NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, January 31, 2013

[Fanfiction] TIME MACHINE


Time Machine
Title                : TIME MACHINE
Categories   : oneshoot
Genre           : Friendship — hurt/comfort
Rating            : General
Plot                 : backward flow (alur mundur)
Theme song  : Time Machine © Girls Generation
Author          : Sheila Juwita
Alamat           : Jalan Raya Ngepung, RT. 01 RW 01, dsn. Jenar, ds. Ngepung, kec. Patianrowo,  kab. Nganjuk,  Jawa Timur
Umur              : 16 th.

Alasan mengikuti lomba: last year, i wrote a birthday fanfic for Chinen. And then, I think that this year, I must do the same thing.

Cast             : 1. Chinen Yuri
                      2. and all the members of Hey! Say! JUMP

Synopsis/Quote: Aku memang manusia yang tidak tahu diri. Aku sendiri yang membuang diri dari kalian, tetapi dengan egoisnya aku malah masih mengharapkan kalian mencariku. Atas semua yang sudah aku perbuat pada kalian.
Bisa kulihat butiran-butiran salju yang terinjak oleh kakiku yang terbalut sepatu kets berwarna merah. Salju yang putih bersih, yang baru saja turun.
 
Hah, kapan terakhir kali aku melihat salju bersama kalian?
 
Dengan tidak ada niat untuk mempercepat langkah di tengah salju putih yang mulai turun dari langit yang cukup basah di atas sana, aku terus melangkah maju dengan perlahan sembari terus mengawasi jalanan yang cukup sepi saat ini.
 
Kalau sekarang aku bisa bertemu dengan kalian dan memohon maaf, apa semua ini bisa berubah lebih baik?
 
Senyuman tipis tiba-tiba saja tersungging dengan ragu di wajahku. Semua kalimat pengandaian yang terus muncul di kepalaku bagai proses kesetimbangan dalam kimia yang tak pernah habis, kalimat itu pula tak pernah berhenti terpikirkan olehku.
Aku sungguh menyesal atas semuanya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Di tengah-tengah keputusasaaanku, tiba-tiba beberapa orang menghampiriku. Dengan susah payah, aku membalasnya, “kalian…?”
Kalau aku bisa menuliskan perasaanku, pasti sudah satu buku penuh yang terisi hanya dengan kosakata maaf di sana. Dan tentu saja kata maaf itu untuk kalian.
 
Sekali lagi, aku melihat foto yang ada di tanganku. Ini adalah satu-satunya benda yang tersisa setelah aku menghancurkan semua barang yang aku miliki. Saat itu aku benar-benar tak kuasa dan kehilangan kendali. Karenanya aku merasa muak melihat hal-yang-berhubungan-tentang-aku-dan-kalian.
 
Meskipun pada awalnya aku berkata pada diriku sendiri bahwa, ayolah, semua tidak akan apa-apa tanpa mereka dan benda sialan ini. Tapi nyatanya semua tidak seperti pikiran jangka pendekku saat itu. Semua-bukanlah-tidak-apa-apa jika kalian tidak bersamaku.
Aku tahu, aku tahu. Semua penyesalan ini sudah terlambat. Dan apa yang akan aku lakukan sekarang, tidak akan mengubah apapun selain menambah tumbukan dalam perasaan ini. Ya, luka ini semakin melebar ketika aku mengingat kesalahan besar yang sudah aku lakukan.
Demi apapun di dunia, aku ingin memperbaiki semuanya.
Hari-hari kesendirianku terasa berjalan begitu lambat. Hukuman ini benar-benar menyakitiku, saat aku sadar bahwa aku sendirian dala ruang waktu ini.
 
Setiap hari, aku tak pernah berhenti berharap, seandainya saat ini aku memiliki mesin waktu. Pasti aku akan menggunakannya untuk kembali ke saat sebelum semuanya menjadi hal yang terlalu rumit seperti ini.
 
