NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Friday, July 29, 2011

Don’t Believe In Anything (2/4, Indonesian)


Details: Quarterlogy
Title    : Don’t Believe In Anything
Genre : Family, Friendship, Romance
Rating : General
Language       : Indonesia and English
Theme song  : YUI- Good Bye Days
Author            : Amel Chan

Synopsis:
Human is a pupil, pain is the teacher.
-Ryosuke Yamada-

Cats:
Ryosuke Yamada       as        Ryosukey
Dyan patricia P.P        as        Diyanu (Out Character)
Aneri (Diyanu’s best friend)
Otousan (Ryosuke’s Dad)
Furata (Ryosuke’s Brother)
Ishida Mura (Rival-male)

Part 2

The Ambition

June 1st, at 6.30 am

Aku kembali mengayuh sepeda milik paman tempat aku bekerja mengantarkan koran pagi. Nama panggilanku Key, sebelum pergi kesekolah setiap pagi aku rutin melakukan pekerjaan ini. Mengantar koran pada pelanggan di sekitar pusat kota kagoshima. 

at 3 pm

“Key, tolong susun buku-buku ini dibagian Ilmu Bahasa.” Wajah Nyonya Oslo dihiasi senyuman saat meminta ku mengangkat dan membereskan dua buah kardus yang baru diantar oleh pihak pemerintah. 

Aku yang sedari tadi mengutak-atik komputer untuk menambahkan check list baru di daftar buku baru segera menekan tombol ctrl s untuk menyimpan semua data, setelah itu mendekati nyonya Oslo dengan dua buah kardus besar didekat kakinya. Nyonya Oslo memberikan selembaran data buku baru.

“Itu daftar buku yang ada didalam kardus dan sudah di data kemarin malam.  Kau tahu apa yang harus dilakukan kan Key?” Ia menepuk pundakku dan kembali kemejanya. 

Nyonya Oslo adalah penjaga perpustakaan daerah di kota kecil ini. Ia sudah empat puluh empat tahun mengabdi sejak tamat senior high school. Diusia yang menginjak enam puluh dua tahun, guratan kecantikan saat mudanya masih terlihat. Kulitnya sedikit gelap, rambut coklat yang selalu di gulung, olesan make up natural yang membuat penampilannya terlihat sederhana. Aku sudah menganggap nyonya Oslo seperti ibu ku sendiri. Setiap hari saat di jadwal kerja ia selalu menyempatkan diri membawakan ku makanan. Ia punya seorang anak perempuan yang sudah menikah dan tinggal di Sendai. Karena kesibukan kerja dan mengurus anak, putri nyonya Oslo jarang pulang ke Kagoshima prefecture. Dua tahun lalu di bulan May adalah pertemuan terakhirnya secara langsung. 

Hari ini saat aku baru tiba di perpustakaan Nyonya Oslo langsung menarik lengan ku dan mengajak ku duduk di sampingnya. Dengan wajah sumringah ia bercerita kalau anaknya menelpon dan akan pulang ke sini akhir bulan depan. Hampir satu setengah jam ia tidak berhenti menceritakan tentang hal itu. 

Kedua kardus itu cukup berat untuk ku bawa sekaligus. Aku memilih membawa sebuah kardus yang terlihat lebih berat terlebih dahulu dan kembali lagi untuk mengambil sisanya. Koleksi buku dibagian Ilmu bahasa rata-rata tebal dan banyak. Walaupun hanya perpustakaan kecil tetapi hampir semua buku bahasa di seluruh negara terdaftar disini. Rak di bagian ilmu bahasa menjadi rak yang paling berat dan membosankan karena berisi penuh dengan kamus-kamus tebal. 

Ada tujuh puluh empat nomor buku baru tercatat di kertas yang diberikan nyonya Oslo. Aku memisahkan buku-buku berdasarkan abjad dan letaknya. Ukuran ruangan perpustakaan tidak cukup luas untuk memuat banyak rak. Jadi rak dibuat tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit. Setelah menyusun buku di bagian bawah, aku mengambil tangga lipat di gudang. Tangga itulah yang membantu ku menyusun buku-buku di rak bagian atas. Sudah dua kali aku terjatuh dari tangga itu saat menyusun buku. Saat jatuh yang pertama kali tidak terjadi cidera sedikit pun padaku, hanya kaki saja yang sedikit shock karena tiba-tiba menahan beban berat dengan tarikan gravitasi. Celakanya saat jatuh yang kedua kali nasib baik sedang tidak berpihak, kaki kiri ku patah. Dan harus beristirahat hampir dua bulan untuk bisa bekerja seperti biasa lagi. Padahal aku harus secepatnya mengumpulkan uang. 

