NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, January 31, 2013

[Fanfiction] SUNSET STORY


SUNSET STORY
 
 
Title                : Sunset Story
Categories   : Oneshoot
Genre             : Romance
Rating            : General - Teenager
Theme song : Yabu Kota - My Everything
Author           : Amalia Zaida (also known as phantomthief94)
Alamat           : Kampung Sewu RT 4 RW 5, Surakarta, 57123
Umur              : 17

Alasan mengikuti lomba: Saya udah lama ga nulis fanfic. Dan karena saya sedang jatuh cinta dengan kakak saya ini XD (incest detected). Selain itu juga karena saya tidak melakukan apa-apa di ulang tahun Chii tahun lalu.
 
Casts:
-Chinen Yuri (Hey!Say!JUMP)
-Ami Nakajima (OC)
-Yuto Nakajima (Hey!Say!JUMP)
-Yamada Ryosuke (Hey!Say!JUMP)
-Ohno Satoshi (Arashi)
 
Disclaimer:
Semua member Chinen, Yuto, Yama, dan Ohno milik Tuhan. Hey!Say!JUMP milik Johnny’s Entertainment. Ami Nakajima milik saya!
 
Summary:
Perpisahan memang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menyakitkan. Bukan karena rasa sakit ketika akan tidak dapat bersama lagi, tapi ketakutan akan adanya hal-hal yang masih mengganjal yang suatu saat akan mengganggu hati.
***
Langit senja kemerahan mulai menyebarkan rona kemerahannya di sudut barat, semakin lama semakin pudar. Bayang-bayang yang mengikuti pun perlahan mulai menghilang seiring dengan terbenamnya matahari. Lapangan baseball yang sebelumnya ramai pun kini telah sepi.
 
Di bangku panjang, Yuri tengah menikmati pemandangan sang surya yang bergerak bersembunyi. Sebuah drama singkat yang indah baginya, ketika rona kemerahan yang memancar sedikit demi sedikit meredup. Sebuah senyum terlukis di wajah manisnya, senyum yang masih menyembunyikan gigi kelinci khasnya yang hanya terlihat saat tawanya mengembang.
 
Yuri mengangkat tasnya ketika matahari telah sepenuhnya lenyap di balik pepohonan, tidak menyisakan jejaknya sedikitpun. Sang bulan mulai menggantikan posisi sang mentari, mengambil tugasnya untuk menemani orang-orang kawan malam.
 
Di persimpangan jalan, seorang gadis mencuri konsentrasi Yuri. Kepala yang selalu tertunduk menyembunyikan wajah manisnya di balik tirai poni tipisnya. Seorang siswi pintar yang pemalu, adik kelas Yuri, Ami Nakajima, adik dari Yuto Nakajima.
 
“Yo, Ami-chan,” sapa Yuri.
“Chinen-senpai[1], selamat malam,” sapa Ami setengah terkejut.
“Kenapa malam-malam begini baru pulang?” tanya Yuri.
“Terlalu asyik menggambar di atap sekolah. Chinen-senpai sendiri, kenapa baru pulang?” tanya Ami.
 
Yuri hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Ami. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa begitu betah hanya duduk-duduk menikmati matahari terbenam. Baginya, semua itu seperti melihat sebuah drama rutin yang menakjubkan dari Tuhan. Ia tidak bisa melewatkan ketika matahari malu-malu memancarkan sinar terakhirnya di hari itu. Pemandangan yang sangat ingin ia tunjukkan pada gadis yang akan menjadi istrinya suatu saat nanti.
 
Upacara kelulusan hanya tinggal hitungan hari. Para siswa kelas 3 sudah hampir selesai melakukan persiapan, termasuk Yuri, Yuto, dan Ryosuke yang tahun ini akan lulus.
 
Di sudut aula, Yuri meneguk botol airnya. Ia terlalu bersemangat untuk upacara kelulusannya, di mana ia akan menyanyikan lagu bersama Ryosuke dan Yuto. Pikirannya melayang ketika ia pertama kali masuk sekolah. Ia tidak menyangka akan sekelas dengan Yuto dan Ryosuke, temannya sejak kecil. Di dalam hati ia yakin, mereka memang telah ditakdirkan bersama.
 
Mengingat tentang masa kecil, Yuri teringat saat keluarganya pindah dari Hamamatsu ke Tokyo karena urusan pekerjaan. Tetangga pertama yang berkunjung adalah keluarga Nakajima. Anak pertama keluarga Nakajima ternyata sebaya dengan Yuri, Yuto namanya. Anak ke-2 lahir hanya satu tahun setelah Yuto. Ialah Ami, seorang gadis pemalu yang telah menarik perhatian Yuri. Tinggi badan Ami yang tidak setinggi Yuto, bahkan lebih pendek dari Yuri, membuatnya sering diejek oleh Yuri dan Ryosuke.
 
Oh, ya, mengenai Ryosuke, ia adalah anak ke-2 keluarga Yamada, rekan kerja keluarga Chinen. Mereka selalu berkunjung ke rumah Yuri setiap sedang berada di Hamamatsu. Tidak heran jika Ryosuke dan Yuri menjadi sangat dekat. Lagipula, ternyata Ryosuke pun adalah teman baik Yuto.
 
Lamunan Yuri buyar ketika Yuto menepuk bahunya dan duduk di sebelahnya, disusul oleh Ryosuke. Yuto dan Ryosuke hanya melempar senyum tipis pada Yuri.
 