Aku akan menemui kalian, dan menarik kata-kata tidak pantasku saat itu. Meskipun mungkin dengan aku menarik kata-kataku saja tidak dapat mengembalikan semuanya dengan cepat. Tetapi setidaknya, aku tidak melukai kenangan kita yang pernah ada selama ini.
 
Semua kenangan itu, yang sangat indah dan tidak akan terulang jika aku sendirian seperti ini, sekarang hanya tinggal fosil memori yang terpuruk begitu dalam karena tertindih dengan noda yang aku perbuat. Sebelum kenangan kita berlalu begitu saja. 
 
Semua ini adalah kesalahan. Ini adalah kesalahan terbesar yang pernah ada, bukan?
Aku memang manusia yang tidak tahu diri. Aku sendiri yang membuang diri dari kalian, tetapi dengan egoisnya aku malah masih mengharapkan kalian mencariku. Atas semua yang sudah aku perbuat pada kalian.
“Chinen?”
Sontak aku mendongakkan kepala. Dengan tetap memasang wajah angkuh, aku menatap kalian. Satu lawan delapan. Benar-benar tidak menunjukkan sebuah keadilan.
“Apa?” balasku tak ingin banyak bicara. Tapi entah kenapa jantungku ingin meledak. Rasanya ingin berteriak dengan keras.
“Tidak. Aku hanya ingin melihatmu sekali lagi. Mungkin setelah ini kita akan jarang berjumpa.”
Mendengar kalimat tersebut muncul dari mulut itu, perasaan aneh ini semakin bergejolak. Jantungnya terasa benar-benar ingin keluar. Rasanya sakit tidak karuan dan… aaarrgh, kenapa perasaan aneh ini muncul di saat seperti ini?
Benarkah itu… Ryosuke?
“Hn. Mungkin saja iya.” Demi sapu terbang Harry Potter! Ada apa dengan diriku! Kenapa aku bisa mengucapkan kalimat sedingin itu? Kemana Chinen Yuuri yang selalu tersenyum ceria selama ini?
“Dan juga… Semoga apa yang kau lakukan setelah ini, adalah jalan yang benar-benar ingin kau lalui. Sukses ya.”
Yabu-kun? Kenapa cara bicaramu seperti itu? Kini aku benar-benar merasa berada di pada jalan yang tak sama dengan kalian.
“Ya, kalian juga.” Entah kenapa lidah ini selalu saja tidak mau bergerak untuk mengeluarkan kalimat yang lebih panjang.
“A-ah, Chinen!”
“Ya, Daiki?”
“J-jaga dirimu baik-ba— ah maaf, kau mengerti maksudku.” Daiki berlari memasuki rumah tanpa mengatakan apa-apa lagi. Setelah itu kulihat, berturut-turut kalian masuk ke dalam rumah. Hingga tersisa Yuto di akhir, tetapi tidak berlangsung lama karena dia hanya mengangguk lalu ikut masuk ke dalam rumah dan menutup pintu depan.
Sekarang tinggal aku sendirian.
“Sayonara…”
“Kau… Serius akan pergi?” Tanya Daiki tiba-tiba.
 
Seketika itu, aku yang sedang mengemasi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper, berhenti sejenak. Detik kemudian aku kembali melakukan kegiatanku, sembari menjawab pertanyaan Daiki tetapi tanpa memandang wajahnya.
 
“Tentu saja. Aku tidak pernah seserius ini sebelumnya.”
 
Setelah itu hening kembali terjadi di antara aku dengannya. Hingga akhirnya selang beberapa waktu, aku sudah selesai mengemas semua barangku dan menarik koper itu ke pojok kamar. Ketika kulirik sekilas, kulihat Daiki tetap pada posisi dia sebelumnya. Duduk di atas kasur dengan kepala menunduk.
 
Melihat Daiki seperti itu, muncul sebuah perasaan aneh dalam dadaku.
 
Apa Daiki seperti itu karena dia terkejut dengan keputusanku tadi? Apa iya, Daiki yang selalu ceria itu sekarang berwajah murung dan menundukkan kepalanya hanya karena seorang Chinen Yuuri menyatakan bahwa dirinya mundur dari Hey! Say! JUMP? 
 
