Our Friendship
Categories : Fanfiction
Genre : Friendship
Rating : K+
Theme song : Kiroro- Best Friend
Author : Annabeth Edogawa
Alamat : Jl.Teladan I No.141/v/14 Keutapang Dua Pabrik Kopi Banda Aceh
Umur : 14 tahun
Alasan mengikuti lomba: Karena ingin meramaikan acara ulang tahun Chinen Yuuri..!
Cast :
1. Chinen Yuuri
2. Arioka Daiki
3. Yamada Ryosuke
4. Yabu Kouta
5. Yaguchi Rui (OC)
Synopsis/ Quote:
“Menurutmu, sampai kapan kita akan bersahabat?”
“Entahlah. Selama-lamanya?”
“Dengan keadaan yang seperti ini?”
“....”
--
Dengan cepat aku melangkah memasuki
kelasku yang berada di lantai 3. Kutelusuri tiap jengkal ruang kelas yang cukup
luas untuk menampung murid sebanyak 40 siswa itu. Entah apa yang kucari. Namun
pandangan mataku langsung tertuju pada sosok yang tengah berbincang dengan
akrabnya dengan seseorang yang duduk di sebelahnya. Dan aku langsung terpaku di
tempatku. Tak mampu berkata-kata, dan hanya merasakan rasa perih yang ada di
hatiku.
Tersadar akan kondisi kelasku yang
sangat ribut ini, aku kembali ke alam sadarku dan segera berjalan ke arah
tempat dudukku, yang berada di bagian belakang—tepatnya di belakang kedua
pemuda yang sedang sibuk berbincang itu.
Dengan kaku kugantung tasku pada
gantungan di bawah papan mejaku. Kemudian aku mulai menarik sebuah buku pelajaran
dari tas sekolahku dan membacanya. Entah apa pun ini aku tak mengerti.
Pikiranku terus melantur pada dua sosok yang sedang berbincang itu. Dengan
ributnya mereka membahas sesuatu dan menertawakan sesuatu yang tak kutahu.
Bahkan kurasa mereka sama sekali tidak menyadari kedatanganku—yang memang
selalu lebih lambat dari mereka.
Kufokuskan lagi mataku pada buku yang
sedang kubaca.
‘Ligoritma adalah bla bla bla.......’
Apa ini? Mengapa yang terambil buku
matematika sih?
Kubolak-balikkan buku itu. Isinya hanya
gambar-gambar beserta tulisan-tulisan angka seperti cosinus, sinus, dan
kawan-kawannya itu. Jengkel, kututup buku itu keras-keras dan membantingnya ke
mejaku.
Dan semua pandangan menuju ke arahku.
Termasuk dua pemuda yang ada di depanku ini. Hah, sudah sadar akan kehadiranku
rupanya.
“Gomen,” ucapku datar pada mereka. Dan
mereka pun kembali ke aktivitas semula. Kecuali dua pemuda yang ada di
hadapanku. Mereka menatapku jenaka.
“Apaan?”tanyaku kesal.
“Tidak ada. Heran saja. Kenapa kamu
membanting buku itu,” kata yang duduk tepat dihadapanku. Wajahnya terlalu imut
untuk pemuda berumur 18 tahun. Kedua pipinya chubby dan memiliki sorot mata
yang menenangkan. Namanya Arioka Daiki. Dia sahabatku sejak lama. Eh.. Sejak
aku berumur 11 tahun deh, pokoknya.
Sedangkan pemuda satunya lagi,
berparas tampan namun imut. Dengan senyumnya yang lebih mengarah pada
seringaian kecil namun keren itu adalah Yamada Ryosuke. Dia adalah sahabat
kami—aku dan Daiki—sejak masuk kelas tingkat atas ini. Dia juga cukup dekat
padaku. Karena pada awalnya ia dekat denganku dulu sebelum dekat dengan...
Daiki.
“Cuma salah ambil buku,” jawabku asal.
“Tidak kok,” sahut Yama sambil
meneliti bukuku. “Pelajaran pertama memang Matematika ‘kan?”
Iya deh. Aku kalah.
-Our
Friendship-
“Diem ah! B’risik tahu!”
Kulirik pemilik asal suara. Daiki
sedang mengomel sesuatu hal yang tak kuketahui pada salah satu seorang teman
sekelas kami, Nakayama Yuma. Kugeleng-gelengkan kepalaku dan kembali fokus pada
ulasan yang telah kubuat sebanya lima lembar. Tugas mengarang dari guru Bahasa.
“Chii, kantin yuk?” ajak suara yang
kukenal, Yama, yang sedang berdiri di sampingku.