“Melamun?” tanya Yuto.
“Yah, aku hanya teringat saat pertama kali kita saling mengenal. Bukankah selalu bersama sejak kecil sampai sekarang itu berarti kita jodoh?” tanya Yuri.
“Jodoh apanya? Maksudmu aku akan menikah denganmu?” tanya Ryosuke.
“Tidak, bukan seperti itu. Maksudku, mungkin kita memang sudah ditakdirkan menjadi teman baik sejak kita kecil,” kata Yuri.
“Mungkin kau benar,” kata Yuto.
“Menurut kalian, apa kita akan terus bersama seperti ini sampai kita tua nanti? Maksudku, selama ini kita bersama karena kita satu sekolah dan rumah kita berdekatan. Tidak mungkin akan seperti ini terus sampai kita tua, kan?” tanya Ryosuke.
“Kita akan bisa. Kalau selama ini kita bisa, kenapa selanjutnya tidak?” kata Yuri.
“Yang jelas salah satu dari kalian akan mendapatkan adikku,” kata Yuto.
“Maksudmu Ami?” tanya Ryosuke.
“Masa’ Raiya?” kata Yuto sambil melirik Ryosuke. Yah, retoris.
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Yuri.
“Itu yang dinamakan insting seorang kakak,” jawab Yuto.
 
Yuri dan Ryosuke hanya saling bertukar pandang. Dan kemudian masing-masing kembali terdiam dalam lamunan. Meski berbeda, namun lamunan mereka mengandung inti yang sama: masa depan!
 
Perjalanan pulang yang terasa jauh bagi Yuri. Setiap langkah terasa berat. Ia tidak ingin hari ini segera berakhir. Karena jika hari ini cepat berakhir, upacara kelulusan akan segera menyusul, dan mungkin perpisahan juga membuntuti. Semua orang pasti benci perpisahan dengan orang yang telah menemani sebagian besar hidupnya.
 
Seperti yang biasa ia lakukan, ia mampir ke lapangan baseball yang kini hampir sepi karena senja telah menyapa. Ia duduk di tempat biasa, di mana ia bisa memandang matahari terbenam dengan leluasa. Sinar merah merona yang terpancar seakan mengajaknya menari mengiringi matahari yang semakin lama semakin gelap.
 
Upacara kelulusan telah dimulai. Acara berlangsung lancar dan meriah dari awal hingga selesai. Air mata mengalir deras terutama ketika pidato pelepasan dari perwakilan siswa kelas 3. Perpisahan memang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menyakitkan. Bukan karena rasa sakit ketika akan tidak dapat bersama lagi, tapi ketakutan akan adanya hal-hal yang masih mengganjal yang suatu saat akan mengganggu hati.
 
Usai upacara kelulusan, hampir semua siswa masih berkumpul di sekolah, untuk menghabiskan waktu bersama sebelum jarak dan waktu menghalangi pertemuan. Para adik kelas mulai berebut untuk memberikan kenang-kenangan kepada kakak kelas yang disukai. Tidak sedikit pula yang meminta kancing gakuran siswa laki-laki sebagai kenang-kenangan.
 
“Chinen-senpai, tolong terima kenang-kenangan dariku.”
“Chii-senpai, bolehkah aku meminta kancing bajumu?”
“Chinen-senpai, kau akan melanjutkan ke mana setelah lulus?”
 
Yuri, yang memang merupakan salah satu siswa populer di sekolah, memilih untuk menghindari kerumunan siswi junior yang ingin memberikan kado mereka untuknya. Yuto dan Ryosuke yang juga popular sepertinya memilih jalan yang sama dengan Yuri. Di belakang panggung, mereka bertemu, melepas penat seusai tampil di upacara kelulusan.
 
“Aku sudah tahu ini pasti merepotkan sejak pertama kali melihat para senior yang dikerumuni siswi junior di upacara kelulusan 2 tahun lalu. Dan ternyata memang benar dugaanku,” kata Yuri.
“Kasihan, sih, tapi apa boleh buat, aku sedang tidak ingin kehabisan waktu untuk itu,” kata Yuto.
“Lagipula banyak yang aku bahkan tidak kenal,” sambung Ryosuke.
“Apa tujuan kalian setelah ini? Maksudku, setelah lulus?” tanya Yuto.
“Sambil menunggu tes masuk perguruan tinggi, kurasa aku akan mencari pekerjaan sambilan,” kata Ryosuke.
“Aku akan banyak berolahraga selama liburan. Mungkin suatu saat nanti kalian akan melihatku di channel olah raga,” jawab Yuri.
“Walaupun tubuhmu kecil, ternyata kau sangat hebat dalam olah raga, Chinen. Aku tidak menyangka itu saat kita pertama kali bertemu,” kata Yuto.
“Awalnya kukira Chinen tidak terlalu hebat dalam olah raga. Ternyata darah ayahnya yang seorang atlet juga menurun padanya,” sambung Ryosuke.
“Aku terkejut saat dia bilang dia paling suka pelajaran olah raga,” tambah Yuto.
“Hei! Berhenti membicarakanku!” protes Yuri.
Tiba-tiba pundak Yuri ditepuk. Saat ia menoleh, ternyata Ohno sudah berdiri di belakangnya, dengan senyum.
“Ohno-senpai! Tidak kusangka kau akan datang,” kata Yuri.
“Aku sedang ada waktu luang, jadi kukira akan bagus kalau aku memberi kalian selamat atas kelulusan kalian,” kata Ohno.
“Terima kasih, Ohno-senpai. Kami senang kau di sini,” kata Yuto dan Ryosuke.
“Jadi, bagaimana? Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?” tanya Ohno sambil duduk di samping Yuri.
“Kami baru saja membahasnya. Yama bilang, dia akan mencari kerja sambilan untuk mengisi waktu. Kalau Chinen, dia akan melatih otot-ototnya agar suatu saat nanti kami akan melihatnya di TV sebagai seorang atlet. Kalau aku, yah, kurasa aku tidak tahu akan melakukan apa nanti,” kata Yuto.
“Ah, itu bagus,” kata Ohno.
“Ah, aku haus. Aku akan mengambil minuman dulu. Ada yang mau titip?” tanya Yuto sambil berdiri.
“Aku ikut denganmu saja,” kata Ryosuke. Dan mereka berdua pun pergi.
Hanya tinggal Yuri dan Ohno yang masih dudul di balik panggung.
“Kenapa kau justru menghindari fansmu?” tanya Ohno dengan nada setengah menggoda.
“Aku tidak terlalu suka dikelilingi seperti itu,” jawab Yuri.
“Kau seperti sedang menunggu seseorang,” kata Ohno.
 
