NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, January 31, 2013

[Fanfiction] SUNSET STORY


SUNSET STORY
 
 
Title                : Sunset Story
Categories   : Oneshoot
Genre             : Romance
Rating            : General - Teenager
Theme song : Yabu Kota - My Everything
Author           : Amalia Zaida (also known as phantomthief94)
Alamat           : Kampung Sewu RT 4 RW 5, Surakarta, 57123
Umur              : 17

Alasan mengikuti lomba: Saya udah lama ga nulis fanfic. Dan karena saya sedang jatuh cinta dengan kakak saya ini XD (incest detected). Selain itu juga karena saya tidak melakukan apa-apa di ulang tahun Chii tahun lalu.
 
Casts:
-Chinen Yuri (Hey!Say!JUMP)
-Ami Nakajima (OC)
-Yuto Nakajima (Hey!Say!JUMP)
-Yamada Ryosuke (Hey!Say!JUMP)
-Ohno Satoshi (Arashi)
 
Disclaimer:
Semua member Chinen, Yuto, Yama, dan Ohno milik Tuhan. Hey!Say!JUMP milik Johnny’s Entertainment. Ami Nakajima milik saya!
 
Summary:
Perpisahan memang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menyakitkan. Bukan karena rasa sakit ketika akan tidak dapat bersama lagi, tapi ketakutan akan adanya hal-hal yang masih mengganjal yang suatu saat akan mengganggu hati.
***
Langit senja kemerahan mulai menyebarkan rona kemerahannya di sudut barat, semakin lama semakin pudar. Bayang-bayang yang mengikuti pun perlahan mulai menghilang seiring dengan terbenamnya matahari. Lapangan baseball yang sebelumnya ramai pun kini telah sepi.
 
Di bangku panjang, Yuri tengah menikmati pemandangan sang surya yang bergerak bersembunyi. Sebuah drama singkat yang indah baginya, ketika rona kemerahan yang memancar sedikit demi sedikit meredup. Sebuah senyum terlukis di wajah manisnya, senyum yang masih menyembunyikan gigi kelinci khasnya yang hanya terlihat saat tawanya mengembang.
 
Yuri mengangkat tasnya ketika matahari telah sepenuhnya lenyap di balik pepohonan, tidak menyisakan jejaknya sedikitpun. Sang bulan mulai menggantikan posisi sang mentari, mengambil tugasnya untuk menemani orang-orang kawan malam.
 
Di persimpangan jalan, seorang gadis mencuri konsentrasi Yuri. Kepala yang selalu tertunduk menyembunyikan wajah manisnya di balik tirai poni tipisnya. Seorang siswi pintar yang pemalu, adik kelas Yuri, Ami Nakajima, adik dari Yuto Nakajima.
 
“Yo, Ami-chan,” sapa Yuri.
“Chinen-senpai[1], selamat malam,” sapa Ami setengah terkejut.
“Kenapa malam-malam begini baru pulang?” tanya Yuri.
“Terlalu asyik menggambar di atap sekolah. Chinen-senpai sendiri, kenapa baru pulang?” tanya Ami.
 
Yuri hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Ami. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa begitu betah hanya duduk-duduk menikmati matahari terbenam. Baginya, semua itu seperti melihat sebuah drama rutin yang menakjubkan dari Tuhan. Ia tidak bisa melewatkan ketika matahari malu-malu memancarkan sinar terakhirnya di hari itu. Pemandangan yang sangat ingin ia tunjukkan pada gadis yang akan menjadi istrinya suatu saat nanti.
 
Upacara kelulusan hanya tinggal hitungan hari. Para siswa kelas 3 sudah hampir selesai melakukan persiapan, termasuk Yuri, Yuto, dan Ryosuke yang tahun ini akan lulus.
 
Di sudut aula, Yuri meneguk botol airnya. Ia terlalu bersemangat untuk upacara kelulusannya, di mana ia akan menyanyikan lagu bersama Ryosuke dan Yuto. Pikirannya melayang ketika ia pertama kali masuk sekolah. Ia tidak menyangka akan sekelas dengan Yuto dan Ryosuke, temannya sejak kecil. Di dalam hati ia yakin, mereka memang telah ditakdirkan bersama.
 
