NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Friday, July 29, 2011

Don’t Believe In Anything (1/4, Indonesian)

Details: Quarterlogy
Title    : Don’t Believe In Anything
Genre : Family, Friendship, Romance
Rating : General
Language       : Indonesia and English
Theme song  : YUI- Good Bye Days
Author            : Amel Chan

Synopsis:
Human is a pupil, pain is the teacher.
-Ryosuke Yamada-

Cats:
Ryosuke Yamada       as        Ryosukey
Dyan patricia P.P        as        Diyanu (Out Character)
Aneri (Diyanu’s best friend)
Otousan (Ryosuke’s Dad)
Furata (Ryosuke’s Brother)
Ishida Mura (Rival-male)

Part 1
SMALL TOWN

Sampai sekarang aku masih merpertanyakan apa yang membuat Ibu bersikeras pindah ke kagoshima prefecture. Dilihat dari sisi manapun lebih baik kami tetap berada di Osaka. Bukan hanya tentang fasilitas yang aku bicarakan, tetapi yang terpenting adalah teman-temanku. Rumah dan lingkungan tempat aku tumbuh besar. Jalan yang setiap hari aku lalui bersama teman-teman saat pergi dan pulang sekolah. Tempat karaokean yang hampir setiap bulan kami kunjungi. Mall, taman, coffe shop, takoyaki shop. Dan sekolah.... Sekolah yang berisi orang-orang yang aku sayangi.

Apa Ibu harus memaksa ku mengucapkan selamat tinggal pada itu semua?

Dan Ibu sudah berhasil membuat ku melakukannya.

Selamat tinggal kebahagiaan ku....

Selamat tinggal hidup ku.....


Ketika mobil fan yang ayah sewa memasuki jalanan sempit dan berhenti disebuah rumah yang cukup besar, kota kecil itu terlihat sunyi sekali. Tidak ada salak anjing menyambut mereka, tidak ada deru kendaraan lain yang melintasi tempat itu. Lonceng gereja tidak berdentang. Apa karena sekarang pukul 3 pagi? Sunyi. Semuanya terlihat seperti kota mati, sesunyi perasaan ku yang terasing. Bagaimana tempat ini akan mempermainkan nasibku nanti? 

Rumah bertingkat dua dan berwarna coklat susu. Terlihat cukup mewah dan luas dibanding dengan rumah lain disekitarnya. Saat melangkahkan kaki keluar dari mobil, aku bisa langsung melihat pekarangan rumah baru kami. Rumput hijau yang terawat. Beberapa bunga berwarna kuning bermekaran di pinggir rerumputan. Entahlah apa nama bunga itu, tapi terlihat sederhana dan elegan. Bunga itu mengeluarkan aroma terapi yang menenangkan. 

Perjalanan panjang serta malam yang melelahkan. Ayah dan Ibu segera mengeluarkan barang-barang dari mobil. Aku tidak mau membantu mereka. Karena masih marah dengan kepindahan ini dan harus memulai semuanya dari nol.

Aku memegangi gagang pintu bulat dan memutarnya kekanan. Pintu terbuka. Tidak ada bau debu yang tersisa. Aku rasa penghuni rumah yang sebelumnya belum lama meninggalkan rumah ini. Ruang tamu dengan kursi modern bergaya barat cocok sekali dengan beberapa lukisan Perancis yang tergantung didinding. Aku segera meninggalkan ruang tamu dan mencari kamarku. Disepanjang perjalanan tadi ayah selalu membicarakan keadaan rumah baru kami. Rumah yang luas, ada halaman belakang, ada empat kamar, ruang santai, blah blah blah... dan yang paling kuingat ayah bilang kalau kamarku ada ditingkat dua. 