Yuri hanya diam sambil terus menatap lurus ke depan, sesekali matanya beralih ke samping secara diam-diam, mencari sosok yang mungkin juga mencarinya. Berulang kali dilakukannya, ia tak menyadari bahwa itu diperhatikan oleh Ohno.
 
Setelah beberapa saat kemudian, ia baru menemukan sosok yang dicarinya. Ia hanya duduk di salah satu kursi di halaman sekolah sambil membaca sebuah novel. Hati Yuri bergejolak. Konflik terjadi di dalam otaknya, pertengkaran antara menghampirinya atau tidak, menyatakan atau tidak.
 
“Coba kau ajak bicara,” kata Ohno tiba-tiba.
“Eh?” Yuri terkejut.
“Apa maksudmu dengan ‘eh’? Ia tidak akan menunggumu lebih lama dan kesempatanmu hilang. Ingat, kau sudah lulus dari sekolah ini sekarang,” kata Ohno. Ia menarik tangan Yuri sampai Yuri berdiri, dan mendorongnya ke arah Ami untuk menyuruhnya segera maju.
 
Berada 3 meter dari tempat Ami, Yuri membeku. Kakinya seakan tidak mau bergerak untuk melangkah lebih dekat. Otaknya pun tak mampu mengontrol tubuhnya untuk berpikir secara sadar. Ia terus terdiam di tempatnya berdiri. Meski hanya tinggal beberapa langkah untuk sebuah kepastian, tapi konflik di dalam hatinya membuatnya ragu. Dan akhirnya ia berbalik dan mundur, kembali pada Ohno dan disambut dengan gelengan kepala dari Ohno, Yuto dan Ryosuke.
 
Matahari senja lagi-lagi menjadi tempatnya berdiam mengadu. Menyesali ketidakberaniannya untuk hanya menyatakan secara langsung perasaannya pada gadis yang disukainya. Berkali-kali ia memukul pasir kosong dengan kepalan tangannya dan menggesekkan kakinya.
 
“Tanganmu nanti kotor, lho,” seseorang mengulurkan sapu tangan kepada Yuri. Yuri mendongak untuk melihat orang itu yang ternyata Ami.
“Ah, terima kasih,” kata Yuri dengan gugup sambil menerima sapu tangan dari Ami.
“Sepertinya tadi ada yang ingin kau katakan padaku,” kata Ami.
Yuri terkejut. Ternyata tadi Ami menyadari keberadaannya yang terus terdiam. Tapi mengapa harus tetap diam seakan tidak peduli?
“Aku melihatmu, tapi aku diam karena mungkin akan mengganggu kalau aku menatapmu,” kata Ami seakan menjawab pertanyaan Yuri.
“Memang… Memang ada yang ingin kukatakan padamu,” kata Yuri.
“Katakan saja,” kata Ami.
“Ah, itu, eh, anu… Aku…” Yuri gugup.
“Kau? Kenapa?” tanya Ami lagi.
“Aku… Aku sudah… Aku sudah men… Aku…” Yuri kebingungan untuk mengatakan kata-kata yang tepat.
 
Sama seperti kebingungan Yuri, Ami pun menunjukkan wajah bingung dan penasaran pada Yuri.
 
“Kalau kau masih tidak bisa mengatakannya mungkin lain kali saja. Yah, itu pun kalau kita masih bisa bertemu,” Ami mulai beranjak dari tempatnya. Tapi Yuri segera bangkit dan meraih tangan Ami, menahannya untuk pergi.
“Aku menyukai Ami. Sejak kita sering bersama aku sudah menyukaimu. Tolong jawab… Tolong jawab aku,” kata Yuri dengan cepat.
Ami terkejut, tapi juga bingung. Ia masih belum siap dengan pernyataan yang tiba-tiba ini.
“E… Eh?” hanya itu yang dapat Ami katakan.
“Aku menyukaimu. Tolong jawab,” Yuri terengah-engah, bukan lelah karena pelajaran olah raga, tapi lelah karena detak jantungnya yang terus memburu.
“I… Ini… Ini terlalu cepat,” kata Ami.
“Tapi aku tidak tahu apakah akan bisa menyatakannya setelah ini,” kata Yuri.
 