Lalu, apa teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama?
 
Kugelengkan kepalaku dengan keras. Tidak mungkin. Tidak mungkin mereka seperti itu karena aku. Bukankah akhir-akhir ini mereka sendiri yang berkata kalau aku sudah berbeda. Itu artinya aku sudah tidak sama, dan harus pergi kan? Ah, mungkin saja Daiki sedang memikirkan hal lain.
 
“Chii?”
Spontan aku menoleh pada Daiki yang memanggilku, “a-ada apa?”
Begitu kupandang matanya, di sana tampak seperti redup dan sayu. Tidak seperti matanya yang biasanya aku lihat. Tetapi kemudian, Daiki hanya diam dan tidak mengatakan hal lain.
“Oyasuminasai…” katanya seraya menarik selimut dan memutar badan agar tidur menyamping ke kanan.
“Oyasumi,” balasku sambil melakukan hal yang sama.
“—Kalau begitu, aku keluar.” Tukasku memotong perkataan Daiki.
 
Semua mata sekarang tertuju padaku. Memang tak dapat dipungkiri bahwa aku melihat jelas di sana raut wajah terkejut dan tidak percaya yang diberikan oleh delapan orang temanku. Termasuk Daiki yang sekarang berdiri tepat di sampingku. Tangannya yang tadinya memegang pundakku sekarang jatuh terkulai begitu saja.
 
“A-apa?” Hikaru yang pertama kali bersuara. Setelah keheningan terjadi secara begitu mendadak dan cukup memakan waktu lama.
“Aku keluar. Keluar dari Hey! Say! JUMP. Apa kurang jelas?” jelasku dengan sedikit gusar.
“Tapi tunggu dulu! Apa maksudmu dengan mengatakan kalau kau keluar? Mendadak seperti ini? Kau sudah gila ya?!” teriak Ryosuke. Dapat kulihat jelas, matanya memerah. Entah karena marah atau hal lain.
 
Aku maju satu langkah. Agar lebih dekat pada Ryosuke. Masih dengan nada dingin dan bosan, aku berniat memperjelas semuanya.
 
“Aku tidak gila. Justru karena aku tahu jalanku bukan di sini, karena itu aku keluar. Bukankah akhir-akhir ini kalian sendiri juga mengatakan kalau ada yang berbeda dariku yang sekarang? Kalian menganggap aku sudah bukan diriku yang dulu kan?” aku berhenti sejenak. Seraya mengambil napas, aku juga memperhatikan ekspresi semua orang.
Inoo dan Takaki hanya diam menunduk. Yuto, Keito, dan Yabu walau tidak berbicara tapi mereka memperhatikan. Hikaru yang berdiri tak jauh dari Ryosuke juga hanya diam. Daiki masih membeku di tempatnya. Hanya Ryosuke yang bereaksi dengan keras.
“Bukankah bagus, jika aku keluar? Kalian tidak perlu khawatir lagi dengan formasi yang berantakan dan suara yang tidak menyatu. Kalian juga tidak perlu menungguku yang selalu datang terlambat. Dengan begini, latihan kalian juga tidak akan terhambat bukan?” lanjutku.
Setelah itu, hening kembali terjadi. Ryosuke tampak membalikkan badan. Menjauh dariku dan mengambil tempat duduk di pojok ruangan. Dia mengalihkan pandangan kepada dinding di sampingnya.
 