Mataku mencari lorong tangga dan menaikinya dengan tidak sabar. Di anak tangga terakhir aku hanya menemukan satu pintu. Dan sepertinya memang hanya ada satu ruang di tingkat dua. Pintu tidak berdenyit saat ku geser. Tanganku meraba-raba dinding mencari kontak lampu. Kegelapan membuatku tidak bisa menemukannya. Aku mengeluarkan ponsel dari tas ransel yang dari tadi bergelayutan dipunggung. Cahaya dari ponsel cukup terang untuk aku dapat menemukan kontak lampu yang ada disamping lemari tidak jauh dari pintu. Aku melontarkan pandangan liar kesekeliling kamar. Kamar yang sangat luas, dua kali luas kamarku yang dulu. Kasur mungil tersusun disudut kamar. Meja kecil dan karpet coklat ditengah ruangan. Ada dua pot bunga androllium di dekat jendela yang ditutupi gordeng putih. Sebuah lemari belajar, seperangkat personal komputer, sebelas burung kertas yang menghiasi langit-langit kamar. Tidak terlalu banyak perabotan dikamar dan aku suka tatanannya. 

Terdengar suara plastik pecah saat tas ransel dibanting ke atas kasur. Mungkin kertas steroform tempat ayam bakar yang dibeli tadi siang. Aku tidak terlalu menghiraukannya. Cukup lelah dengan psikologis ku yang payah. 

Cahaya bulan yang temaram menarik minat ku untuk membuka  jendela. Waw, mataku terbelalak melihat pemandangan kota yang indah. Lampu seakan berkerlap kerlip. Aku bisa melihat pantai dan mendengar suara deburan ombak. Mengapa ayah tidak bilang kalau didekat sini ada pantai. Lalu mataku tertuju pada seorang laki-laki yang berjalan cepat dan sedikit terseok. Suasana yang temaram membuatku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia memasuki pekarangan rumahnya yang kecil tepat berada disamping rumah baru ku. Belum sempat ia memasukkan anak kunci pintu sudah terbuka. Seorang laki-laki berbadan sama besar menghalangi jalannya dipintu.

“Key, Kau tahu sekarang jam berapa?” tanya orang itu tanpa berpindah tempat.

“Kenapa?! Kau terganggu?! Tidak suka?! Mau aku pulang jam berapa itu bukan urusan mu. Lagi pula aku selalu pulang jam segini.” Sosok yang dipanggil Key mendorong orang itu dengan paksa sampai hampir terjatuh. 

Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Pintu ditutup dan aku menjadi sangat penasaran. Jam setengah empat malam. Rasanya wajar kalau orang itu marah, hmmm mungkin dia kakaknya Key. Apa Key senakal itu? Dia tetangga pertama yang aku lihat. 

***
May 27th

Beberapa gerombolan anak sekolah berpakaian senior high school berlari-larian kecil menuju sekolah. Pakaiannya sama dengan ku. Sepertinya satu sekolah. Temperatur yang hangat membuat mood ku cukup baik pagi ini. 

Ada tiga pohon mapel dihalaman sekolah. Halaman dilapisi semen dan bersih. Suara sepatu tidak terlalu berdentum karena di alam terbuka. Rasanya tidak terlalu sulit untuk beradaptasi. Masalahnya, apa aku bisa menemukan seorang sahabat disini? Cukup, jangan terlalu banyak berfikir Diyanu. Sebaiknya segera keruang guru dan menemui wali kelas. 

Wali kelas ku guru muda yang cantik. Katanya dia baru diangkat jadi guru lima bulan yang lalu. Bisa dikatakan masih junior dibanding dengan rekan kerja yang lain. Tapi dari wajahnya semua  orang bisa menebak kalau dia wanita yang cerdas. Cara bicara dan gerakannya elegan. Kharismanya terlihat alami. Tidak perlu berlagak bisa untuk menunjukkan kalau dia memang bisa melakukan segala hal. Karena dia memang sudah terlihat seperti itu. 

2-C. Pergi ke gedung 2, dari pintu depan belok kiri naik ketangga pertama, ambil arah kanan. Kelas urutan ke tiga adalah kelas 2-C. 