Ami menghela napas. Ini sulit baginya, tapi ia hanya perlu tenang untuk menghadapi hal ini. Ia mengambil sapu tangan satu lagi dari kantong roknya dan mengusap keringat di dahi Yuri.
 
“Duduklah dulu dan tenanglah,” kata Ami.
Yuri pun hanya menurut saja. Setelah ia duduk dengan Ami juga duduk di depannya, Ami kembali menghela napas.
“Chinen-senpai baru pertama kali menyatakan suka pada seorang gadis, ya?” tanya Ami.
 
Yuri mengangguk. Ia semakin tidak sabar. Matahari yang biasanya terasa cepat terbenam kini pun terasa sangat lambat dari bersinar dengan lebih panas.
 
“Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Tapi, kalau aku harus menjawab antara apakah aku juga menyukai senpai atau tidak, aku tidak akan mengatakan tidak,” kata Ami.
Yuri menatap Ami dengan tatapan terkejut sekaligus tidak percaya, meminta agar Ami mengulangi kata-katanya.
“Aku juga menyukai Chinen-senpai,” kata Ami.
Senyum Yuri mengembang. Tapi berbeda dengan senyum sebelumnya, untuk kali ini, gigi kelinci khasnya pun ikut tertawa dan memperlihatkan diri. Ami pun tersenyum malu. Kepalanya menunduk, yang memberikan ruang bagi tangan Yuri untuk mengelusnya.
“Ah! Tunggu, aku ada sesuatu untukmu,” kata Yuri sambil merogoh saku celananya.
Ia mengeluarkan sebuah kancing yang ia ambil dari kancing nomor 2 bajunya. Yuri menarik tangan kanan Ami dan meletakkan kancing itu di telapak tangan Ami, kemudian menutupkannya.
“Jaga baik-baik, ya,” kata Yuri dengan kedua tangannya yang terus menggenggam tangan Ami.
 
Ami tertawa kecil, dengan wajah yang mengatakan bahwa Yuri bisa mempercayainya.
 
=================================
 
1. senpai: senior; panggilan untuk menghormati orang yang dianggap lebih senior
 
=================================
 
 
AAA~!! Sejujurnya saya malu bikin fanfic romance saya sama Chii begini >////< Sebentar lagi saya bakalan dicerai sama Kento. Hiyaa~! Maafkan saya Kento!! ( >/|<)
 
Oke, ini RPF ke-3 saya (setelah RPF Yamada yang pengen diet tapi tidak saya publish dan RPF InooBu) dan masih terasa sekali gajenya. Maaf untuk semua yang berharap Chii jadi pacar atau suami, sungguh hubungan saya dan Chii hanya sebatas kakak-adik! #plak
Akhir kata, terima kasih sudah membaca! Minna, yomimashita kara arigatou gozaimasu!!
 
 
===================================
 
EPILOG
 
Ami merogoh saku jasnya untuk mengambil kunci kamarnya. Tangannya menyentuh kancing pemberian dari Yuri. Ia memandang kancing itu. Tanpa sadar, ia tersenyum. Yuto yang tidak sengaja melihatnya hanya menorehkan senyum kecil di wajahnya. Sambil melewati Ami, ia mengacak-acak rambut Ami pelan.
 
“Wah, pasti kepalamu baru saja dielus Chinen,” kata Yuto.
“Ka… Kakak!!” Ami menepis tangan Yuto. Wajahnya memerah.
Yuto menunduk hingga wajahnya tepat di depan wajah Ami.
“Adikku ini… Ternyata sudah besar, ya.”
Yuto pun beranjak pergi. Ami menatapnya dengan kesal, ia tidak mampu menyembunyikan wajahnya yang memerah.

[Fanfiction] OUR FRIENDSHIP


Our Friendship
Title                : Our Friendship
Categories   : Fanfiction
Genre             : Friendship
Rating            : K+
Theme song : Kiroro- Best Friend
Author           : Annabeth Edogawa
Alamat           : Jl.Teladan I No.141/v/14 Keutapang Dua Pabrik Kopi Banda Aceh
Umur              : 14 tahun 


Alasan mengikuti lomba: Karena ingin meramaikan acara ulang tahun Chinen Yuuri..!


Cast :
1. Chinen Yuuri
2. Arioka Daiki
3. Yamada Ryosuke
4. Yabu Kouta
5. Yaguchi Rui (OC)


Synopsis/ Quote:
“Menurutmu, sampai kapan kita akan bersahabat?”

“Entahlah. Selama-lamanya?”

“Dengan keadaan yang seperti ini?”

“....”


--
Aku adalah Chinen Yuuri, siswa kelas 3-B di Teitan High School. Tahun ini adalah tahun terakhirku menjalani masa-masa sekolah di Teitan High School. Ya, aku sekarang sedang menduduki tingkat senior di sekolah.
 
Dengan cepat aku melangkah memasuki kelasku yang berada di lantai 3. Kutelusuri tiap jengkal ruang kelas yang cukup luas untuk menampung murid sebanyak 40 siswa itu. Entah apa yang kucari. Namun pandangan mataku langsung tertuju pada sosok yang tengah berbincang dengan akrabnya dengan seseorang yang duduk di sebelahnya. Dan aku langsung terpaku di tempatku. Tak mampu berkata-kata, dan hanya merasakan rasa perih yang ada di hatiku.
 
Tersadar akan kondisi kelasku yang sangat ribut ini, aku kembali ke alam sadarku dan segera berjalan ke arah tempat dudukku, yang berada di bagian belakang—tepatnya di belakang kedua pemuda yang sedang sibuk berbincang itu.
 