“Hari ini tidak tidur?” tanyaku tanpa
menoleh padanya, masih berusaha fokus pada ulasanku yang sedikit lagi selesai.
Ia terdiam sebentar. “Ada yang ingin
aku katakan.”
Yah, tidak heran sih, kalau Yama
bilang seperti itu. Sudah biasa bagiku. “Kenapa tidak di sini saja?”
Kususun berkas 5 lembar yang sudah
penuh dengan tulisanku itu dan menjilidnya dengan rapi.
“Pingin saja. Ayolah...,” pintanya
lagi. Dan dengan anggukan kecil kubalas permintaannya. Kuambil karanganku dan
berhenti di samping meja Daiki. “Dai chan, mau ikut?”
Daiki menengadah dan menggeleng.
“Duluan aja,” jawabnya.
Aku dan Yama saling lirik. “Ya sudah.
Duluan ya. Jangan lupa ke kantin,” sahutku kemudian berjalan keluar kelas
bersama Yama.
x.x
Kuaduk-aduk milkshake vanila di
hadapanku dengan sedotan. Melihat warnanya itu memang sangat mengunggah selera.
Tapi entah mengapa aku sama sekali tak berniat meminumnya barang setetes pun.
‘Diem ah! B’risik tahu!’
Dheg..!
Kenapa aku mengingatnya di saat-saat
seperti ini sih?
“Chii,” panggil Yama yang duduk di
hadapanku.
“Apa?” balasku.
“Milkshake-nya tak mau diminum?”
tanyanya lagi.
Aku mengangguk dan meminum sedikit
minuman yang sedikit bersoda itu. Rasa manis dan sedikit bersoda itu menyengat
indra pengecapku.
Aku kembali teringat hal yang terjadi
akhir-akhir ini.
“Enggak deh. Aku ga suka!”
“Sesukaku dong Chii!”
“Lho, rasanya kok kamu makin pendek
ya? Ahaha... Maaf Chii. Bercanda kok!”
“Aku ga suka ah! Warnanya norak
banget!”
“Ga banget deh!”
“Entah.”
“Ga tahu deh. Cari dong.”
“Mana kutahu. Aku ‘kan bukan orang
tuanya.”
Chii!!
Chi?
Lamunanku terbuyar. Dan kudapati Yama
sedang menatapku dengan tatapan cemas. “Kenapa? Mukamu sedikit pucat,” katanya.
Aku menggeleng. “Gomen Yama chan. Kita
bicaranya lain hari saja ya.”
Dan dengan itu aku berlalu dari kantin
meninggalkan Yama sendiri yang menatapku heran.
-Our
Friendship-
Kutatap langit-langit kamarku yang
bernuansa laut. Kemudian kugerakkan tubuhku mengarah ke kanan dan menatap
pemandangan luar dari pintu kaca menuju balkon kamarku. Yang kulihat hanyalah
langit cerah dan sedikit berawan. Bertolak belakang dengan suasana hatiku yang
sedang mendung. Kenapa tidak hujan saja sih?
Kututup mataku. Kembali lagi ingatan
yang sudah menghantui mimpi dan keseharianku selama seminggu terakhir.
Seminggu yang lalu...
Aku melangkah perlahan menuju kelasku.
Hari ini masih pagi. Kali ini aku terlalu cepat untuk ke sekolah sepertinya.
Tak biasanya. Kuputuskan untuk ke perpustakaan sekolah saja. Tahu saja di kelas
tak ada siapa pun dan aku harus di sana sendirian. Dan di keadaan yang masih
rada remang-remang seperti ini, aku tak akan pernah duduk di sana sendirian.
Kugeser pintu perpustakaan yang
bewarna hijau itu dan masuk ke dalamnya. Di sebelah kiriku ada sebuah meja yang
ditempati sebuah komputer berwarna hitam. Kutolehkan kepalaku ke arah tempat
duduk di balik meja itu.
Ah..
Sosok itu menatapku dengan heran
sekaligus tajam. Kutelan ludahku dan mengulas senyum kecil. “Ohayou,” sapaku.
Sosok itu ternyata tersenyum kecil.
“Tumben sekali kamu datang pagi,” ujarnya.
Huft..
“Jangan menatapku seperti tadi dong.
Menakutkan tahu. Apa lagi sekarang masih gelap,” kataku padanya.
Ngomong-ngomong, namanya Yabu Kouta. Dia teman seangkatan dan dulu pernah
sekelas denganku. Sekarang dia di kelas 3-1 dan menjadi penjaga perpustakaan di
waktu luangnya.