Mengingat tentang masa kecil, Yuri teringat saat keluarganya pindah dari Hamamatsu ke Tokyo karena urusan pekerjaan. Tetangga pertama yang berkunjung adalah keluarga Nakajima. Anak pertama keluarga Nakajima ternyata sebaya dengan Yuri, Yuto namanya. Anak ke-2 lahir hanya satu tahun setelah Yuto. Ialah Ami, seorang gadis pemalu yang telah menarik perhatian Yuri. Tinggi badan Ami yang tidak setinggi Yuto, bahkan lebih pendek dari Yuri, membuatnya sering diejek oleh Yuri dan Ryosuke.
 
Oh, ya, mengenai Ryosuke, ia adalah anak ke-2 keluarga Yamada, rekan kerja keluarga Chinen. Mereka selalu berkunjung ke rumah Yuri setiap sedang berada di Hamamatsu. Tidak heran jika Ryosuke dan Yuri menjadi sangat dekat. Lagipula, ternyata Ryosuke pun adalah teman baik Yuto.
 
Lamunan Yuri buyar ketika Yuto menepuk bahunya dan duduk di sebelahnya, disusul oleh Ryosuke. Yuto dan Ryosuke hanya melempar senyum tipis pada Yuri.
 
“Melamun?” tanya Yuto.
“Yah, aku hanya teringat saat pertama kali kita saling mengenal. Bukankah selalu bersama sejak kecil sampai sekarang itu berarti kita jodoh?” tanya Yuri.
“Jodoh apanya? Maksudmu aku akan menikah denganmu?” tanya Ryosuke.
“Tidak, bukan seperti itu. Maksudku, mungkin kita memang sudah ditakdirkan menjadi teman baik sejak kita kecil,” kata Yuri.
“Mungkin kau benar,” kata Yuto.
“Menurut kalian, apa kita akan terus bersama seperti ini sampai kita tua nanti? Maksudku, selama ini kita bersama karena kita satu sekolah dan rumah kita berdekatan. Tidak mungkin akan seperti ini terus sampai kita tua, kan?” tanya Ryosuke.
“Kita akan bisa. Kalau selama ini kita bisa, kenapa selanjutnya tidak?” kata Yuri.
“Yang jelas salah satu dari kalian akan mendapatkan adikku,” kata Yuto.
“Maksudmu Ami?” tanya Ryosuke.
“Masa’ Raiya?” kata Yuto sambil melirik Ryosuke. Yah, retoris.
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Yuri.
“Itu yang dinamakan insting seorang kakak,” jawab Yuto.
 
Yuri dan Ryosuke hanya saling bertukar pandang. Dan kemudian masing-masing kembali terdiam dalam lamunan. Meski berbeda, namun lamunan mereka mengandung inti yang sama: masa depan!
 
Perjalanan pulang yang terasa jauh bagi Yuri. Setiap langkah terasa berat. Ia tidak ingin hari ini segera berakhir. Karena jika hari ini cepat berakhir, upacara kelulusan akan segera menyusul, dan mungkin perpisahan juga membuntuti. Semua orang pasti benci perpisahan dengan orang yang telah menemani sebagian besar hidupnya.
 
Seperti yang biasa ia lakukan, ia mampir ke lapangan baseball yang kini hampir sepi karena senja telah menyapa. Ia duduk di tempat biasa, di mana ia bisa memandang matahari terbenam dengan leluasa. Sinar merah merona yang terpancar seakan mengajaknya menari mengiringi matahari yang semakin lama semakin gelap.
 
Upacara kelulusan telah dimulai. Acara berlangsung lancar dan meriah dari awal hingga selesai. Air mata mengalir deras terutama ketika pidato pelepasan dari perwakilan siswa kelas 3. Perpisahan memang seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menyakitkan. Bukan karena rasa sakit ketika akan tidak dapat bersama lagi, tapi ketakutan akan adanya hal-hal yang masih mengganjal yang suatu saat akan mengganggu hati.
 