Dengan kaku kugantung tasku pada gantungan di bawah papan mejaku. Kemudian aku mulai menarik sebuah buku pelajaran dari tas sekolahku dan membacanya. Entah apa pun ini aku tak mengerti. Pikiranku terus melantur pada dua sosok yang sedang berbincang itu. Dengan ributnya mereka membahas sesuatu dan menertawakan sesuatu yang tak kutahu. Bahkan kurasa mereka sama sekali tidak menyadari kedatanganku—yang memang selalu lebih lambat dari mereka.
 
Kufokuskan lagi mataku pada buku yang sedang kubaca.
 
‘Ligoritma adalah bla bla bla.......’
 
Apa ini? Mengapa yang terambil buku matematika sih?
 
Kubolak-balikkan buku itu. Isinya hanya gambar-gambar beserta tulisan-tulisan angka seperti cosinus, sinus, dan kawan-kawannya itu. Jengkel, kututup buku itu keras-keras dan membantingnya ke mejaku.
 
Dan semua pandangan menuju ke arahku. Termasuk dua pemuda yang ada di depanku ini. Hah, sudah sadar akan kehadiranku rupanya.
 
“Gomen,” ucapku datar pada mereka. Dan mereka pun kembali ke aktivitas semula. Kecuali dua pemuda yang ada di hadapanku. Mereka menatapku jenaka.
 
“Apaan?”tanyaku kesal.
 
“Tidak ada. Heran saja. Kenapa kamu membanting buku itu,” kata yang duduk tepat dihadapanku. Wajahnya terlalu imut untuk pemuda berumur 18 tahun. Kedua pipinya chubby dan memiliki sorot mata yang menenangkan. Namanya Arioka Daiki. Dia sahabatku sejak lama. Eh.. Sejak aku berumur 11 tahun deh, pokoknya.
 
Sedangkan pemuda satunya lagi, berparas tampan namun imut. Dengan senyumnya yang lebih mengarah pada seringaian kecil namun keren itu adalah Yamada Ryosuke. Dia adalah sahabat kami—aku dan Daiki—sejak masuk kelas tingkat atas ini. Dia juga cukup dekat padaku. Karena pada awalnya ia dekat denganku dulu sebelum dekat dengan... Daiki.
 
“Cuma salah ambil buku,” jawabku asal.
 
“Tidak kok,” sahut Yama sambil meneliti bukuku. “Pelajaran pertama memang Matematika ‘kan?”
 
Iya deh. Aku kalah.
 
 
 
-Our Friendship-
 
“Diem ah! B’risik tahu!”
 
Kulirik pemilik asal suara. Daiki sedang mengomel sesuatu hal yang tak kuketahui pada salah satu seorang teman sekelas kami, Nakayama Yuma. Kugeleng-gelengkan kepalaku dan kembali fokus pada ulasan yang telah kubuat sebanya lima lembar. Tugas mengarang dari guru Bahasa.
 
“Chii, kantin yuk?” ajak suara yang kukenal, Yama, yang sedang berdiri di sampingku.
“Hari ini tidak tidur?” tanyaku tanpa menoleh padanya, masih berusaha fokus pada ulasanku yang sedikit lagi selesai.
 
Ia terdiam sebentar. “Ada yang ingin aku katakan.”
 
Yah, tidak heran sih, kalau Yama bilang seperti itu. Sudah biasa bagiku. “Kenapa tidak di sini saja?”
 
Kususun berkas 5 lembar yang sudah penuh dengan tulisanku itu dan menjilidnya dengan rapi.
“Pingin saja. Ayolah...,” pintanya lagi. Dan dengan anggukan kecil kubalas permintaannya. Kuambil karanganku dan berhenti di samping meja Daiki. “Dai chan, mau ikut?”
 
Daiki menengadah dan menggeleng. “Duluan aja,” jawabnya.
 
Aku dan Yama saling lirik. “Ya sudah. Duluan ya. Jangan lupa ke kantin,” sahutku kemudian berjalan keluar kelas bersama Yama.
 
x.x
 
Kuaduk-aduk milkshake vanila di hadapanku dengan sedotan. Melihat warnanya itu memang sangat mengunggah selera. Tapi entah mengapa aku sama sekali tak berniat meminumnya barang setetes pun.
 
‘Diem ah! B’risik tahu!’
 
Dheg..!
 
Kenapa aku mengingatnya di saat-saat seperti ini sih?
 
“Chii,” panggil Yama yang duduk di hadapanku.
“Apa?” balasku.
“Milkshake-nya tak mau diminum?” tanyanya lagi.
 
Aku mengangguk dan meminum sedikit minuman yang sedikit bersoda itu. Rasa manis dan sedikit bersoda itu menyengat indra pengecapku.
 
 
Aku kembali teringat hal yang terjadi akhir-akhir ini.
 
“Enggak deh. Aku ga suka!”
“Sesukaku dong Chii!”
“Lho, rasanya kok kamu makin pendek ya? Ahaha... Maaf Chii. Bercanda kok!”
“Aku ga suka ah! Warnanya norak banget!”
“Ga banget deh!”
“Entah.”
“Ga tahu deh. Cari dong.”
“Mana kutahu. Aku ‘kan bukan orang tuanya.”
 
Chii!!
 
Chi?
 