Ia tertawa kecil dan berjalan ke
arahku. “Mau teh?” tawarnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Siapa
sih, yang bakal nolak penawarannya? Teh buatan seorang murid teladan ini kan
sangat enak. Jadi kuikuti langkahnya menuju bagian dalam perpustakaan. Aku
duduk di salah satu bangku yang ada di sana dan ia mulai sibuk dengan alat
masaknya.
Aku termenung dan memangku daguku.
“Hihihi....”
Dheg..!!
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Di
kananku hanya ada Kouta yang sedang menuangkan teh ke dalam gelas.
“Hoi, Kouta, yang tadi itu kamu ya?”
tanyaku tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu?” tanyanya sambil
meletakkan gelas di hadapanku kemudian duduk di hadapanku.
“Jadi tadi itu siapa dong?” sahutku
kalut.
“Maksudmu suara tawa tadi?”
Terdengar suara baru dari arah kiriku.
Suara itu suara yang sangat kukenal. Tapi... suaranya terdengar dingin dan
tajam.
Dheg..!
Kutolehkan kepalaku ke arah kiriku dan
sedikit menengadah. Aku terperanjat. “Dai chan?” ujarku.
Ia menatapku sekilas. Kemudain baru
kusadari bahwa ada seseorang di sampingnya. “Yaguchi Rui?”
“Hei,” sapa pemuda berambut cepak itu.
Kunyerngitkan dahiku saat menatapnya.
Setahuku, Daiki sangat tidak menyukainya. Tapi mengapa ia bersama Rui?
“Duluan ya Chii. Dah,” kata Daiki
kemudian pergi meninggalkanku sendiri dengan Kouta beserta Rui yang
mengikutinya.
A.... Apa...?
“Chii? Tak apa?” tanya Kouta.
Aku segera menoleh padanya tanpa
mengubah ekspresi terkejutku. “I.. Iya.. Tak apa,” jawabku. Kuambil gelas teh
yang tadi disuguhkan Kouta dan meneguk cairan hangat itu. “Enak,” gumamku.
Kouta tersenyum. “Arigatou,” balasnya.
Aku tersenyum hambar dan kembali
mengingat raut wajah Daiki yang dingin tadi.
Dan sejak saat itu gerak-gerik Daiki
berubah. Ia menjadi jauh dariku dan Yama. Ia semakin sering mengatakan hal-hal
buruk pada teman-teman dan ia makin dekat dengan Yaguchi Rui...
Kubuka mataku dan menghela napas. Apa
yang terjadi padamu, Arioka Daiki?
Kutatap sendu pigura yang berisi
lembaran kita berdua. Dan kutarik seulas senyum kecil yang pahit. Kututup
mataku dan kurasakan sebuah cairan hangat menuruni sisi wajahku dari mataku.
-Our
Friendship-
Kuletakkan tasku di gantungan di bawah
papan mejaku. Kemudian kubenamkan wajahku di antara tanganku yang bersila di
atas meja. Kututup mataku dan tak mau berurusan dengan suasana yang hening di
kelas ini. Iya. Kalian tidak salah baca kok. Kelas ini hening. Karena memang
belum ada siswa yang datang selain diriku ini. Rasa takutku waktu itu berubah
menjadi rasa sakit hati saat melihat perpustakaan. Jadi aku di sini saja
sembari menunggu teman-teman sekelasku yang lain datang.
Kudengar langkah kaki dari luar kelas.
Namun aku tetap membenamkan wajahku. Sudah kubilang kan, aku tak mau berurusan
dengan suasana kelas ini dulu.
Kemudian kembali kudengar langkah itu yang semakin mendekat ke arahku. Kali ini kudengar suara kursi yang digeser dari arah depanku dan ada suara orang yang duduk di sana. Mau tak mau kutengadahkan kepalaku dan membuka mataku. Kulihat sosok punggung Daiki yang tegap. Aku mengulas senyum kecil, “Ohayou, Dai chan,” sapaku.
Ia berbalik dan menatapku sebentar.
Kemudian ia mengambil langkah meninggalkanku di dalam kelas.
Ada apa?
Kenapa?
Apa salahku?
x.x
Kulirik jam tangan di lengan kananku.
Jam 4 lewat 10 menit. Ke mana sih si Yama? Lama sekali dia tiba. Tak biasanya
ia mengaret seperti ini. Biasanya ia sangat tepat waktu dan tak ingin membuat
orang lain menunggu. Kali ini ia membuat seseorang—alias aku—menunggunya!
Apa-apaan itu.
Kami ditugaskan untuk membuat
penelitian tentang sesuatu. Dan aku kebagian kelompok bersama Yama, Keito,
Asami, dan Rika. Ah.. Padahal aku berharap aku satu kelompok dengan Dai chan.
