkah
pulang.
***
June 18th
Suara jam weker sudah berdering sejak lima menit yang
lalu. Dalam keadaan normal suara weker itu terdengar nyaring dan memekakkan
telinga. Tapi suara itu terdengar samar ditelinga ku. Aku bangkit dan mematikan
weker. Segera mencuci muka dengan gerakkan lambat. Aku berjanji pada Diyanu
setelah mengurus izin sekolah akan segera kerumah sakit. Jangan sampai Diyanu tidak
sekolah karena dia. Rencananya aku akan bilang kepada kepala sekolah bahwa
Diyanu membantu keluargaku menjaga Furuhata dirumah sakit dan akan segera
datang kesekolah saat Aku tiba di rumah sakit. Kepala sekolah pasti akan
mengizinkan Diyanu masuk kelas walaupun terlambat 2 jam.
Aku mengenakan jaket biru favorit. Tanpa mengulur waktu
aku berlari kearah tangga. Tapi baru dua langkah menuruni anak tangga, aku
merasakan sentruman kuat keseluruh tubuh. Hentakan kencang dikepala. Dan
kucuran darah dari hidung tanpa terbendung. Pandanganku berputar. Tubuhku
kesemutan total dan perih. Aku tidak bisa merasakan keseimbangan tubuh lalu jatuh
terguling dari tangga. Kepalaku membentur lantai bawah tangga. Rasa sakit yang
sebenarnya bukan karena benturan itu. Tapi dari seluruh tubuh. Perut ku sakit
sekali. Aku meringkuk dilantai, memegangi perut. Kepala ku pusing. Terasa mau
pecah. Cairan kental terasa menghambat saluran pernapasan. Aku terbatuk-batuk
dengan mengeluarkan bercak merah. Tuhan tolong.... aku ingin tahu apakah
operasi kakak berhasil. Aku ingin tahu keadaan ayah. Tolong berikan aku waktu
sedikit lagi seperti yang sudah kau lakukan selama ini. Tolong tuhan....
Tanpa disadari air mata ku mengalir, mengalir dengan sendirinya
dan tulus. Jika harus pergi pun tidak apa-apa. Aku sudah melakukan tugas ku.
Tugas ku sudah selesai.
Ayah, kakak..... Tolong maafkan aku. Aku yang selalu
membuat kalian susah.
Tolong jangan marah padaku lagi. Karena sekarang aku
rindu tertawa bersama kalian. Aku rindu bercanda sambil menonton televisi.
Tolong jangan membenciku karena pergi dengan cara seperti
ini.
Percayalah, aku ingin selalu bersama kalian, aku ingin
melihat kakak menikah. Aku ingin melihat ayah bekerja lagi. Dan suatu hari
nanti aku ingin kita bertiga bersama-sama kembali ke Yokohama untuk menjenguk
Ibu seperti dulu. Aku ingat, waktu itu ayah menuntun tangan ku. Aku memegangi
ujung baju kakak. Dan kakak menggendong karangan bunga untuk Ibu. Kita berdoa
dan tertawa bersama di pusaran Ibu. Walaupun sedih tapi ada rasa bahagia di
dalam dadakan?
Getaran tubuh ku tidak terkendali. Aku batuk
sejadi-jadinya dan merasakan tubuhku mulai mengejang. Sistem gerak terasa mati.
Tubuh bergerak mengeras. Tapi aku masih bisa merasakan raut wajahku menahan
rasa sakit. Perlahan-lahan tubuh ku melemas dan satu detik kemudian pikiran ku
hilang. Semuanya hilang......
.................
*****
Lima tahun kemudian
“Key, apa kabar? Kau baik-baik saja kan?” Aku meletakkan
karangan bunga diatas batu nisan Key. Pusaran itu terlihat bersih dan terawat.
Masih ada titik-titik air sisa hujan kemarin malam di atas batu nisannya.
Diyanu memandangi lekat photo yang berada didalam batu
nisan. Aku menyentuh wajah didalam photo itu dengan lembut dan penuh harap.
“Rindu sekali Key....... Kami semua sangat merindukan mu.
Semuanya, kami merindukanmu. Apa kau tidak merasakannya Key?” satu titik air
mata mengalir dan disusul tetesan air mata yang lain.
