Time Machine
Title : TIME
MACHINE
Categories : oneshoot
Genre : Friendship — hurt/comfort
Rating : General
Plot : backward flow (alur mundur)
Theme song : Time Machine © Girls Generation
Author : Sheila Juwita
Alamat : Jalan Raya Ngepung, RT. 01 RW 01, dsn. Jenar, ds. Ngepung, kec. Patianrowo, kab. Nganjuk, Jawa Timur
Umur : 16 th.
Categories : oneshoot
Genre : Friendship — hurt/comfort
Rating : General
Plot : backward flow (alur mundur)
Theme song : Time Machine © Girls Generation
Author : Sheila Juwita
Alamat : Jalan Raya Ngepung, RT. 01 RW 01, dsn. Jenar, ds. Ngepung, kec. Patianrowo, kab. Nganjuk, Jawa Timur
Umur : 16 th.
Alasan mengikuti lomba: last year, i wrote a birthday fanfic for Chinen. And then, I think that this year, I must do the same thing.
Cast : 1. Chinen Yuri
2. and all the members of Hey! Say! JUMP
Synopsis/Quote: Aku memang manusia yang tidak tahu diri. Aku sendiri yang membuang diri dari kalian, tetapi dengan egoisnya aku malah masih mengharapkan kalian mencariku. Atas semua yang sudah aku perbuat pada kalian.
…
…
Bisa
kulihat butiran-butiran salju yang terinjak oleh kakiku yang terbalut sepatu
kets berwarna merah. Salju yang putih bersih, yang baru saja turun.
Hah, kapan terakhir
kali aku melihat salju bersama kalian?
Dengan
tidak ada niat untuk mempercepat langkah di tengah salju putih yang mulai turun
dari langit yang cukup basah di atas sana, aku terus melangkah maju dengan
perlahan sembari terus mengawasi jalanan yang cukup sepi saat ini.
Kalau sekarang aku
bisa bertemu dengan kalian dan memohon maaf, apa semua ini bisa berubah lebih
baik?
Senyuman
tipis tiba-tiba saja tersungging dengan ragu di wajahku. Semua kalimat
pengandaian yang terus muncul di kepalaku bagai proses kesetimbangan dalam
kimia yang tak pernah habis, kalimat itu pula tak pernah berhenti terpikirkan
olehku.
Aku sungguh menyesal
atas semuanya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Di
tengah-tengah keputusasaaanku, tiba-tiba beberapa orang menghampiriku. Dengan
susah payah, aku membalasnya, “kalian…?”
…
Kalau
aku bisa menuliskan perasaanku, pasti sudah satu buku penuh yang terisi hanya
dengan kosakata maaf di sana. Dan tentu saja kata maaf itu untuk kalian.
Sekali
lagi, aku melihat foto yang ada di tanganku. Ini adalah satu-satunya benda yang
tersisa setelah aku menghancurkan semua barang yang aku miliki. Saat itu aku
benar-benar tak kuasa dan kehilangan kendali. Karenanya aku merasa muak melihat
hal-yang-berhubungan-tentang-aku-dan-kalian.
Meskipun
pada awalnya aku berkata pada diriku sendiri bahwa, ayolah, semua tidak akan apa-apa tanpa mereka dan benda sialan ini. Tapi
nyatanya semua tidak seperti pikiran jangka pendekku saat itu.
Semua-bukanlah-tidak-apa-apa jika kalian tidak bersamaku.
Aku
tahu, aku tahu. Semua penyesalan ini sudah terlambat. Dan apa yang akan aku
lakukan sekarang, tidak akan mengubah apapun selain menambah tumbukan dalam
perasaan ini. Ya, luka ini semakin melebar ketika aku mengingat kesalahan besar
yang sudah aku lakukan.
Demi
apapun di dunia, aku ingin memperbaiki semuanya.
…
Hari-hari
kesendirianku terasa berjalan begitu lambat. Hukuman ini benar-benar
menyakitiku, saat aku sadar bahwa aku sendirian dala ruang waktu ini.