Tidak ingin jatuh untuk yang ketiga kalinya, aku menyusun buku dengan hati-hati. Karena terlalu menghabiskan waktu jika kaki kiri ku harus patah lagi dan kembali berdiam diri di rumah. 

at 5.30 pm 

Setelah menyusun semua buku dan memakan makanan yang dibawa oleh nyonya Oslo, aku segera bergegas pergi ke  Machinago Fast Food. Aku menyeberangi zebra cross pasar yang menjadi pusat kota Kagoshima. Beberapa taksi berhenti menunggu lampu berubah warna menjadi hijau. Taksi yang tidak sabar membunyikan bising klaksonnya. Pada jam sesore ini, pasar menjadi sangat ramai oleh lalu lintas hiruk pikuk, penuh orang yang baru pulang dan akan pergi kerja. Saat menyeberangi jalan aku bisa melihat restaurant tempat ku bekerja, ramai seperti biasa dan teman-teman yang berkerja di shiff siang terlihat sudah lelah. 

Dengan langkah ynag dipercepat aku memasuki restaurant, Taka tersenyum lega melihat kedatanganku.

“Huhh, hari ini benar-benar melelahkan. Entah kenapa pelanggan hari ini datang bersamaan dalam sekali waktu. Cepat pakai seragam dan celemek mu, aku sudah tidak tahan lagi mau pulang. Kaki dan pundakku pegal.” Keluh Taka. Dia adalah orang yang membantuku mendapatkan pekerjaan ini. Lalu aku mengikuti langkahnya masuk keruang ganti. Dia mengganti pakaiannya dengan ogah-ogahan, mungkin sedang ada masalah lain. Aku tidak menghiraukannya. 

“Bekerjalah dengan semangat, aku pulang dulu. Sampai jumpa besok.” Taka menutup lemarinya dan pergi dengan langkah yang lebar. Selalu begitu. Taka tidak pernah bisa menutupi perasaannya. Kalau marah dia akan terlihat sangat marah, dan jika senang dia akan menjadi orang yang paling ceria di dunia. Sudah tidak mengherankan lagi jika Taka datang ke restaurant dengan dahi yang berlipat-lipat atau dengan tawa tanpa henti sambil memeluk semua orang yang ada disana. 

Waitress, itu pekerjaan ku disini. Melayani pelanggan yang akan memesan menu, mengantarkan makanan kemeja-meja lalu membersihkan meja. Bos memposisikan ku menjadi waitress dengan alasan karena wajah ku yang lumayan bisa menarik hati pelanggan. Pendapatan harian pada malam hari selalu lebih banyak dari pada siang. Mereka bilang itu semua karena aku bekerja di malam hari. Tapi kalau menurutku itu karena memang orang lebih suka hang out dan makan diluar pada malam hari. Disini setiap malam aku mengobral senyum dan keramahan. Aku menjawab semua pertanyaan pelanggan yang tidak penting tentang diriku dengan jawaban palsu. Beramah tamah dengan mereka semua itu hanya demi uang. 

Pukul 10.30 restaurant tutup dan aku pulang dengan menaiki bus. Tapi bus tidak sampai kedepan rumah, berhenti dihalte terdekat dan aku harus berjalan lagi sekitar 7 menit untuk sampai kerumah. 7 menit berjalan kaki itu jarak yang dekat apa lagi dimalam hari, tidak ada cahaya matahari menyengat yang akan membuat ubun-ubun mendidih.

Tidak jauh beda dengan malam-malam sebelumnya, tiada hari tanpa adu mulut dengan ayah. Setiap anggota keluarga memegang kunci rumah. Tapi kali ini Key tidak bisa memasukkan anak kuncinya kedalam gagang pintu. 

Ah shit, ini pasti ulah ayah. Ayah sengaja tidak menarik anak kunci dari dalam rumah, sehingga Aku tidak bisa memasukkan kuncinya. Aku bergumam tidak sabaran, ingin sekali rasanya menggedor pintu sekuat tenaga agar semua orang tahu kalau malam ini ayah dan anak yang tidak pernah akur berkelahi lagi. 

“Kau ingin aku mendobrak pintu ini?!” Tanyaku kasar. “Ayah aku tahu kau didalam”.

“Baguslah kalau kau sadar ayah sengaja melakukannya. Hampir mati karena bosan ayah selalu bilang jangan pulang tengah malam. Selalu tidak ingin mendengarkan orang lain. Apa susah menuruti permintaan ayah sekali saja? Apa ayah sangat tidak berarti? Tidak bernilai untuk mu?” suara ayah terdengar jelas dari balik pintu. Ia bicara perlahan dan pasti. Suaranya berwibawa. Nada bicara yang sangat aku sukai. 