Lamunanku terbuyar. Dan kudapati Yama sedang menatapku dengan tatapan cemas. “Kenapa? Mukamu sedikit pucat,” katanya.
 
Aku menggeleng. “Gomen Yama chan. Kita bicaranya lain hari saja ya.”
 
Dan dengan itu aku berlalu dari kantin meninggalkan Yama sendiri yang menatapku heran.
 
 
-Our Friendship-
 
Kutatap langit-langit kamarku yang bernuansa laut. Kemudian kugerakkan tubuhku mengarah ke kanan dan menatap pemandangan luar dari pintu kaca menuju balkon kamarku. Yang kulihat hanyalah langit cerah dan sedikit berawan. Bertolak belakang dengan suasana hatiku yang sedang mendung. Kenapa tidak hujan saja sih?
 
 
Kututup mataku. Kembali lagi ingatan yang sudah menghantui mimpi dan keseharianku selama seminggu terakhir.
 
Flashback>


Seminggu yang lalu...
Aku melangkah perlahan menuju kelasku. Hari ini masih pagi. Kali ini aku terlalu cepat untuk ke sekolah sepertinya. Tak biasanya. Kuputuskan untuk ke perpustakaan sekolah saja. Tahu saja di kelas tak ada siapa pun dan aku harus di sana sendirian. Dan di keadaan yang masih rada remang-remang seperti ini, aku tak akan pernah duduk di sana sendirian.
Kugeser pintu perpustakaan yang bewarna hijau itu dan masuk ke dalamnya. Di sebelah kiriku ada sebuah meja yang ditempati sebuah komputer berwarna hitam. Kutolehkan kepalaku ke arah tempat duduk di balik meja itu.
 
Ah..
 
Sosok itu menatapku dengan heran sekaligus tajam. Kutelan ludahku dan mengulas senyum kecil. “Ohayou,” sapaku.
 
Sosok itu ternyata tersenyum kecil. “Tumben sekali kamu datang pagi,” ujarnya.
Huft..
 
“Jangan menatapku seperti tadi dong. Menakutkan tahu. Apa lagi sekarang masih gelap,” kataku padanya. Ngomong-ngomong, namanya Yabu Kouta. Dia teman seangkatan dan dulu pernah sekelas denganku. Sekarang dia di kelas 3-1 dan menjadi penjaga perpustakaan di waktu luangnya.
 
Ia tertawa kecil dan berjalan ke arahku. “Mau teh?” tawarnya.
 
Aku mengangguk sebagai jawaban. Siapa sih, yang bakal nolak penawarannya? Teh buatan seorang murid teladan ini kan sangat enak. Jadi kuikuti langkahnya menuju bagian dalam perpustakaan. Aku duduk di salah satu bangku yang ada di sana dan ia mulai sibuk dengan alat masaknya.
 
Aku termenung dan memangku daguku.
 
“Hihihi....”
Dheg..!!
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Di kananku hanya ada Kouta yang sedang menuangkan teh ke dalam gelas.
 
“Hoi, Kouta, yang tadi itu kamu ya?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu?” tanyanya sambil meletakkan gelas di hadapanku kemudian duduk di hadapanku.
 
“Jadi tadi itu siapa dong?” sahutku kalut.
 
“Maksudmu suara tawa tadi?”
 
Terdengar suara baru dari arah kiriku. Suara itu suara yang sangat kukenal. Tapi... suaranya terdengar dingin dan tajam.
 
Dheg..!
 
Kutolehkan kepalaku ke arah kiriku dan sedikit menengadah. Aku terperanjat. “Dai chan?” ujarku.
 
Ia menatapku sekilas. Kemudain baru kusadari bahwa ada seseorang di sampingnya. “Yaguchi Rui?”
 
“Hei,” sapa pemuda berambut cepak itu.
 
Kunyerngitkan dahiku saat menatapnya. Setahuku, Daiki sangat tidak menyukainya. Tapi mengapa ia bersama Rui?
 
“Duluan ya Chii. Dah,” kata Daiki kemudian pergi meninggalkanku sendiri dengan Kouta beserta Rui yang mengikutinya.
 
A.... Apa...?
“Chii? Tak apa?” tanya Kouta.
 
Aku segera menoleh padanya tanpa mengubah ekspresi terkejutku. “I.. Iya.. Tak apa,” jawabku. Kuambil gelas teh yang tadi disuguhkan Kouta dan meneguk cairan hangat itu. “Enak,” gumamku.
 
Kouta tersenyum. “Arigatou,” balasnya.
 
Aku tersenyum hambar dan kembali mengingat raut wajah Daiki yang dingin tadi.
Dan sejak saat itu gerak-gerik Daiki berubah. Ia menjadi jauh dariku dan Yama. Ia semakin sering mengatakan hal-hal buruk pada teman-teman dan ia makin dekat dengan Yaguchi Rui...
 
Flashback Ends>


Kubuka mataku dan menghela napas. Apa yang terjadi padamu, Arioka Daiki?
Kutatap sendu pigura yang berisi lembaran kita berdua. Dan kutarik seulas senyum kecil yang pahit. Kututup mataku dan kurasakan sebuah cairan hangat menuruni sisi wajahku dari mataku.
 