Setiap hari, aku tak pernah berhenti
berharap, seandainya saat ini aku memiliki mesin waktu. Pasti aku akan
menggunakannya untuk kembali ke saat sebelum semuanya menjadi hal yang terlalu
rumit seperti ini.
Aku akan menemui kalian, dan menarik
kata-kata tidak pantasku saat itu. Meskipun mungkin dengan aku menarik
kata-kataku saja tidak dapat mengembalikan semuanya dengan cepat. Tetapi
setidaknya, aku tidak melukai kenangan kita yang pernah ada selama ini.
Semua kenangan itu, yang sangat
indah dan tidak akan terulang jika aku sendirian seperti ini, sekarang hanya
tinggal fosil memori yang terpuruk begitu dalam karena tertindih dengan noda
yang aku perbuat. Sebelum kenangan kita berlalu begitu saja.
Semua ini adalah kesalahan. Ini
adalah kesalahan terbesar yang pernah ada, bukan?
Aku memang manusia yang tidak tahu
diri. Aku sendiri yang membuang diri dari kalian, tetapi dengan egoisnya aku
malah masih mengharapkan kalian mencariku. Atas semua yang sudah aku perbuat
pada kalian.
…
“Chinen?”
Sontak
aku mendongakkan kepala. Dengan tetap memasang wajah angkuh, aku menatap
kalian. Satu lawan delapan. Benar-benar tidak menunjukkan sebuah keadilan.
“Apa?”
balasku tak ingin banyak bicara. Tapi entah kenapa jantungku ingin meledak.
Rasanya ingin berteriak dengan keras.
“Tidak.
Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi. Mungkin setelah ini kita akan jarang
berjumpa.”
Mendengar
kalimat tersebut muncul dari mulut itu, perasaan aneh ini semakin bergejolak.
Jantungnya terasa benar-benar ingin keluar. Rasanya
sakit tidak karuan dan… aaarrgh, kenapa perasaan aneh ini muncul di saat
seperti ini?
Benarkah itu…
Ryosuke?
“Hn.
Mungkin saja iya.” Demi sapu terbang Harry Potter! Ada apa dengan diriku!
Kenapa aku bisa mengucapkan kalimat sedingin itu? Kemana Chinen Yuuri yang
selalu tersenyum ceria selama ini?
“Dan
juga… Semoga apa yang kau lakukan setelah ini, adalah jalan yang benar-benar
ingin kau lalui. Sukses ya.”
Yabu-kun? Kenapa cara
bicaramu seperti itu? Kini aku benar-benar merasa berada di pada jalan yang tak
sama dengan kalian.
“Ya,
kalian juga.” Entah kenapa lidah ini selalu saja tidak mau bergerak untuk
mengeluarkan kalimat yang lebih panjang.
“A-ah,
Chinen!”
“Ya,
Daiki?”
“J-jaga
dirimu baik-ba— ah maaf, kau mengerti maksudku.” Daiki berlari memasuki rumah
tanpa mengatakan apa-apa lagi. Setelah itu kulihat, berturut-turut kalian masuk
ke dalam rumah. Hingga tersisa Yuto di akhir, tetapi tidak berlangsung lama
karena dia hanya mengangguk lalu ikut masuk ke dalam rumah dan menutup pintu
depan.
Sekarang
tinggal aku sendirian.
“Sayonara…”
…
“Kau…
Serius akan pergi?” Tanya Daiki tiba-tiba.
Seketika
itu, aku yang sedang mengemasi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam
koper, berhenti sejenak. Detik kemudian aku kembali melakukan kegiatanku,
sembari menjawab pertanyaan Daiki tetapi tanpa memandang wajahnya.
“Tentu
saja. Aku tidak pernah seserius ini sebelumnya.”
Setelah
itu hening kembali terjadi di antara aku dengannya. Hingga akhirnya selang
beberapa waktu, aku sudah selesai mengemas semua barangku dan menarik koper itu
ke pojok kamar. Ketika kulirik sekilas, kulihat Daiki tetap pada posisi dia
sebelumnya. Duduk di atas kasur dengan kepala menunduk.
Melihat
Daiki seperti itu, muncul sebuah perasaan aneh dalam dadaku.