Usai upacara kelulusan, hampir semua siswa masih berkumpul di sekolah, untuk menghabiskan waktu bersama sebelum jarak dan waktu menghalangi pertemuan. Para adik kelas mulai berebut untuk memberikan kenang-kenangan kepada kakak kelas yang disukai. Tidak sedikit pula yang meminta kancing gakuran siswa laki-laki sebagai kenang-kenangan.
 
“Chinen-senpai, tolong terima kenang-kenangan dariku.”
“Chii-senpai, bolehkah aku meminta kancing bajumu?”
“Chinen-senpai, kau akan melanjutkan ke mana setelah lulus?”
 
Yuri, yang memang merupakan salah satu siswa populer di sekolah, memilih untuk menghindari kerumunan siswi junior yang ingin memberikan kado mereka untuknya. Yuto dan Ryosuke yang juga popular sepertinya memilih jalan yang sama dengan Yuri. Di belakang panggung, mereka bertemu, melepas penat seusai tampil di upacara kelulusan.
 
“Aku sudah tahu ini pasti merepotkan sejak pertama kali melihat para senior yang dikerumuni siswi junior di upacara kelulusan 2 tahun lalu. Dan ternyata memang benar dugaanku,” kata Yuri.
“Kasihan, sih, tapi apa boleh buat, aku sedang tidak ingin kehabisan waktu untuk itu,” kata Yuto.
“Lagipula banyak yang aku bahkan tidak kenal,” sambung Ryosuke.
“Apa tujuan kalian setelah ini? Maksudku, setelah lulus?” tanya Yuto.
“Sambil menunggu tes masuk perguruan tinggi, kurasa aku akan mencari pekerjaan sambilan,” kata Ryosuke.
“Aku akan banyak berolahraga selama liburan. Mungkin suatu saat nanti kalian akan melihatku di channel olah raga,” jawab Yuri.
“Walaupun tubuhmu kecil, ternyata kau sangat hebat dalam olah raga, Chinen. Aku tidak menyangka itu saat kita pertama kali bertemu,” kata Yuto.
“Awalnya kukira Chinen tidak terlalu hebat dalam olah raga. Ternyata darah ayahnya yang seorang atlet juga menurun padanya,” sambung Ryosuke.
“Aku terkejut saat dia bilang dia paling suka pelajaran olah raga,” tambah Yuto.
“Hei! Berhenti membicarakanku!” protes Yuri.
Tiba-tiba pundak Yuri ditepuk. Saat ia menoleh, ternyata Ohno sudah berdiri di belakangnya, dengan senyum.
“Ohno-senpai! Tidak kusangka kau akan datang,” kata Yuri.
“Aku sedang ada waktu luang, jadi kukira akan bagus kalau aku memberi kalian selamat atas kelulusan kalian,” kata Ohno.
“Terima kasih, Ohno-senpai. Kami senang kau di sini,” kata Yuto dan Ryosuke.
“Jadi, bagaimana? Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?” tanya Ohno sambil duduk di samping Yuri.
“Kami baru saja membahasnya. Yama bilang, dia akan mencari kerja sambilan untuk mengisi waktu. Kalau Chinen, dia akan melatih otot-ototnya agar suatu saat nanti kami akan melihatnya di TV sebagai seorang atlet. Kalau aku, yah, kurasa aku tidak tahu akan melakukan apa nanti,” kata Yuto.
“Ah, itu bagus,” kata Ohno.
“Ah, aku haus. Aku akan mengambil minuman dulu. Ada yang mau titip?” tanya Yuto sambil berdiri.
“Aku ikut denganmu saja,” kata Ryosuke. Dan mereka berdua pun pergi.
Hanya tinggal Yuri dan Ohno yang masih dudul di balik panggung.
“Kenapa kau justru menghindari fansmu?” tanya Ohno dengan nada setengah menggoda.
“Aku tidak terlalu suka dikelilingi seperti itu,” jawab Yuri.
“Kau seperti sedang menunggu seseorang,” kata Ohno.
 
Yuri hanya diam sambil terus menatap lurus ke depan, sesekali matanya beralih ke samping secara diam-diam, mencari sosok yang mungkin juga mencarinya. Berulang kali dilakukannya, ia tak menyadari bahwa itu diperhatikan oleh Ohno.
 