 
-Our Friendship-
 
 
Kuletakkan tasku di gantungan di bawah papan mejaku. Kemudian kubenamkan wajahku di antara tanganku yang bersila di atas meja. Kututup mataku dan tak mau berurusan dengan suasana yang hening di kelas ini. Iya. Kalian tidak salah baca kok. Kelas ini hening. Karena memang belum ada siswa yang datang selain diriku ini. Rasa takutku waktu itu berubah menjadi rasa sakit hati saat melihat perpustakaan. Jadi aku di sini saja sembari menunggu teman-teman sekelasku yang lain datang.
 
Kudengar langkah kaki dari luar kelas. Namun aku tetap membenamkan wajahku. Sudah kubilang kan, aku tak mau berurusan dengan suasana kelas ini dulu.

Kemudian kembali kudengar langkah itu yang semakin mendekat ke arahku. Kali ini kudengar suara kursi yang digeser dari arah depanku dan ada suara orang yang duduk di sana. Mau tak mau kutengadahkan kepalaku dan membuka mataku. Kulihat sosok punggung Daiki yang tegap. Aku mengulas senyum kecil, “Ohayou, Dai chan,” sapaku.
Ia berbalik dan menatapku sebentar. Kemudian ia mengambil langkah meninggalkanku di dalam kelas.
Ada apa?
Kenapa?
Apa salahku?
x.x
 
Kulirik jam tangan di lengan kananku. Jam 4 lewat 10 menit. Ke mana sih si Yama? Lama sekali dia tiba. Tak biasanya ia mengaret seperti ini. Biasanya ia sangat tepat waktu dan tak ingin membuat orang lain menunggu. Kali ini ia membuat seseorang—alias aku—menunggunya! Apa-apaan itu.
 
Kami ditugaskan untuk membuat penelitian tentang sesuatu. Dan aku kebagian kelompok bersama Yama, Keito, Asami, dan Rika. Ah.. Padahal aku berharap aku satu kelompok dengan Dai chan. Namun jika mengingat sifatnya akhir-akhir ini, kuurungkan niatku itu. Jadi kami membagi tugas. Aku dan Yama akan meneliti setengah. Dan sisanya akan diselesaikan oleh yang lain.
 
Sudah selesai sih sebenarnya tugas kami. Tapi si Yama tadi pergi sebentar untuk membeli air minum untuk kami berdua. Dan kini aku menunggunya di depan sekolah. Tapi sudah kutunggu selama 15 menit ia tak kunjung tiba di sini juga. Dia beli air minumnya ke mana sih..?
 
“Chii!” panggil seseorang dari arah kiriku. Dan di sanalah ia. Memegang dua buah kantung plastik pada tangan kanannya. Ia melambai singkat dengan tangan kirinya ke arahku. Aku membalas lambaiannya lebih singkat dan segera menghampirinya yang sudah dekat.
 
“Apa sih, yang kamu beli? Lama sekali,” gerutuku padanya.
 
Ia tersenyum. Namun ada sebersit tatapan sayu yang ia berikan padaku. “Aku beli camilan sekalian,” jawabnya. Kemudian ia melirik ke arah langit. Aku mengikutinya. “Mendung,” respon Yama lebih cepat dariku. “Kita masuk saja yuk,” katanya lagi. Aku hanya mengangguk dan segera melupakan rasa kesalku padanya.
 
Kami duduk dan bersandar di depan tembok kelas 1-3, yang terdapat di ujung bangunan pertama yang mengarah ke luar, ke arah halaman sekolah. Kuteguk Lemon squash kalengan itu. Sensasi dingin menyeruak di dalam tenggorokanku saat kutelan cairan itu. Langit sudah menjadi lebih pekat dari sebelumnya. Sepertinya akan ada hujan lebat. Untungnya aku sudah meyediakan payung di dalam tasku.
 
Kulirik Yama yang sedang meminum Greenteanya dengan nikmat. Entah mengapa. Kutarik napasku dan menghelanya dengan berat. Dan itu cukup membantu sedikit mengurangi beban di dalam hatiku.
 
“Ne, Yama chan,” panggilku.
“Hm?” sahutnya.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tannyaku padanya.
 
Ia menoleh padaku, “Tanya apa?”
 
“...Menurutmu... Dai chan itu bagaimana?” tanyaku sedikit ragu.
 
Ia tertegun sebentar kemudian tersenyum tipis. “Kamu juga memikirkannya ya?”
 
“Eh?”
 
Ia menunduk dan sibuk dengan tali sepatunya yang lepas. “Aku... tak suka cara berbicaranya,” jawabnya yang membuatku terhenyak. Aku juga merasakan hal yang sama, Yama chan..
“Lalu... ia juga kini lebih dekat dengan Rui. Jujur saja, itu membuatku sedikit sakit hati,” katanya lagi.
 
Aku menatap lantai dan tersenyum tipis. “Benar,” sahutku. “Aku juga sakit hati kok, waktu dia dekat dengan Rui. Padahal dulu ia tak begitu.”
 
Titik-titik air hujan turun dengan cepat. Hanya gerimis.
Kami kembali diam.
 
“Sampai kapan ya, akan begini terus?” gumamku.
Kurasakan tatapan Yama terarah padaku. Namun aku tak menoleh padanya dan malah beralih pada sepatuku. Sepatu ini.... pemberian Daiki sebagai hadiah ulang tahunku tahun lalu.
“Hei, Yama chan,” panggilku lagi.
 
“Ya?” sahutku.
“Menurutmu, sampai kapan kita akan bersahabat?”
“Entahlah. Selama-lamanya?”
“Dengan keadaan yang seperti ini?”
“....”
 
Ia diam. Tak tahu harus menjawab apa.
 