“Tapi…” Yuto menahan suaranya sebentar, dan melihat dan kau mataku sambil melanjutkan, “Ryuu belum kembali. Dan… dan kau akan keluar? Apa kau membiarkan Hey! Say! JUMP tinggal berdelapan?”
Semua orang menundukkan kepala. Tak ada yang berani saling memandang. Begitu juga denganku. Perkataan Yuto barusan menusuk dada kami semua. Aku sendiri juga tahu, Ryutaro belum kembali. Tapi aku sudah muak. Aku benci dengan grup ini sekarang.
“Tak ada pilihan lain. Aku memang sudah tidak cocok dengan kalian. Lebih baik kita sama-sama pergi dengan jalan yang berbeda dari pada dipaksakan seperti ini.” Jelasku.
“Chinen—“ perkataan Inoo di potong oleh Yabu.
“Sudahlah, minna. Kalau itu sudah keputusan Chinen, biarkan saja. Kita sebagai teman, harus menghormatinya. Sekarang lebih baik kita istirahat. Hari sudah begitu malam.” Kata Yabu dengan tegas tetapi entah kenapa terdengar lembut di telingaku.
Aku melihat wajah Yabu. Disana terdapat ekspresi yang tenang. Khas seorang leader.
“Meskipun aku berharap, esok hari kau akan merubah keputusanmu.” Lanjut Yabu. Tak kusangka masih ada lanjutan dari kalimatnya tadi.
Aku tersenyum simpul, dan berjalan membelakangi mereka. Ketika sampai di depan pintu, aku membalas perkataan Yabu barusan, “tentu saja. Besok pagi, aku akan berkemas dari sini.”
Setelah pintu kututup, dapat kudengar dengan samar bahwa seseorang berteriak dari dalam sana.
Sudah cukup. Yang seperti ini sudah cukup.
“Berhentilah memarahiku seperti itu! Apakah semua masalah ini adalah kesalahanku sepenuhnya?!” teriakku dengan cukup keras.
Aku benar-benar muak. Selalu seperti ini. Selalu aku yang disalahkan. Mereka sama sekali tidak bisa mengerti apa yang aku pikirkan.
“Hei, jangan membentak seperti itu. Kita bisa bicarakan semua ini dengan pelan. Jangan emosi.” Yuto mengangkat suara.
 
Aku mendengus. Pelan-pelan katanya? Yang seperti ini seharusnya secepatnya diselesaikan. Sebelum lebih buruk lagi. “Baik. Katakan apa mau kalian.” Tegasku tetapi dengan suara yang lebih pelan dari pada tadi. Aku melirik kursi kosong di sampingku dan akhirnya memutuskan untuk duduk di atasnya.
 
“Kenapa kalimatmu seperti itu? Bukankah kita ini sama saja? Kesannya seperti kau bukan anggota dari kami.” Ryosuke berkomentar.
Aku hanya diam. Menunggu pembicaraan lain yang lebih serius.
“Begini, Chinen. Bukannya aku memarahimu, tetapi akhir-akhir ini kau sudah berubah. Sering telat latihan dan gerakanmu kebanyakan tidak bersamaan. Aku hanya ingin bertanya, sebenarnya kau ini kenapa?” Yuya melanjutkan kalimatnya yang tadi sempat terputus.
Aku tersenyum sinis, “buat apa kau ingin tahu masalahku? Bukankah masalah telat dan berbeda tempo itu adalah masalah biasa? Atau kau menganggap ini sebagai hal lain?”
“Chinen! Bisakah kita bicara lebih serius lagi? Jangan buang kata-kata tidak penting seperti itu. Lebih baik selesaikan semuanya dan kita bisa berlatih bersama lagi.” Keito kali ini juga ikut berkomentar.
“Kata-kata tidak penting katamu? Apakah apa yang ada di dalam hatiku bukan hal penting bagi kalian?” emosiku kembali terpancing. Pembicaraan ini benar-benar menguras emosi.
“Tidak, bukan begitu—“
“Cukup.” Kataku memotong kalimat Keito. Aku lekas berdiri dari posisiku duduk dan berjalan meninggalkan ruang latihan. Membuka pintu dan menutupnya. Tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di dalam sana.
Uza i yo.
“Akhir-akhir ini kau sering telat. Sebenarnya sebelum latihan kau pergi kemana?” Tanya Daiki sembari menutup pintu kamar. Dia berjalan ke kursi dan menunggu jawaban dariku.
“Tidak ada.” Jawabku singkat sambil melepas baju dan berganti dengan piyama.
“Aku tidak ingin ikut campur dengan urusanmu, tetapi yang aku tahu sebelumnya kau tidak pernah tidak disiplin seperti ini.” Kata Daiki.
Aku hanya mengangkat bahu dan kemudian berbaring di atas kasur, menarik selimut dan mengucapkan salam, “ya, aku tahu. Oyasumi.”
“Oyasuminasai, Chii.”
“Terlambat lagi, eh?” seru Hikaru.
Aku hanya diam. Sambil meletakkan tas di atas sofa dan melakukan sedikit pemanasan otot. Tidak terlalu ingin menanggapi apa yang dikatakan Hikaru barusan.
“Sebenarnya kau dari mana? Akhir-akhir ini sering terlambat.” Inoo menepuk pundakku dan kemudian dia duduk di sofa lantas mengambil handuk dan mengelap keringan yang ada di dahinya.
“Bukan apa-apa.” Balasku. Tak ingin berkomentar banyak. Aku tidak ingin mereka menanyakan lebih jauh tentang hal sepele seperti ini.
Mereka saling berpandangan sejenak. Tetapi aku tidak mempedulikan itu dan melakukan beberapa gerakan dasar. Berniat untuk memulai latihan dan tidak menghiraukan mereka.
“Yosh! Karena Chinen sudah datang, ayo kita latihan lagi! Ganbatte!” teriak Yuto penuh semangat.
Merepotkan…
Aku berjalan-jalan di atas jembatan. Berhenti di tengah-tengah dan menopangkan tubuh pada selusur besi jembatan. Membiarkan angin mengibarkan rambutku dengan lembut. Aku membalikkan badan dan melihat ke arah bawah. Air sungai tampak begitu tenang.
Aku lelah.
 