Apa
Daiki seperti itu karena dia terkejut dengan keputusanku tadi? Apa iya, Daiki
yang selalu ceria itu sekarang berwajah murung dan menundukkan kepalanya hanya
karena seorang Chinen Yuuri menyatakan bahwa dirinya mundur dari Hey! Say!
JUMP?
Lalu,
apa teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama?
Kugelengkan
kepalaku dengan keras. Tidak mungkin.
Tidak mungkin mereka seperti itu karena aku. Bukankah akhir-akhir ini mereka
sendiri yang berkata kalau aku sudah berbeda. Itu artinya aku sudah tidak sama,
dan harus pergi kan? Ah, mungkin saja Daiki sedang memikirkan hal lain.
“Chii?”
Spontan
aku menoleh pada Daiki yang memanggilku, “a-ada apa?”
Begitu
kupandang matanya, di sana tampak seperti redup dan sayu. Tidak seperti matanya
yang biasanya aku lihat. Tetapi kemudian, Daiki hanya diam dan tidak mengatakan
hal lain.
“Oyasuminasai…”
katanya seraya menarik selimut dan memutar badan agar tidur menyamping ke
kanan.
“Oyasumi,”
balasku sambil melakukan hal yang sama.
…
“—Kalau
begitu, aku keluar.” Tukasku memotong perkataan Daiki.
Semua
mata sekarang tertuju padaku. Memang tak dapat dipungkiri bahwa aku melihat
jelas di sana raut wajah terkejut dan tidak percaya yang diberikan oleh delapan
orang temanku. Termasuk Daiki yang sekarang berdiri tepat di sampingku.
Tangannya yang tadinya memegang pundakku sekarang jatuh terkulai begitu saja.
“A-apa?”
Hikaru yang pertama kali bersuara. Setelah keheningan terjadi secara begitu
mendadak dan cukup memakan waktu lama.
“Aku
keluar. Keluar dari Hey! Say! JUMP. Apa kurang jelas?” jelasku dengan sedikit
gusar.
“Tapi
tunggu dulu! Apa maksudmu dengan mengatakan kalau kau keluar? Mendadak seperti
ini? Kau sudah gila ya?!” teriak Ryosuke. Dapat kulihat jelas, matanya memerah.
Entah karena marah atau hal lain.
Aku
maju satu langkah. Agar lebih dekat pada Ryosuke. Masih dengan nada dingin dan
bosan, aku berniat memperjelas semuanya.
“Aku
tidak gila. Justru karena aku tahu jalanku bukan di sini, karena itu aku
keluar. Bukankah akhir-akhir ini kalian sendiri juga mengatakan kalau ada yang
berbeda dariku yang sekarang? Kalian menganggap aku sudah bukan diriku yang
dulu kan?” aku berhenti sejenak. Seraya mengambil napas, aku juga memperhatikan
ekspresi semua orang.
Inoo
dan Takaki hanya diam menunduk. Yuto, Keito, dan Yabu walau tidak berbicara
tapi mereka memperhatikan. Hikaru yang berdiri tak jauh dari Ryosuke juga hanya
diam. Daiki masih membeku di tempatnya. Hanya Ryosuke yang bereaksi dengan
keras.
“Bukankah
bagus, jika aku keluar? Kalian tidak perlu khawatir lagi dengan formasi yang
berantakan dan suara yang tidak menyatu. Kalian juga tidak perlu menungguku
yang selalu datang terlambat. Dengan begini, latihan kalian juga tidak akan
terhambat bukan?” lanjutku.
Setelah
itu, hening kembali terjadi. Ryosuke tampak membalikkan badan. Menjauh dariku
dan mengambil tempat duduk di pojok ruangan. Dia mengalihkan pandangan kepada
dinding di sampingnya.
“Tapi…”
Yuto menahan suaranya sebentar, dan melihat dan kau mataku sambil melanjutkan,
“Ryuu belum kembali. Dan… dan kau akan keluar? Apa kau membiarkan Hey! Say!
JUMP tinggal berdelapan?”
Semua
orang menundukkan kepala. Tak ada yang berani saling memandang. Begitu juga
denganku. Perkataan Yuto barusan menusuk dada kami semua. Aku sendiri juga
tahu, Ryutaro belum kembali. Tapi aku
sudah muak. Aku benci dengan grup ini sekarang.