Okeh, pertama masuk ke gedung 2. Tujuh buah susunan lemari loker menyambut kedatangan ku. Aku mencari loker nomor 59 dan mengganti sepatuku dengan sepatu indoor putih. Here I go! Perlahan aku menarik napas dalam-dalam sambil berjalan menaiki tangga.

Brakk!!

Ada kecelakaan kecil tepat lima anak tangga diatas ku.

“Hey! Pakai mata mu! Aku rasa kau harus menanggalkan kaca mata tebal yang membuat kau semakin rabun.” Laki-laki itu melirik lawan jatuhnya seakan-akan berhadapan dengan mahluk menjijikkan. Ia menyibakkan baju yang bersenggolan dengan lawannya. Lalu pergi dengan menendang buku tebal yang terjatuh. Sialnya buku itu tergelinding mengenai kaki kiri ku.

Si kaca mata diam saja mendengar kata-kata itu. Dia memperbaiki letak kaca mata dan memungut lembaran kertasnya yang berserakan ditangga. Aku memungut buku tebal yang mengenai tulang kering ku tadi. Membantu menggumpulkan sisa lembaran kertas. Eeh, Ini bukan kertas biasa. Kertas photo dengan gambar-gambarnya yang dibidik dari berbagai tempat. Lama aku memandangi sebuah photo sederhana yang terakhir ku pungut. Hanya gambar sebuah daun yang sedang jatuh gugur dari dahannya. Gambar close up dengan resolusi tinggi. Tapi, daun itu terlihat sedih. Suhu di dalam photo seperti di musim dingin. Gugurnya perlahan. Tapi aku melihat sepertinya daun itu belum mau gugur. Dan pohonnya pun seperti tidak ingin daun itu gugur dengan cepat. Bukan daun kering. Ia hanya layu dan tidak kuat untuk tetap berusaha berada di dahan. Akhirnya dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia tidak bisa melawan takdir yang menggugurkannya. 

Aku tertegun karena photo yang ada ditanganku ditarik secara tiba-tiba. 

“Terima kasih sudah membantu.”

“Eh, iyah. Bukan apa-apa. Kau suka memotret yah?” Tanyaku seraya menyodorkan buku dan lembaran photo lainnya.

“Tidak. Terima kasih.” Ia memutar badan dan menaiki tangga  sambil memegangi perutnya.
Aku berlari menyusul. 

“Tunggu! Aku Diyanu. Panggil aku Diyan. Tolong beri tahu aku dimana letak kelas 2-C.”
Ia tidak menghentikan langkahnya. “Setelah tangga ini belok kanan, disana ada kelas yang kau cari.” 

“Terima kasih, nama mu?” sebenarnya aku masih ingat petunjuk wali kelas tentang dimana letak kelas 2-C. Aku hanya berusaha mencari topik untuk calon teman pertama ku di sekolah. Tapi sepertinya dia tidak bersahabat.

“Key. Berhenti bertanya dan carilah kelas mu.” Ia berhenti, duduk ditangga dan menunggu aku pergi dari hadapannya.

Key? Aku seperti pernah dengar nama itu. Tapi dimana?

“Baiklah, sampai jumpa lagi Key.” 

Huuffh, kalau boleh jujur. Orang yang bernama Key ini membuat ku illfeel. Kenapa di jaman semodern ini dia masih menggunakan kaca mata tebal yang bergaya jadul. Lalu ada apa dengan gaya rambutnya? Dibelah dua dan dilumuri minyak rambut yang sangat berminyak. Baju yang dikancing sampai leher. Celana yang sedikit menggantung. Dan perfume-nya yang luar biasa menyengat. Dengan gayanya yang super norak begitu mana ada wanita yang mau mendekatinya. Bisa-bisa bau perfume-nya menempel dan membuat mereka dijauhi teman laki-laki. Apa dia tidak pernah membaca majalah fashion. Atau setidaknya menonton televisi dan melihat dunia luar. Ensiklopedia, itu buku yang ku pungut tadi. Ternyata dia orang yang sangat membosankan. Mungkin aku akan mencari teman yang lain saja. 