Aku tidak berniat membohongi diriku sendiri. Aku memang lelah. Tidak bisa terus-terusan berpura-pura baik di depan banyak orang. Meskipun aku tahu, banyak penggemar di luar sana yang menantikanku, tetapi rasanya aku tidak ingin menemui mereka.
Aku lelah. Sudah sangat lelah.
 
Tidakkah salah satu orang di dunia mengerti itu?
 
Aku membalikkan badan dan berjalan meninggalkan jembatan. Dengan perasaan terpaksa aku harus kembali ke tempat yang selama ini serasa memenjarakanku. Mengurungku dalam sangkar ketidakbebasan.
 
Aku harus berbuat sesuatu untuk ini…
“Nemureru mori no naka eien no wana to shittemo koukai shinai sa…”
“Tunggu-tunggu!”
Semua orang berhenti menari, dan menoleh kepada sumber suara. Ternyata Yabu-lah yang tadi bersuara, dan dia sekarang mematikan music player dan berdiri di depan kami semua.
“Ada apa?” Daiki buka suara.
“Temponya berantakan. Kalau begini, nanti Yuya tidak bisa sampai depan pada saat yang tepat.” Jelasnya.
Semuanya saling memandang. Sedikit kurang mengerti dengan penjelasan Yabu. Dan Yabu hanya menggelengkan kepala.
“Chinen, bisakah di saat bertukar posisi dengan Ryosuke tadi kau bergerak dengan sedikit lebih cepat? Semua akan berantakan jika kau terus menari dengan cara seperti itu.” Jelas Yabu.
 
Kunaikkan sebelah alisku. Sedikit tersinggung dengan perkataan Yabu barusan. Hei, kenapa tiba-tiba dia menyalahkanku?
 
“Maksudmu apa?” tanyaku dengan dingin.
Yabu berjalan selangkah lebih dekat. Kemudian dia memutar badannya, dan menari bagian yang tadi aku tarikan. Beberapa detik aku hanya diam melihatnya menari. Setelah selesai dia berbalik badan dan melihatku.
“Seperti itu. Kau mengerti?” ucap Yabu.
 
Maksudnya apa? Aku hanya diam, tak membalas.
 
“Ah, iya benar. Akhir-akhir ini tempo gerakan Chinen memang berubah. Sedikit lambat.” Ryosuke ikut berpendapat.
 