Namun jika mengingat sifatnya akhir-akhir ini, kuurungkan niatku itu. Jadi kami
membagi tugas. Aku dan Yama akan meneliti setengah. Dan sisanya akan
diselesaikan oleh yang lain.
Sudah selesai sih sebenarnya tugas
kami. Tapi si Yama tadi pergi sebentar untuk membeli air minum untuk kami
berdua. Dan kini aku menunggunya di depan sekolah. Tapi sudah kutunggu selama
15 menit ia tak kunjung tiba di sini juga. Dia beli air minumnya ke mana sih..?
“Chii!” panggil seseorang dari arah
kiriku. Dan di sanalah ia. Memegang dua buah kantung plastik pada tangan kanannya.
Ia melambai singkat dengan tangan kirinya ke arahku. Aku membalas lambaiannya
lebih singkat dan segera menghampirinya yang sudah dekat.
“Apa sih, yang kamu beli? Lama
sekali,” gerutuku padanya.
Ia tersenyum. Namun ada sebersit
tatapan sayu yang ia berikan padaku. “Aku beli camilan sekalian,” jawabnya.
Kemudian ia melirik ke arah langit. Aku mengikutinya. “Mendung,” respon Yama
lebih cepat dariku. “Kita masuk saja yuk,” katanya lagi. Aku hanya mengangguk
dan segera melupakan rasa kesalku padanya.
Kami duduk dan bersandar di depan
tembok kelas 1-3, yang terdapat di ujung bangunan pertama yang mengarah ke
luar, ke arah halaman sekolah. Kuteguk Lemon squash kalengan itu. Sensasi
dingin menyeruak di dalam tenggorokanku saat kutelan cairan itu. Langit sudah
menjadi lebih pekat dari sebelumnya. Sepertinya akan ada hujan lebat. Untungnya
aku sudah meyediakan payung di dalam tasku.
Kulirik Yama yang sedang meminum
Greenteanya dengan nikmat. Entah mengapa. Kutarik napasku dan menghelanya
dengan berat. Dan itu cukup membantu sedikit mengurangi beban di dalam hatiku.
“Ne, Yama chan,” panggilku.
“Hm?” sahutnya.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tannyaku
padanya.
Ia menoleh padaku, “Tanya apa?”
“...Menurutmu... Dai chan itu
bagaimana?” tanyaku sedikit ragu.
Ia tertegun sebentar kemudian
tersenyum tipis. “Kamu juga memikirkannya ya?”
“Eh?”
Ia menunduk dan sibuk dengan tali
sepatunya yang lepas. “Aku... tak suka cara berbicaranya,” jawabnya yang
membuatku terhenyak. Aku juga merasakan hal yang sama, Yama chan..
“Lalu... ia juga kini lebih dekat
dengan Rui. Jujur saja, itu membuatku sedikit sakit hati,” katanya lagi.
Aku menatap lantai dan tersenyum
tipis. “Benar,” sahutku. “Aku juga sakit hati kok, waktu dia dekat dengan Rui.
Padahal dulu ia tak begitu.”
Titik-titik air hujan turun dengan
cepat. Hanya gerimis.
Kami kembali diam.
“Sampai kapan ya, akan begini terus?”
gumamku.
Kurasakan tatapan Yama terarah padaku.
Namun aku tak menoleh padanya dan malah beralih pada sepatuku. Sepatu ini....
pemberian Daiki sebagai hadiah ulang tahunku tahun lalu.
“Hei, Yama chan,” panggilku lagi.
“Ya?” sahutku.
“Menurutmu, sampai kapan kita akan
bersahabat?”
“Entahlah. Selama-lamanya?”
“Dengan keadaan yang seperti ini?”
“....”
Ia diam. Tak tahu harus menjawab apa.
Aku kembali menghela napas dan menatap
halaman sekolah yang kini telah basah oleh air hujan. Seandainya air hujan ini
adalah air mataku, apakah Daiki akan tahu? Apakah ia akan menyadari bahwa aku
tengah menangis karena dirinya? Apakah ia akan tahu bahwa kini aku sedang sakit
karena dirinya?
Ah.. Entahlah..
“Ayo kita pulang, sebelum hujan
bertambah lebat,” kataku akhirnya.
Aku menoleh pada Yama dan tersenyum
kecil. Ia membalas senyumanku. Kemudian kami mengemasi barang-barang kami yang
berserakan di atas lantai dan beranjak. Kukeluarkan payung biru-langit-malamku
dari tasku dan membukanya. Hal yang sama dilakukan oleh Yama dengan payung
abu-abunya. Kemudian dengan bersama kami melangkah keluar gerbang sekolah dan
berbelok menuju ujung jalan.