Dengan sisa-sisa percaya diri aku melangkah memasuki kelas. Lalu seorang perempuan berkaca mata, rambut hitam sepundak yang hampir sama panjang denganku menghampiri dan mengulurkan tangan.

“Apa kau yang bernama Diyanu? Aku Aneri, ketua kelas 2-C.” Senyumnya ramah dan lebar.
Aku menyambut tangannya, “Diyanu, mohon kerja samanya Aneri.” 

“Mari.” Dia memberi ku kode untuk mengikutinya.

“Ini meja dan kursi mu. Dan ini tempat ku. Kita bersebelahan.” Beruntung sekali. Aneri ramah dan terbuka. Mungkin kami akan cocok. 

Murid-murid yang lain juga menyambut ku dengan hangat. Sama saja dengan murid-murid disekolahku yang lama. Sekarang aku bisa bernafas lega.

Hari pertama ku disekolah baru berjalan lancar. Selanjutnya aku bisa kesekolah dengan ringan. Jarak dari sekolah kerumah sekitar satu kilometer. Tidak terlalu jauh untuk berjalan kaki.

--

“Diyanu. Kau tinggal dimana? Kearah sini juga?” Aneri memberhentikan sepedanya. “Ayo naik, kita pulang sama-sama” Ia menawarkan ku duduk di belakang sepedanya. Tanpa mempertimbangkan apapun aku segera naik dan berpegangan. Kami membutuhkan waktu sekitar se per empat jam untuk tiba dirumah.  

“Aneri, masuklah dulu. Kita makan siang dirumah ku.” Dia mamarkirkan sepeda di depan garasi.

“Tadaima!” aku dan Aneri masuk kerumah, aroma bawang goreng tercium harum dari ruang makan.

“Okaeri, Diyanu.” Ibu menyambut kepulangan ku. Ia masih menggunakan celemek.

“Aa, ada tamu. Teman barunya Diyanu yah?” tanya Ibu.

“Iyah Bu, kami teman sekelas, dan kebetulan rumah ku juga arah sini, masih sekitar lima menit lagi jika bersepeda.” Jawab Aneri.

“Sering-seringlah main kesini. Ibu sedang menyiapkan makan siang. Tunggu sebentar lagi yah.” Ibu kembali ke dapur. Suara percikan ribut minyak terdengar sampai ke kamar ku di ruang atas.
Seperti dugaan, Aneri tampak sangat menyukai suasana kamar ku. Ia berjalan memeriksa setiap sudut kamar. Dan bertanya macam-macam tentang kehidupanku di Osaka. Aku membuka jendela, dan duduk di kursi yang berada didekatnya. Lalu aku berusaha memfokuskan pandangan kearah orang yang memasuki pekarangan rumah tetanggaku dengan terengah-engah, terburu-buru? Gaya norak itu sepertinya aku kenal.

Aaa Key! Dia Key! Orang pertama yang berbicara dengan ku pagi tadi disekolah. Kenapa dia disini? Apa dia tetanggaku? Apa dia orang yang kemarin malam juga?

Setengah jam kemudian seorang laki-laki berperawakan mirip Key keluar dari rumah. Tapi dia tidak terlihat seperti Key. Rambutnya berantakan ditata menyamping, tanpa kaca mata, mengenakan sepatu kets, baju kaos, jaket biru tua dan jeans. 

“Key!! Mau pergi kemana lagi?!” Suara marah itu dilontarkan oleh seorang bapak tua yang menggunakan kursi roda. Ia tertahan dipintu. Kursi roda manual itu tidak memungkinkan ia untuk keluar rumah. Apa dia ayahnya Key? Tua sekali, terlihat seperti kakekku.

“Bukan urusan mu.” Jawab Key tanpa menoleh kebelakang.