Kenapa dia ikut-ikutan? Aku memandang Ryosuke. Namun dia hanya membalas dengan tatapan hei-aku-benar-kan?
 
“Sebenarnya aku juga sering hampir menabrakmu ketika berpindah posisi.” Kata Hikaru.
Dengan geram aku berseru, “hei! Maksud kalian apa? Memojokkanku seperti itu?” otakku jelas-jelas tak habis pikir. Kenapa tiba-tiba mereka semua melemparkan kesalahan padaku. Memojokkanku seperti ini, apa iya adalah hal yang bagus bagi mereka?
“Kami tidak memojokkanmu, kawan. Hanya… Melakukan sedikit evaluasi mungkin?” Yuya membalas.
Aku mundur satu langkah. Lalu kulihat satu-persatu wajah mereka. Entah kenapa semua mata hanya tertuju padaku. Bahkan Daiki juga melakukan hal yang sama! Sial, apa maksudnya semua ini?
“Kalian mengerjaiku?” ucapku waspada. Di sini seperti aku adalah buronan dan mereka adalah polisi yang siap menerkam kapan saja.
Daiki melangkah mendekatiku, meskipun suaranya terdengar lembut tetapi tatapannya sungguh mengangguku, “maksudmu apa?”
Tiba-tiba saja seluruh pikiranku kacau. Tidak dapat kukendalikan dan tanganku mendorong bahu Daki agar tidak mendekat lagi. Dia memang tidak sampai jatuh, tetapi bisa kulihat raut wajah terkejut yang tergambar olehnya.
Aku berlari meninggalkan ruang latihan tanpa mengatakan apapun.
“Kau tidak lelah, Daiki?” tanyaku padanya yang sedang melepaskan jaket dan kemejanya, lantas mengganti dengan kaos oblong berwarna biru.
“Tentang apa?” balasnya kemudian. Dia menutup pintu lemari dan menatapku sekilas.
Aku mengangkat bahu, sedikit tidak yakin dengan apa yang akan aku katakan. “Semua ini. Maksudku, kegiatan kita. Profesi kita.” Jelasku dengan sedikit rancu.
Daiki hanya membalas dengan senyum simpul, kemudian dia mengambil dua cangkir yang ada di atas meja dan memberikan salah satunya padaku. Kulihat isinya dan tenyata coklat panas. Isyarat yang diberikan Daiki agar aku meminum coklat itu, aku lakukan. Dengan diam, aku menunggu balasan Daiki.
“Hmm…” dia bergumam beberapa saat, sampai akhirnya menggeleng dan berkata, “tidak. Tidak terlalu sih.”
 
Aku hanya mengangguk-angguk kecil. Padahal jawaban itu sudah bisa kuterima, tetapi entah kenapa rasanya seperti ada perasaan mengganjal di dalam hatiku.
 
Rasanya aku tidak merasakan hal yang sama.
 
“Hei!” Daiki menepuk pundakku. “Memangnya kau lelah?”
Saat itu, entah kenapa sebagian besar hatiku memberontak ingin mengatakan ‘iya’ dengan keras. Tetapi aku hanya menahannya. Dan menggeleng. “sedikit. Badanku terasa pegal-pegal.” Kataku.
Daiki tersenyum dan berdiri lalu menuju ke kasurnya sendiri. Sebelum dia berbaring dia mengatakan beberapa hal padaku, “yang pasti, aku tidak tahu kapan semua ini akan berakhir nantinya. Yang aku tahu, aku hanya harus melakukan yang terbaik sebelum semuanya berhenti pada saatnya. Karena, ini adalah keputusan besar yang aku buat beberapa tahun lalu. Untuk semua orang yang mengenalku, aku memang harus terus berusaha bersama kalian kan?” katanya, nyaris seperti separagraf pidato.
Aku menoleh padanya. Dan mengerutkan dahi. Sedikit tidak mengerti dengan ucapan Daiki.
Untuk semua orang dan diri kita masing-masing. Kita harus berjuang dalam Hey! Say! JUMP. Kita mulai debut kita dengan penuh semangat! Apa kau sudah lupa kalimat itu?katanya dengan sedikit suara tawa kecil di sela-selanya.
“Uun. Itu adalah janji yang kita ucapkan ketika pertama kali debut.” Jawabku.
“Baguslah kalau kau ingat. Kalau begitu, lekas tidur. Besok ada pemotretan untuk majalah. Oyasumi!”
“Oyasumi, Daiki.” Dan aku menarik diri ke dalam selimut yang tebal.
Entah kenapa, saat mengingat janji tadi. Rasanya seperti tidak ada perasaan yang berubah. Aku tetap merasa terganggu.
Aku membelalakkan kedua mata. Memastikan dengan seksama, apakah benar gerangan yang berdiri di depanku sekarang adalah bukan ilusi. Bukan seperti sebuah genjutsu dalam anime Naruto.
 