“Maaf yah, setelah lima tahun, baru sekarang aku bisa
mengunjungimu disini. Sungguh maafkan aku. Aku berani bersumpah setiap saat aku
merindukan mu. Mencatat hari demi hari yang aku lewati setelah kepergianmu.”
“Hey, kau tahu tidak. Ayah mu sekarang membuka toko
penjualan mainan anak-anak di pusat kota kagoshima ini. Di tengah toko dia
memajang photo diri mu dan ibu besar sekali. Dan setiap akan membuka dan
menutup toko ia selalu menatapi photo mu dengan dalam. Semua orang tahu arti
tatapan itu.... tatapan yang penuh kasih.... aku rasa ayah sering mengunjungi
mu disini, iya kan?”
Diyanu tersenyum bahagia dan pedih.
“Oh ya, apa Furuhata sudah pernah mengunjungi mu kemari?
Dia sekarang tinggal di Yokohama. Kembali membeli rumah yang dulu kalian
tempati. Kabar baiknya dua tahun yang lalu dia menikah denga sahabatku Aneri
dan sekarang anak mereka sudah berumur enam bulan. Anak laki-laki tampan yang
mereka beri nama Key Sora, ada
harapan yang besar dibalik nama itu Key. Huuh ternyata orang yang Aneri cintai itu
kakak mu ahahha.....” Aku tertawa dengan perasaan yang ..... entahlah.... aku
bahagia untuk mereka, untuk mu, tapi didasar hati, ada sisa kepedihan yang
tidak bisa hilang Key....
Aku pedih jika memikirkan semua pengorbanan yang kau
lakukan. Kau mengorbankan kebahagiaan dan hidup mu....
Apa kau bahagia selama ini key?
Dan apa sekarang kau bahagia?
Iya kan? Kau bahagia?
Jika kau bahagia, aku baru bisa melanjutkan hidup ini
dengan tenang.
“Kau mau tahu kabar ku tidak? Setahun lagi aku akan
menyelesaikan kuliah di Universitas Tokyo jurusan kedokteran. Aku akan berusaha
menolong orang-orang yang menderita penyakit kanker. Aku berjanji pada mu Key.
Saat bertemu dengan anak-anak di panti kanker, aku menemui beberapa anak yang
putus asa dan pesimis. Aku bingung bagaimana cara menghibur mereka, tapi sosok
mu selalu menguasai pikiranku. Dengan spontan aku menceritakan kisah mu pada
mereka. Dan ternyata kau adalah sosok inspiratif yang mampu membangkitkan
semangat hidup mereka.”
Aku sudah menanam janji itu didalam hati.
Aku masih ingat tempat favorit ku saat mengamati mu dari
jendela kamar. Aku selalu duduk di dekat jendela dan mengamati semua yang kau
lakukan. Dari sana aku melihat kau mengantar koran dipagi hari dengan sepeda
dan pulang dari kerja dimalam hari.
Bodoh....
Seharusnya malam
itu, aku mengucapkan hal yang paling ingin ku ucapkan.
Aku mencintai mu
Key, dengan tulus, dari lubuk hati.
Yah.. Baiklah, satu jam lagi pesawat ke Tokyo akan
berangkat. Aku harus segera pulang dan melanjutkan hidupku. Jangan khawatir
Key, aku akan kembali lagi mengunjungimu. Percayalah....
Sebelum melangkah pergi meninggalkan pemakaman, aku
mengecup pedih nisan yang ku rindukan.
Sampai jumpa lagi Key.
*****
“Key, apa kabar?
Kau baik-baik saja kan?”
The End
----------------------------------------------------------------------------------
I just try make the story which can be our inspirate. Its
not really good. But I love Key character here. He is strong, smart. But stupid
because he is think can feel all the pain and walk alone. Maybe all will be
different if he want share his pain to other.
I could writen this story because in my mind Key is
Ryosuke Yamada.
..........
“Hi Key, How are you? Are you okay? We all miss you.”
-Amel Chan, September 2011-
Sugoi ceritanya Nee-chan ^^
ReplyDeleteAku suka banget, suka sama Key ^^
Huhuu~ dia keren, tapi kasian T_T
dia cuma seorang key ^^
Deletesugoi ^ ^
ReplyDeleteAku terharu membacanya T^T
KEREN >_< aku hampir nangis baca nya TT-TT
ReplyDelete