***

Aku berusaha berjalan memasuki pekarangan rumah yang sempit. Tapi, pekarangan itu terlihat sangat lebar sekarang. Dengan memaksakan diri aku berusaha berjalan menuju pintu dan segera menaiki tangga kekamar. Perut terasa sangat mual. Persendian seperti kehabisan tenaga. Aku menjatuhkan tas didepan pintu kamar dan segera masuk kekamar mandi. Perutku nyeri sekali jika dibawa berdiri. Aku terduduk dikamar mandi sambil menahan muntah. 

Beberapa minggu terakhir aku sering mengalami hal ini. Seperti pagi tadi. Perut yang nyeri membuatku tidak sanggup berdiri. Aku duduk di tangga sekolah selama dua jam sampai nyeri itu hilang. Ayah bilang magh kronis karena pola makan ku yang sangat tidak teratur. 

Dua puluh menit kemudian kondisi ku sudah mulai baikkan. Aku berdiri perlahan, terasa masih sedikit nyilu. 

Aku memandangi diri dicermin. Aku dapat melihat badut yang ada didalamnya. Rambut dibelah tengah dan berlumuran minyak. Selera baju yang parah. Kaca mata mainan yang tebalnya tiga kali lipat kaca mata penderita myopi.

Tapi aku harus melakukannya. Jangan sampai ada orang yang mengganggu hidup ku yang sudah hampir hancur. Penampilan seperti ini menjadi tameng untuk melindungi diri. Dari semua hal yang akan mengganggu. Dengan penampilan ini tidak akan ada yang ingin menjadi temanku. Aku tidak butuh teman, aku tidak butuh apa pun selain mewujudkan satu-satunya ambisiku. Akan lebih baik kalau mereka tidak menyadari kehadiranku disekitar mereka. 

Aku menghidupkan keran dan mencuci muka serta rambutku yang berminyak. Saat masih di junior high school aku tidak berpenampilan senorak ini. Sama dengan anak yang lain. Menjadi kebanggaan keluarga dengan selalu mewakili sekolah dalam pertandingan baseball dan photographi. Setiap mengikuti pertandingan aku tidak pernah menggenggam piala dibawah juara satu. Aku termasuk murid populer yang punya banyak teman. Tapi, semakin banyak teman, semakin sering dikhianati. Entah sudah berapa orang gadis yang kutolak ketika mereka menyatakan perasaannya karena kepopuleranku. Sudahlah, lupakan tentang masa lalu yang tidak penting itu. Aku sudah mengubur Key dua tahun yang lalu dalam-dalam. Dia sudah lama mati.

Key Yang sekarang adalah Key yang memalukan dan tidak bisa diatur. Tapi itu hanya tanggapan mereka yang tidak tahu apa-apa. Dan sebaiknya pun mereka tidak tahu apa-apa.

Sudah saatnya pergi bekerja. Aku mengganti pakaian dengan yang lebih pantas. Tidak dengan gaya badut memalukan. aku memakai jaket biru tua warna kesukaanku dan jeans. Rambut yang sudah bersih dari minyak di sisir acak. 

Aku mengemas peralatan kerja kedalam tas biru tua. 15 menit lagi jam kerja ku di mulai. Dengar berlari ke halte bis dan segera naik bis mungkin tidak akan telat. Aku turun dengar terburu-buru, Ayah dengan muka marah sudah menunggu dengan kursi rodanya di depan pintu. Kenapa setiap hari aku harus adu mulut dengan ayah?

“Key!! Mau pergi kemana lagi?!” nada tinggi seperti biasa lagi. Aku sudah terbiasa mendengar teriakan ayah. Aku tidak menghiraukannya dengan tetap berlari keluar rumah. Ayah tidak bisa keluar rumah dengan kursi rodanya. 

“Bukan urusan mu.” Jawab ku tanpa menoleh kebelakang.

***

To be Continue to part 2..



No comments:

Post a Comment