“M-minna?” suaraku tertekan. Hanya bisa mengucapkan satu kata dengan terbata untuk memperoleh alasan kuat, atas makhluk yang ada di depanku sekarang.
 
Benarkah ini kalian?
 
“Ohisashiburi ne. Kau tampak sedikit berbeda.”
“Ya. Kau terlihat sedikit gemuk. Sayangnya tubuhmu masih tetap pendek.”
“Oh, dan juga lihat pipinya. Semakin besar dan jelek.”
 
Tidak peduli dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan, aku segera berlari. Berlari menuju mereka agar aku benar-benar bisa menyentuhnya. Dan yakin seratus persen, bahwa aku tidak sedang meratapi nasib dengan bermimpi di sore hari.
 
Kudekap tubuh pemuda sedkit gemuk di depanku, dengan berbisik aku dan sedikit tidak percaya aku berkata, “Daiki… Kukira aku tidak akan melihatmu lagi.”
 
Yang kudengar, Daiki tertawa dan mengelus-elus kepalaku. “Hahaha, yang benar saja! Kita pasti bertemu kan? Masih satu Negara dan satu prefektur!”
 
Aku tersenyum simpul membalasnya. Perasaan penat yang selama ini ada di dalam dadaku, rasanya hilang begitu melihat wajahnya. Kukira semua tidak akan semudah ini. Ternyata sekarang aku bisa bertemu dengannya. Setelah kesalahan besar yang aku perbuat dan mengakibatkan kami berpisah. Mengingat dialah orang yang paling dekat denganku, membuatku sangat lega melihatnya sekarang berada di depanku.
 
“Hei, hei. Kenapa kalian jadi yaoi begitu? Memangnya kau tidak kangen padaku, eh Chinen?” suara Ryosuke membuatku melepaskan pelukan pada Daiki, dan berganti memeluknya.
“Oi oi, kenapa kau jadi memelukku?” protes Ryosuke saat aku mendekap tubuhnya.
“Kangen.” Balasku singkat. Tetapi tubuh ini, benar-benar nyaris aku lupakan rasanya.
“Hanya Ryosuke?” Yuto bersuara.
 
Aku melepas pelukan pad Ryosuke, dan sekarang berganti memeluk tubuh jangkung Yuto. Sama seperti Ryosuke dan Daiki sebelumnya, aku mendekap erat tubuh Yuto dengan mata terpejam. Merasakan perasaan nyaman karenanya.
 
“Jadi rencanamu sekarang adalah memeluk kami satu-persatu, begitu?” kata Yabu.
Aku melepaskan Yuto dari tubuhku, dan berganti menatap semua orang. Aku membungkuk dan menangis. Menangis karena terlalu lega dan merasakan perasaan bersalah yang amat besar.
“Gomen... Gomen... Gomen…” ucapku berulang dengan berlinang air mata. Jujur, aku tak bisa memaafkan diriku saat ini. Aku merasa sebagai manusia terburuk di dunia.
“Sudah… Jangan begitu.” Hikaru menegakkan tubuhku kembali.
 