“Tak
ada pilihan lain. Aku memang sudah tidak cocok dengan kalian. Lebih baik kita
sama-sama pergi dengan jalan yang berbeda dari pada dipaksakan seperti ini.”
Jelasku.
“Chinen—“
perkataan Inoo di potong oleh Yabu.
“Sudahlah,
minna. Kalau itu sudah keputusan Chinen, biarkan saja. Kita sebagai teman,
harus menghormatinya. Sekarang lebih baik kita istirahat. Hari sudah begitu
malam.” Kata Yabu dengan tegas tetapi entah kenapa terdengar lembut di
telingaku.
Aku
melihat wajah Yabu. Disana terdapat ekspresi yang tenang. Khas seorang leader.
“Meskipun
aku berharap, esok hari kau akan merubah keputusanmu.” Lanjut Yabu. Tak
kusangka masih ada lanjutan dari kalimatnya tadi.
Aku
tersenyum simpul, dan berjalan membelakangi mereka. Ketika sampai di depan
pintu, aku membalas perkataan Yabu barusan, “tentu saja. Besok pagi, aku akan
berkemas dari sini.”
Setelah
pintu kututup, dapat kudengar dengan samar bahwa seseorang berteriak dari dalam
sana.
…
Sudah cukup. Yang
seperti ini sudah cukup.
“Berhentilah
memarahiku seperti itu! Apakah semua masalah ini adalah kesalahanku
sepenuhnya?!” teriakku dengan cukup keras.
Aku
benar-benar muak. Selalu seperti ini. Selalu aku yang disalahkan. Mereka sama
sekali tidak bisa mengerti apa yang aku pikirkan.
“Hei,
jangan membentak seperti itu. Kita bisa bicarakan semua ini dengan pelan.
Jangan emosi.” Yuto mengangkat suara.
Aku
mendengus. Pelan-pelan katanya? Yang seperti ini seharusnya secepatnya
diselesaikan. Sebelum lebih buruk lagi. “Baik. Katakan apa mau kalian.” Tegasku
tetapi dengan suara yang lebih pelan dari pada tadi. Aku melirik kursi kosong
di sampingku dan akhirnya memutuskan untuk duduk di atasnya.
“Kenapa
kalimatmu seperti itu? Bukankah kita ini sama saja? Kesannya seperti kau bukan
anggota dari kami.” Ryosuke berkomentar.
Aku
hanya diam. Menunggu pembicaraan lain yang lebih serius.
“Begini,
Chinen. Bukannya aku memarahimu, tetapi akhir-akhir ini kau sudah berubah.
Sering telat latihan dan gerakanmu kebanyakan tidak bersamaan. Aku hanya ingin
bertanya, sebenarnya kau ini kenapa?” Yuya melanjutkan kalimatnya yang tadi
sempat terputus.
Aku
tersenyum sinis, “buat apa kau ingin tahu masalahku? Bukankah masalah telat dan
berbeda tempo itu adalah masalah biasa? Atau kau menganggap ini sebagai hal
lain?”
“Chinen!
Bisakah kita bicara lebih serius lagi? Jangan buang kata-kata tidak penting
seperti itu. Lebih baik selesaikan semuanya dan kita bisa berlatih bersama
lagi.” Keito kali ini juga ikut berkomentar.
“Kata-kata
tidak penting katamu? Apakah apa yang ada di dalam hatiku bukan hal penting
bagi kalian?” emosiku kembali terpancing. Pembicaraan ini benar-benar menguras
emosi.
“Tidak,
bukan begitu—“
“Cukup.”
Kataku memotong kalimat Keito. Aku lekas berdiri dari posisiku duduk dan
berjalan meninggalkan ruang latihan. Membuka pintu dan menutupnya. Tidak peduli
lagi dengan apa yang terjadi di dalam sana.
Uza i yo.
…
“Akhir-akhir
ini kau sering telat. Sebenarnya sebelum latihan kau pergi kemana?” Tanya Daiki
sembari menutup pintu kamar. Dia berjalan ke kursi dan menunggu jawaban dariku.