“Berhenti bersikap seperti anak kecil. Kau sudah tua. Kalau tahu aku lelah, cepat buka pintunya atau aku tidak akan pernah kembali lagi kerumah ini!” nada bicara ku meninggi. Walau aku tidak melihat muka ayah dari balik pintu, bisa dipastikan kalau ia takut dengan gertakkan ku. Suara antukkan besi ringan terdengar disela-sela gagang pintu berwarna coklat keemasan. Pintu terbuka dan wajah laki-laki tua ini terlihat berkerut-kerut entah karena apa. Mungkin menahan marah, khawatir , atau menyesal mempunyai anak sialan seperti ku. 

Bosan beradu mulut dengannya, aku masuk melewati ayah dengan cepat menaiki tangga kamar. Meninggalkannya didepan pintu. Terserah apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku lelah. Terlalu menghabiskan tenaga melayani ocehan tidak berkehabisan itu. 

Apa benar seperti itu?

Benarkah aku tidak perduli dengan ayah?

Kamarku terlihat rapi. Mungkin Furuhata, kakak ku yang bernasib malang karena diumur 9 tahun dia mengalami sakit panas yang sangat tinggi. Berakibat fatal. Kedua matanya menjadi buta. Tapi setiap hari ia rajin sekali menaiki tangga hanya untuk merapikan kamarku. Padahal aku selalu merapikan kamar, aku orang yang rapi. Furuhata selalu mengelap meja yang sudah ku lap, menyapu lantai yang sudah ku sapu, menyusun buku yang sudah tersusun, melakukan hal yang sia-sia.  

Sedikit kejutan kecil karena malam ini Furuhata tidak ikut-ikutan ayah menyerangku dengan omelan. Anggap saja Furuhata itu anak kesayangan ayah. Oh, bukan anggap saja. Tetapi memang begitulah adanya. Sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu, yang paling kuingat sampai sekarang adalah ayah sangat memperhatikan Furuhata. 

2 atau 3 tahun yang lalu sebelum aku berubah menyebalkan, sebelum pertengkaran menjadi rutin dirumah, dan sebelum selalu aku yang salah, disaat aku menjadi pusat perhatian karena kecerdasan, kemampuan, dan ketampanan ku. Disaat aku menjadi anak kebanggaan, ayah tetap sangat memperhatikan Furuhata dan hanya memberikan sisa perhatiannya yang hampir habis padaku. Tetapi aku sampai sekarang bisa memakluminya, itu karena dia buta dan memang membutuhkan perhatian lebih. 

Furuhata 5 tahun lebih tua dari ku. Tahun depan dia akan menamati kuliahnya. Kebutaan tidak menghalangi Furuhata untuk mendapatkan gelar sarjana dibidang keguruan matematika. Bibit jenius yang tertanam didalam dirinya membuat semua orang normal heran. Cacat fisik di bagian indra yang sangat penting bukan halangan sama sekali untuk menjadi yang paling unggul di Universitas. Berapa kali ia mendapatkan penghargaan mahasiswa berprestasi dan mendapat beasiswa dari bank negeri ternama di Jepang. Jujur aku sangat bangga padanya. Aku menyayangi kakakku satu-satunya ini. Tapi kenapa susah sekali untuk akur. Dia selalu mengalah, tapi watak buruk ku menolak hati untuk berdamai dengannya. Nada bicara dan karakter lahirku yang seperti ini memperkeruh keadaan. Keegoisan dan keras kepala yang sangat. Sifat yang sok pahlawan dan menahan semua permasalahan sendirian, membuat mereka tidak pernah tahu apa yang sedang kuhadapi sekarang. Apa yang sedang aku perjuangkan sekarang. Cukup aku yang tahu dan jangan banyak bertanya. 

Aku melepas jaket dan menggantungnya di belakang pintu, lalu berjalan kearah jendela untuk menyibak tirai. Aku suka tidur dengan tirai terbuka, sehingga cahaya temaram bulan dan bintang masuk kedalam kamar. Saat hujan aku suka melihat kilatan petir dan air hujan yang dibawa angin. Koleksi photo suasana kelam seperti itu sudah hampir memenuhi kotak photo ku. 

Aku masuk senior high school jurusan seni khususnya photographi. Sejak ayah membelikanku kamera polaroid 6 tahun yang lalu, aku jadi sangat menyukai bidang ini. Hampir kemanapun aku mengalungi kamera tua ini. Menangkap semua moment dan objek yang menarik pikiran. Mencatat jejak perjalan hidup yang mungkin muat hanya dalam kotak photo kecil. Waktu tidak mengizinkan key membeli kotak baru untuk menyimpan bukti jejak perjalanan hidupnya. Kamera kesayangan, maaf, besok aku harus menjual mu. Tidak perlu lagi menangkap sisa perjalanan ku yang menjadi semakin kelam dan lambat. Jangan menyimpan sisa bukti di saat terburuk nanti. 