Aku terisak. Menatap semua orang dengan penuh perasaan bersalah. “Maafkan aku. Aku sungguh merasa bersalah. Aku yang memutuskan untuk keluar, tetapi aku juga yang menyalahkan kalian karena tidak ada di dekatku. Kalian pasti susah, ketika aku pergi. Maafkan aku. Aku hanya membuat masalah dalam grup kita.” Jelasku.
 
“Kukira aku tidak bisa bertemu kalian lagi. Kukira aku tidak bisa lagi untuk mengucapkan maaf pada kalian. Meskipun aku tahu, kata ‘maaf’ tidak cukup untuk menggantikan semua perbuatanku. Tetapi percayalah… Aku begitu bahagia saat melihat kalian berada di depanku sekarang.” Lanjutku. Airmataku terus keluar tak bisa kuhentikan. Semuanya memang hanya tergambar lewat sikap ini.
 
“Kami juga sangat bahagia, melihatmu dengan keadaan baik-baik saja. Kami sangat khawatir terjadi hal yang buruk padamu. Sejak hari itu, semua hal terasa kurang dan tidak bisa berjalan sebaik biasanya. Tentu saja karena kau tidak ada bersama kami.” Jelas Ryosuke.
“Chinen, dengar. Sebelum ini, kami tidak pernah sedikit pun merasa tidak cocok denganmu. Kami memang salah, karena tidak mengerti perasaanmu saat itu dan malah bersikap memojokkanmu. Seharusnya kami menahanmu pergi, bukan malah membiarkanmu. Semua hal terasa sangat sulit saat itu.” Yabu menambahkan.
“Setiap hari, kami selalu mencarimu. Tetapi entah kenapa, menjadi begtiu sulit dan kami tak bisa menemukanmu. Putus asa, memang sudah hampir kami lakukan. Tetapi karena kami tahu, jiwa Hey! Say! JUMP terasa kurang, kami harus mencarimu. Melakukan semua hal yang terbaik sebelum terlambat. Dan akhirnya, hari ini kami bisa bertemu denganmu.” Tambah Inoo.
“Semua karena ini adalah hari yang special bukan?” seru Yuya.
“Ya. Ini adalah harimu, kawan. Karena itu keajaiban menuntun kita pada hari penting ini. Otanjoubi omedetou, kami sangat menyayangimu.” Kata Daiki.
Dan kami berpelukan bersembilan. Dalam beberapa saat kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Sebelumnya aku sempat lupa, bahwa mereka terasa begitu membahagiakan bagiku.
“Ah, ya! Ini aku bawakan kue ulang tahun untukmu. Agak kecil sih, tapi cukup untuk satu lilin kok.” Kata Keito sembari mengeluarkan kotak kecil dari balik tubuhnya.
Aku membuka kotak itu, dan di sana ada sepotong kue coklat. Lalu Keito meletakkan satu lilin kecil di atasnya dan menyalakan api.
“Make a wish, brother.” Ucapnya. 
 
Aku memejamkan mataku dan mengepalkan kedua tangan di depan dada. Sembari membuat permohonan.
 
Aku membuka mata dan meniup lilin kecil di atasnya. Lalu tersenyum dan memandang teman-temanku satu-persatu.
 
“Jadi?” tanya Yabu memecah keheningan.
Tanpa berpikir banyak aku menjawab, “tadaima.”
“Okaeri.”
Aku berharap. Dalam ulang tahunku kali ini. Tidak akan terjadi hal buruk lagi pada kami. Semua akan berjalan dengan baik, seperti cahaya lilin kecil di depanku ini.
THE END
Mini dictionary
Oyasuminasai/oyasumi    : selamat tidur.
Sayonara                              : selamat tinggal.
Uza i yo                                 : menyebalkan.
Matte                                      : tunggu!
Minna                                     : semuanya.
Tadaima                                : aku kembali.
Okaeri                                    : selamat datang kembali.
Ohisashiburi ne                  : lama tak jumpa.

No comments:

Post a Comment