“Tidak
ada.” Jawabku singkat sambil melepas baju dan berganti dengan piyama.
“Aku
tidak ingin ikut campur dengan urusanmu, tetapi yang aku tahu sebelumnya kau
tidak pernah tidak disiplin seperti ini.” Kata Daiki.
Aku
hanya mengangkat bahu dan kemudian berbaring di atas kasur, menarik selimut dan
mengucapkan salam, “ya, aku tahu. Oyasumi.”
“Oyasuminasai,
Chii.”
…
“Terlambat
lagi, eh?” seru Hikaru.
Aku
hanya diam. Sambil meletakkan tas di atas sofa dan melakukan sedikit pemanasan
otot. Tidak terlalu ingin menanggapi apa yang dikatakan Hikaru barusan.
“Sebenarnya
kau dari mana? Akhir-akhir ini sering terlambat.” Inoo menepuk pundakku dan
kemudian dia duduk di sofa lantas mengambil handuk dan mengelap keringan yang
ada di dahinya.
“Bukan
apa-apa.” Balasku. Tak ingin berkomentar banyak. Aku tidak ingin mereka
menanyakan lebih jauh tentang hal sepele seperti ini.
Mereka
saling berpandangan sejenak. Tetapi aku tidak mempedulikan itu dan melakukan
beberapa gerakan dasar. Berniat untuk memulai latihan dan tidak menghiraukan
mereka.
“Yosh!
Karena Chinen sudah datang, ayo kita latihan lagi! Ganbatte!” teriak Yuto penuh
semangat.
Merepotkan…
…
Aku
berjalan-jalan di atas jembatan. Berhenti di tengah-tengah dan menopangkan
tubuh pada selusur besi jembatan. Membiarkan angin mengibarkan rambutku dengan
lembut. Aku membalikkan badan dan melihat ke arah bawah. Air sungai tampak
begitu tenang.
Aku lelah.
Aku
tidak berniat membohongi diriku sendiri. Aku memang lelah. Tidak bisa
terus-terusan berpura-pura baik di depan banyak orang. Meskipun aku tahu,
banyak penggemar di luar sana yang menantikanku, tetapi rasanya aku tidak ingin
menemui mereka.
Aku
lelah. Sudah sangat lelah.
Tidakkah
salah satu orang di dunia mengerti itu?
Aku
membalikkan badan dan berjalan meninggalkan jembatan. Dengan perasaan terpaksa
aku harus kembali ke tempat yang selama ini serasa memenjarakanku. Mengurungku
dalam sangkar ketidakbebasan.
Aku harus berbuat
sesuatu untuk ini…
…
“Nemureru
mori no naka eien no wana to shittemo koukai shinai sa…”
“Tunggu-tunggu!”
Semua
orang berhenti menari, dan menoleh kepada sumber suara. Ternyata Yabu-lah yang
tadi bersuara, dan dia sekarang mematikan music player dan berdiri di depan
kami semua.
“Ada
apa?” Daiki buka suara.
“Temponya
berantakan. Kalau begini, nanti Yuya tidak bisa sampai depan pada saat yang
tepat.” Jelasnya.
Semuanya
saling memandang. Sedikit kurang mengerti dengan penjelasan Yabu. Dan Yabu
hanya menggelengkan kepala.
“Chinen,
bisakah di saat bertukar posisi dengan Ryosuke tadi kau bergerak dengan sedikit
lebih cepat? Semua akan berantakan jika kau terus menari dengan cara seperti
itu.” Jelas Yabu.
Kunaikkan
sebelah alisku. Sedikit tersinggung dengan perkataan Yabu barusan. Hei, kenapa tiba-tiba dia menyalahkanku?
“Maksudmu
apa?” tanyaku dengan dingin.
Yabu
berjalan selangkah lebih dekat. Kemudian dia memutar badannya, dan menari
bagian yang tadi aku tarikan. Beberapa detik aku hanya diam melihatnya menari.
Setelah selesai dia berbalik badan dan melihatku.
“Seperti
itu. Kau mengerti?” ucap Yabu.
Maksudnya apa? Aku hanya
diam, tak membalas.