Aku kembali menghela napas dan menatap halaman sekolah yang kini telah basah oleh air hujan. Seandainya air hujan ini adalah air mataku, apakah Daiki akan tahu? Apakah ia akan menyadari bahwa aku tengah menangis karena dirinya? Apakah ia akan tahu bahwa kini aku sedang sakit karena dirinya?
 
Ah.. Entahlah..
 
“Ayo kita pulang, sebelum hujan bertambah lebat,” kataku akhirnya.
 
Aku menoleh pada Yama dan tersenyum kecil. Ia membalas senyumanku. Kemudian kami mengemasi barang-barang kami yang berserakan di atas lantai dan beranjak. Kukeluarkan payung biru-langit-malamku dari tasku dan membukanya. Hal yang sama dilakukan oleh Yama dengan payung abu-abunya. Kemudian dengan bersama kami melangkah keluar gerbang sekolah dan berbelok menuju ujung jalan.
 
Kami tetap berjalan dalam diam dan berhenti di depan sebuah zebra cross. Jalanan agak sepi. Mungkin karena belum jam pulang. Bahkan orang yang akan menyebrang hanya kami dan segelintir siswi yang sepertinya baru pulang jalan-jalan.
 
Lampu merah berubah menjadi hijau dan aku melangkah maju untuk menyeberang.
“Chii!!” seru Yama dari arah belakangku.
 
Aku menoleh, “A—“
“Awas!” serunya sambil bergerak untuk menyelamatkanku.
Apaan sih?
 
Brakk!!
 
Kurasakan sesuatu menabrak sisi kiriku dan aku merasa melayang cukup tinggi dari tanah dan terjatuh. Peganganku pada payungku terlepas. Kurasakan kepalaku berdenyut dengan sangat kencang. Kurasakan juga rasa nyeri di setiap jengkal tubuhku. Kupejamkan mataku erat-erat menahan sakit.
 
Kurasakan ada cairan pekat mengalir dari bagian belakang kepalaku yang terbentur tadi. Juga dengan sudut mulutku yang kurasakan adalah cairan berzat besi.
 
Kudengar langkah kaki yang menuju ke arahku. Kubuka mataku sedikit. Namun rasa sakit dari arah kepalaku memaksaku untuk menutup mataku.

“Chii! Kau tak apa?” tanya sebuah suara.
Aneh. Suara itu sangat familiar. Kucoba untuk mengingat. Kemudian kubuka mataku sedikit. Dan ada sebuah bayangan sosok di hadapanku, berlutut di sebelahku dan menunduk menatap wajahku. Itu wajah...., “Dai chan...,” gumamku.
 
Kemudian kututup mataku. Dan semuanya menjadi gelap.
 
-Our Friendship-
 
Kubuka mataku secara perlahan. Kukerjab-kerjabkan mataku untuk membiasakan cahaya yang masuk ke dalam retina mataku. Kemudian semuanya menjadi jelas. Aku terbaring di sebuah ruangan yang asing. Sangat asing.
 
Kuserngitkan dahiku dan mencoba untuk bangkit dan duduk. Namun kepalaku sangat sakit dan rasanya sangat mual. Aku melihat sisi kiriku. Ada seorang yang tertidur di sana. Rambutnya agak berantakan. Kuperhatikan orang ini lekat-lekat. Siapa dia?
 
Mungkin karena gerakanku, ia terbangun dari tidurnya dan menatapku. Ia memiliki pipi yang sangat chubby. Apa ia anak SMP? Ia terbelalak menatapku dan tersenyum sangat lebar.
 
“Chii! Akhirnya kau bangun juga! Syukurlah. Tunggu ya, kupanggilkan dokter dulu!” seru pemuda itu.
 
Tak lama kemudian ia masuk dengan seorang dokter dan seorang perawat dan beberapa orang. Yang satu memiliki paras tampan namun imut. Dan senyumannya lebih mengarah pada seringaian yang jenaka. Ada juga sosok gadis berambut sepundak lewat yang menatapku dengan tatapan sangat lega. Dan pria dan wanita paruh baya yang tubuhnya terlihat agak atletis.
 
 
Dokter itu memeriksa keadaanku sebentar dan memberitahu sesuatu pada perawat itu. Kemudian perawat itu mencatat sesuatu di papan tulisnya.
 
“Nah, saya dr. Okada, dokter yang menanganimu selama ini,”kata dokter itu. Aku hanya mengagguk mengerti. “Bisakah kamu mengingat apa yang terjadi?” tanya dokter itu padaku.
Aku menyerngitkan dahiku. Mengingat apa? Semuanya kosong dan gelap.
 
Kemudian aku menggeleng.
 
“Baiklah. Coba kamu sebutkan siapa saja yang ada di hadapanmu ini,” pinta dokter itu dan menunjuk orang-orang yang masuk tadi.
 
Aku melihat mereka satu persatu dan aku kembali menyerngitkan dahiku. “Dare?”
 
Dan aku mendapat tatapan terkejut dan tak percaya dari mereka...
 
 
-End-
 
 
Note:
 
Ah... Karakternya semua OOC ya.. >< Udah gitu, endingnya ambigu pula.
Hehe... Yah, itu dibuat supaya semuanya dapat berimajinasi sendiri bagaimana akhirnya..^^
Nah, sekian.. ^^ Yoroshiku~ >w<
Glosarium:
Gomen: Maaf
Ohayou: Selamat Pagi
Arigatou: Terima kasih
Dare: Siapa