Malam ini terasa sangat lelah, padahal kegiatan dan pekerjaan yang kulakukan sama dengan hari lainnya. Setelah mencuci muka aku tidak segera merebahkan diri di kasur. Aku menggeser perlahan letak kamera polaroid kesayangan dari meja dan menyalakan personal computer di meja belajar. Saatnya melakukan pekerjaan yang paling banyak menghasilkan uang. 2 tahun belakangan aku menerima pelayanan jasa membuat Journal penelitian ilmiah dan Skripsi. Mahasiswa yang tidak punya kemampuan dan malas kebanyakan memakai jasa ku untuk membuat persyaratan lulus kuliah mereka. Entah sudah berapa belas karya ilmiah dan skripsi yang ku selesaikan. Akui saja, otak ku memang encer.  Inilah yang mengisi tabungan ku sehingga hampir mencapai target. 

Sebentar lagi Key, bertahanlah... kau harus kuat.

Pukul 2.45 pagi, badan ku bergetar. Tangan terasa dingin. Satu titik diperut berdenyut perih. Semakin perih dan menjalar ke seluruh tubuh. Kepala ku terasa berat dan berputar. Dengan sisa kesadaran aku mencoba bangkit dari kursi dan berjalan kekasur. Perlahan-lahan merebahkan diri di kasur. Uuhh.... sakit sekali. Aku meringkuk memegangi perut. Keringat dingin mengalir deras. 

Tuhan....

Aku tidak kuat ...

Tapi tolong, beri aku waktu sedikit lagi...


Dari hidung mengalir darah segar dengan deras. Aku berusaha mengelapnya dengan pakaian yang ada dikasur. Tapi rasa perih disekujur tubuh membuatku tidak mampu meraih pakaian itu. Tubuh bergetar hebat dan kesadaran ku perlahan-lahan menghilang. 

*****

“Diyanu? Hampir tengah malam begini kenapa baru pulang?” tanya ibu khawatir.
Sebelum menjawab pertanyaan ibu, aku segera menuju ruang makan dan mengambil air dari dalam kulkas. 

“Jika dirumah aku akan teringat sahabat-sahabat di Osaka. Jadi aku keluar untuk menghibur diri sendiri. Ternyata kota kecil ini lumayan bagus juga Bu.” Jawab ku santai. Dan itu adalah jawaban bohong. 

“Begitu yah, tapi lain kali kalau ingin pergi beri tahu ibu dan ayah, kami khawatir mencari mu tadi.” Pinta ibu.

“Baiklah, aku tidur dulu. Selamat malam Bu.” Aku bergegas menaiki tangga. Oh my sweet room. Kaki ku terasa pegal. Melihat kasur disudut kamar seperti melihat OASIS di tengah gurun pasir. Tapi rasa penasaran mengalahkan keinginan untuk tidur. Aku menyibak sedikit tirai jendela dan melihat tetangga aneh ku Key lagi-lagi ribut dengan ayah nya didepan pintu. 

Seharian ini dari pagi aku mengikutinya. Membuntutinya disekolah, diperpustakaan kota, restaurant fast food, dan sampai pulang kerumah. Sekarang pun aku masih menguntit Key dari kamar. Eh, dia membuka tirai kamarnya. Key memandangi langit malam dari jendela, ia masuk ke kamar mandi lalu keluar dan duduk sambil menghadap personal komputer di meja belajar.
Apa yang Key lakukan? Sudah lewat tengah malam begini kenapa belum tidur?


Huuh, aku lelah mengikutinya seharian. Karena penasaran dengan perubahan wujud Key setelah pulang sekolah dari gaya culun menjadi keren menggerakkan kakiku untuk menguntitnya. Dan banyak sekali hal mengejutkan yang kuperoleh. Ternyata sepulang sekolah Key bekerja di perpustakaan daerah, setelah itu dia lanjut kerja di restaurant fast food Machinago Fast Food. Di perpustakaan daerah dia bekerja dengan nyonya tua yang jika tidak salah namanya nyonya Oslo, di restaurant dia bekerja sebagai waitress yang digandrungi pelanggan wanita. Tapi saat itu Key terlihat keren sekali. Ramah dan senyumnya manis. 

Diyanu, apa yang kau pikirkan. Sebenarnya aku kenapa?

Baiklah Key, lanjutkanlah bermain dengan personal computer mu, aku tidak sanggup menguntit kegiatan mu sampai pagi. 

Aku menutup tirai dan tidak sabaran berbaring dikasur. 

Selamat malam Key.

*******

To be Continue to part 3..

No comments:

Post a Comment