“Ah,
iya benar. Akhir-akhir ini tempo gerakan Chinen memang berubah. Sedikit
lambat.” Ryosuke ikut berpendapat.
Kenapa dia
ikut-ikutan? Aku memandang Ryosuke. Namun dia hanya membalas dengan
tatapan hei-aku-benar-kan?
“Sebenarnya
aku juga sering hampir menabrakmu ketika berpindah posisi.” Kata Hikaru.
Dengan
geram aku berseru, “hei! Maksud kalian apa? Memojokkanku seperti itu?” otakku
jelas-jelas tak habis pikir. Kenapa tiba-tiba mereka semua melemparkan
kesalahan padaku. Memojokkanku seperti ini, apa iya adalah hal yang bagus bagi
mereka?
“Kami
tidak memojokkanmu, kawan. Hanya… Melakukan sedikit evaluasi mungkin?” Yuya
membalas.
Aku
mundur satu langkah. Lalu kulihat satu-persatu wajah mereka. Entah kenapa semua
mata hanya tertuju padaku. Bahkan Daiki juga melakukan hal yang sama! Sial, apa maksudnya semua ini?
“Kalian
mengerjaiku?” ucapku waspada. Di sini seperti aku adalah buronan dan mereka
adalah polisi yang siap menerkam kapan saja.
Daiki
melangkah mendekatiku, meskipun suaranya terdengar lembut tetapi tatapannya
sungguh mengangguku, “maksudmu apa?”
Tiba-tiba
saja seluruh pikiranku kacau. Tidak dapat kukendalikan dan tanganku mendorong
bahu Daki agar tidak mendekat lagi. Dia memang tidak sampai jatuh, tetapi bisa
kulihat raut wajah terkejut yang tergambar olehnya.
Aku
berlari meninggalkan ruang latihan tanpa mengatakan apapun.
…
“Kau
tidak lelah, Daiki?” tanyaku padanya yang sedang melepaskan jaket dan
kemejanya, lantas mengganti dengan kaos oblong berwarna biru.
“Tentang
apa?” balasnya kemudian. Dia menutup pintu lemari dan menatapku sekilas.
Aku
mengangkat bahu, sedikit tidak yakin dengan apa yang akan aku katakan. “Semua
ini. Maksudku, kegiatan kita. Profesi kita.” Jelasku dengan sedikit rancu.
Daiki
hanya membalas dengan senyum simpul, kemudian dia mengambil dua cangkir yang
ada di atas meja dan memberikan salah satunya padaku. Kulihat isinya dan
tenyata coklat panas. Isyarat yang diberikan Daiki agar aku meminum coklat itu,
aku lakukan. Dengan diam, aku menunggu balasan Daiki.
“Hmm…”
dia bergumam beberapa saat, sampai akhirnya menggeleng dan berkata, “tidak.
Tidak terlalu sih.”
Aku
hanya mengangguk-angguk kecil. Padahal jawaban itu sudah bisa kuterima, tetapi
entah kenapa rasanya seperti ada perasaan mengganjal di dalam hatiku.
Rasanya aku tidak
merasakan hal yang sama.
“Hei!”
Daiki menepuk pundakku. “Memangnya kau lelah?”
Saat
itu, entah kenapa sebagian besar hatiku memberontak ingin mengatakan ‘iya’
dengan keras. Tetapi aku hanya menahannya. Dan menggeleng. “sedikit. Badanku
terasa pegal-pegal.” Kataku.
Daiki
tersenyum dan berdiri lalu menuju ke kasurnya sendiri. Sebelum dia berbaring
dia mengatakan beberapa hal padaku, “yang pasti, aku tidak tahu kapan semua ini
akan berakhir nantinya. Yang aku tahu, aku hanya harus melakukan yang terbaik
sebelum semuanya berhenti pada saatnya. Karena, ini adalah keputusan besar yang
aku buat beberapa tahun lalu. Untuk semua orang yang mengenalku, aku memang
harus terus berusaha bersama kalian kan?” katanya, nyaris seperti separagraf
pidato.
Aku
menoleh padanya. Dan mengerutkan dahi. Sedikit tidak mengerti dengan ucapan
Daiki.