Kami tetap berjalan dalam diam dan
berhenti di depan sebuah zebra cross. Jalanan agak sepi. Mungkin karena belum
jam pulang. Bahkan orang yang akan menyebrang hanya kami dan segelintir siswi
yang sepertinya baru pulang jalan-jalan.
Lampu merah berubah menjadi hijau dan
aku melangkah maju untuk menyeberang.
“Chii!!” seru Yama dari arah
belakangku.
Aku menoleh, “A—“
“Awas!” serunya sambil bergerak untuk
menyelamatkanku.
Apaan sih?
Brakk!!
Kurasakan sesuatu menabrak sisi kiriku
dan aku merasa melayang cukup tinggi dari tanah dan terjatuh. Peganganku pada
payungku terlepas. Kurasakan kepalaku berdenyut dengan sangat kencang.
Kurasakan juga rasa nyeri di setiap jengkal tubuhku. Kupejamkan mataku
erat-erat menahan sakit.
Kurasakan ada cairan pekat mengalir
dari bagian belakang kepalaku yang terbentur tadi. Juga dengan sudut mulutku
yang kurasakan adalah cairan berzat besi.
Kudengar langkah kaki yang menuju ke
arahku. Kubuka mataku sedikit. Namun rasa sakit dari arah kepalaku memaksaku
untuk menutup mataku.
“Chii! Kau tak apa?” tanya sebuah suara.
Aneh. Suara itu sangat familiar.
Kucoba untuk mengingat. Kemudian kubuka mataku sedikit. Dan ada sebuah bayangan
sosok di hadapanku, berlutut di sebelahku dan menunduk menatap wajahku. Itu
wajah...., “Dai chan...,” gumamku.
Kemudian kututup mataku. Dan semuanya
menjadi gelap.
-Our Friendship-
Kubuka mataku secara perlahan.
Kukerjab-kerjabkan mataku untuk membiasakan cahaya yang masuk ke dalam retina
mataku. Kemudian semuanya menjadi jelas. Aku terbaring di sebuah ruangan yang
asing. Sangat asing.
Kuserngitkan dahiku dan mencoba untuk
bangkit dan duduk. Namun kepalaku sangat sakit dan rasanya sangat mual. Aku
melihat sisi kiriku. Ada seorang yang tertidur di sana. Rambutnya agak
berantakan. Kuperhatikan orang ini lekat-lekat. Siapa dia?
Mungkin karena gerakanku, ia terbangun
dari tidurnya dan menatapku. Ia memiliki pipi yang sangat chubby. Apa ia anak
SMP? Ia terbelalak menatapku dan tersenyum sangat lebar.
“Chii! Akhirnya kau bangun juga!
Syukurlah. Tunggu ya, kupanggilkan dokter dulu!” seru pemuda itu.
Tak lama kemudian ia masuk dengan
seorang dokter dan seorang perawat dan beberapa orang. Yang satu memiliki paras
tampan namun imut. Dan senyumannya lebih mengarah pada seringaian yang jenaka.
Ada juga sosok gadis berambut sepundak lewat yang menatapku dengan tatapan sangat
lega. Dan pria dan wanita paruh baya yang tubuhnya terlihat agak atletis.
Dokter itu memeriksa keadaanku
sebentar dan memberitahu sesuatu pada perawat itu. Kemudian perawat itu
mencatat sesuatu di papan tulisnya.
“Nah, saya dr. Okada, dokter yang
menanganimu selama ini,”kata dokter itu. Aku hanya mengagguk mengerti. “Bisakah
kamu mengingat apa yang terjadi?” tanya dokter itu padaku.
Aku menyerngitkan dahiku. Mengingat
apa? Semuanya kosong dan gelap.
Kemudian aku menggeleng.
“Baiklah. Coba kamu sebutkan siapa
saja yang ada di hadapanmu ini,” pinta dokter itu dan menunjuk orang-orang yang
masuk tadi.
Aku melihat mereka satu persatu dan
aku kembali menyerngitkan dahiku. “Dare?”
Dan aku mendapat tatapan terkejut dan
tak percaya dari mereka...
-End-
Note:
Ah... Karakternya semua OOC ya.. >< Udah gitu, endingnya ambigu pula.
Hehe... Yah, itu dibuat supaya semuanya dapat berimajinasi sendiri bagaimana akhirnya..^^
Nah, sekian.. ^^ Yoroshiku~ >w<
Gomen: Maaf
Ohayou: Selamat Pagi
Arigatou: Terima kasih
Dare: Siapa
No comments:
Post a Comment