“Untuk semua orang dan diri kita
masing-masing. Kita harus berjuang dalam Hey! Say! JUMP. Kita mulai debut kita
dengan penuh semangat! Apa kau sudah lupa kalimat itu?” katanya dengan sedikit suara tawa kecil di sela-selanya.
“Uun.
Itu adalah janji yang kita ucapkan ketika pertama kali debut.” Jawabku.
“Baguslah
kalau kau ingat. Kalau begitu, lekas tidur. Besok ada pemotretan untuk majalah.
Oyasumi!”
“Oyasumi,
Daiki.” Dan aku menarik diri ke dalam selimut yang tebal.
Entah kenapa, saat
mengingat janji tadi. Rasanya seperti tidak ada perasaan yang berubah. Aku
tetap merasa terganggu.
…
…
Aku
membelalakkan kedua mata. Memastikan dengan seksama, apakah benar gerangan yang
berdiri di depanku sekarang adalah bukan ilusi. Bukan seperti sebuah genjutsu
dalam anime Naruto.
“M-minna?”
suaraku tertekan. Hanya bisa mengucapkan satu kata dengan terbata untuk
memperoleh alasan kuat, atas makhluk yang ada di depanku sekarang.
Benarkah ini kalian?
“Ohisashiburi
ne. Kau tampak sedikit berbeda.”
“Ya.
Kau terlihat sedikit gemuk. Sayangnya tubuhmu masih tetap pendek.”
“Oh,
dan juga lihat pipinya. Semakin besar dan jelek.”
Tidak
peduli dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan, aku segera berlari. Berlari
menuju mereka agar aku benar-benar bisa menyentuhnya. Dan yakin seratus persen,
bahwa aku tidak sedang meratapi nasib dengan bermimpi di sore hari.
Kudekap
tubuh pemuda sedkit gemuk di depanku, dengan berbisik aku dan sedikit tidak
percaya aku berkata, “Daiki… Kukira aku tidak akan melihatmu lagi.”
Yang
kudengar, Daiki tertawa dan mengelus-elus kepalaku. “Hahaha, yang benar saja!
Kita pasti bertemu kan? Masih satu Negara dan satu prefektur!”
Aku
tersenyum simpul membalasnya. Perasaan penat yang selama ini ada di dalam
dadaku, rasanya hilang begitu melihat wajahnya. Kukira semua tidak akan semudah
ini. Ternyata sekarang aku bisa bertemu dengannya. Setelah kesalahan besar yang
aku perbuat dan mengakibatkan kami berpisah. Mengingat dialah orang yang paling
dekat denganku, membuatku sangat lega melihatnya sekarang berada di depanku.
“Hei,
hei. Kenapa kalian jadi yaoi begitu? Memangnya kau tidak kangen padaku, eh
Chinen?” suara Ryosuke membuatku melepaskan pelukan pada Daiki, dan berganti
memeluknya.
“Oi
oi, kenapa kau jadi memelukku?” protes Ryosuke saat aku mendekap tubuhnya.
“Kangen.”
Balasku singkat. Tetapi tubuh ini, benar-benar nyaris aku lupakan rasanya.
“Hanya
Ryosuke?” Yuto bersuara.
Aku
melepas pelukan pad Ryosuke, dan sekarang berganti memeluk tubuh jangkung Yuto.
Sama seperti Ryosuke dan Daiki sebelumnya, aku mendekap erat tubuh Yuto dengan
mata terpejam. Merasakan perasaan nyaman karenanya.
“Jadi
rencanamu sekarang adalah memeluk kami satu-persatu, begitu?” kata Yabu.
Aku
melepaskan Yuto dari tubuhku, dan berganti menatap semua orang. Aku membungkuk dan
menangis. Menangis karena terlalu lega dan merasakan perasaan bersalah yang
amat besar.
“Gomen...
Gomen... Gomen…” ucapku berulang dengan berlinang air mata. Jujur, aku tak bisa
memaafkan diriku saat ini. Aku merasa sebagai manusia terburuk di dunia.
“Sudah…
Jangan begitu.” Hikaru menegakkan tubuhku kembali.
Aku
terisak. Menatap semua orang dengan penuh perasaan bersalah. “Maafkan aku. Aku
sungguh merasa bersalah. Aku yang memutuskan untuk keluar, tetapi aku juga yang
menyalahkan kalian karena tidak ada di dekatku. Kalian pasti susah, ketika aku
pergi. Maafkan aku. Aku hanya membuat masalah dalam grup kita.” Jelasku.
“Kukira
aku tidak bisa bertemu kalian lagi. Kukira aku tidak bisa lagi untuk
mengucapkan maaf pada kalian. Meskipun aku tahu, kata ‘maaf’ tidak cukup untuk
menggantikan semua perbuatanku. Tetapi percayalah… Aku begitu bahagia saat
melihat kalian berada di depanku sekarang.” Lanjutku. Airmataku terus keluar
tak bisa kuhentikan. Semuanya memang hanya tergambar lewat sikap ini.
“Kami
juga sangat bahagia, melihatmu dengan keadaan baik-baik saja. Kami sangat
khawatir terjadi hal yang buruk padamu. Sejak hari itu, semua hal terasa kurang
dan tidak bisa berjalan sebaik biasanya. Tentu saja karena kau tidak ada
bersama kami.” Jelas Ryosuke.
“Chinen,
dengar. Sebelum ini, kami tidak pernah sedikit pun merasa tidak cocok denganmu.
Kami memang salah, karena tidak mengerti perasaanmu saat itu dan malah bersikap
memojokkanmu. Seharusnya kami menahanmu pergi, bukan malah membiarkanmu. Semua
hal terasa sangat sulit saat itu.” Yabu menambahkan.
“Setiap
hari, kami selalu mencarimu. Tetapi entah kenapa, menjadi begtiu sulit dan kami
tak bisa menemukanmu. Putus asa, memang sudah hampir kami lakukan. Tetapi
karena kami tahu, jiwa Hey! Say! JUMP terasa kurang, kami harus mencarimu.
Melakukan semua hal yang terbaik sebelum terlambat. Dan akhirnya, hari ini kami
bisa bertemu denganmu.” Tambah Inoo.
“Semua
karena ini adalah hari yang special bukan?” seru Yuya.
“Ya.
Ini adalah harimu, kawan. Karena itu keajaiban menuntun kita pada hari penting
ini. Otanjoubi omedetou, kami sangat menyayangimu.” Kata Daiki.
Dan
kami berpelukan bersembilan. Dalam beberapa saat kami hanyut dalam pikiran
masing-masing. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Sebelumnya aku
sempat lupa, bahwa mereka terasa begitu membahagiakan bagiku.
“Ah,
ya! Ini aku bawakan kue ulang tahun untukmu. Agak kecil sih, tapi cukup untuk
satu lilin kok.” Kata Keito sembari mengeluarkan kotak kecil dari balik
tubuhnya.
Aku
membuka kotak itu, dan di sana ada sepotong kue coklat. Lalu Keito meletakkan
satu lilin kecil di atasnya dan menyalakan api.
“Make
a wish, brother.” Ucapnya.
Aku
memejamkan mataku dan mengepalkan kedua tangan di depan dada. Sembari membuat
permohonan.
Aku
membuka mata dan meniup lilin kecil di atasnya. Lalu tersenyum dan memandang
teman-temanku satu-persatu.
“Jadi?”
tanya Yabu memecah keheningan.
Tanpa
berpikir banyak aku menjawab, “tadaima.”
“Okaeri.”
…
Aku berharap. Dalam ulang tahunku kali ini.
Tidak akan terjadi hal buruk lagi pada kami. Semua akan berjalan dengan baik,
seperti cahaya lilin kecil di depanku ini.
…
…
THE END
…
…
Mini dictionary
Oyasuminasai/oyasumi : selamat tidur.
Sayonara : selamat tinggal.
Uza
i yo : menyebalkan.
Matte : tunggu!
Minna :
semuanya.
Tadaima : aku kembali.
Okaeri : selamat
datang kembali.
Ohisashiburi
ne : lama tak
jumpa.
No comments:
Post a Comment