Setelah beberapa saat kemudian, ia baru menemukan sosok yang dicarinya. Ia hanya duduk di salah satu kursi di halaman sekolah sambil membaca sebuah novel. Hati Yuri bergejolak. Konflik terjadi di dalam otaknya, pertengkaran antara menghampirinya atau tidak, menyatakan atau tidak.
 
“Coba kau ajak bicara,” kata Ohno tiba-tiba.
“Eh?” Yuri terkejut.
“Apa maksudmu dengan ‘eh’? Ia tidak akan menunggumu lebih lama dan kesempatanmu hilang. Ingat, kau sudah lulus dari sekolah ini sekarang,” kata Ohno. Ia menarik tangan Yuri sampai Yuri berdiri, dan mendorongnya ke arah Ami untuk menyuruhnya segera maju.
 
Berada 3 meter dari tempat Ami, Yuri membeku. Kakinya seakan tidak mau bergerak untuk melangkah lebih dekat. Otaknya pun tak mampu mengontrol tubuhnya untuk berpikir secara sadar. Ia terus terdiam di tempatnya berdiri. Meski hanya tinggal beberapa langkah untuk sebuah kepastian, tapi konflik di dalam hatinya membuatnya ragu. Dan akhirnya ia berbalik dan mundur, kembali pada Ohno dan disambut dengan gelengan kepala dari Ohno, Yuto dan Ryosuke.
 
Matahari senja lagi-lagi menjadi tempatnya berdiam mengadu. Menyesali ketidakberaniannya untuk hanya menyatakan secara langsung perasaannya pada gadis yang disukainya. Berkali-kali ia memukul pasir kosong dengan kepalan tangannya dan menggesekkan kakinya.
 
“Tanganmu nanti kotor, lho,” seseorang mengulurkan sapu tangan kepada Yuri. Yuri mendongak untuk melihat orang itu yang ternyata Ami.
“Ah, terima kasih,” kata Yuri dengan gugup sambil menerima sapu tangan dari Ami.
“Sepertinya tadi ada yang ingin kau katakan padaku,” kata Ami.
Yuri terkejut. Ternyata tadi Ami menyadari keberadaannya yang terus terdiam. Tapi mengapa harus tetap diam seakan tidak peduli?
“Aku melihatmu, tapi aku diam karena mungkin akan mengganggu kalau aku menatapmu,” kata Ami seakan menjawab pertanyaan Yuri.
“Memang… Memang ada yang ingin kukatakan padamu,” kata Yuri.
“Katakan saja,” kata Ami.
“Ah, itu, eh, anu… Aku…” Yuri gugup.
“Kau? Kenapa?” tanya Ami lagi.
“Aku… Aku sudah… Aku sudah men… Aku…” Yuri kebingungan untuk mengatakan kata-kata yang tepat.
 
Sama seperti kebingungan Yuri, Ami pun menunjukkan wajah bingung dan penasaran pada Yuri.
 
“Kalau kau masih tidak bisa mengatakannya mungkin lain kali saja. Yah, itu pun kalau kita masih bisa bertemu,” Ami mulai beranjak dari tempatnya. Tapi Yuri segera bangkit dan meraih tangan Ami, menahannya untuk pergi.
“Aku menyukai Ami. Sejak kita sering bersama aku sudah menyukaimu. Tolong jawab… Tolong jawab aku,” kata Yuri dengan cepat.
Ami terkejut, tapi juga bingung. Ia masih belum siap dengan pernyataan yang tiba-tiba ini.
“E… Eh?” hanya itu yang dapat Ami katakan.
“Aku menyukaimu. Tolong jawab,” Yuri terengah-engah, bukan lelah karena pelajaran olah raga, tapi lelah karena detak jantungnya yang terus memburu.
“I… Ini… Ini terlalu cepat,” kata Ami.
“Tapi aku tidak tahu apakah akan bisa menyatakannya setelah ini,” kata Yuri.
 
Ami menghela napas. Ini sulit baginya, tapi ia hanya perlu tenang untuk menghadapi hal ini. Ia mengambil sapu tangan satu lagi dari kantong roknya dan mengusap keringat di dahi Yuri.
 
“Duduklah dulu dan tenanglah,” kata Ami.
Yuri pun hanya menurut saja. Setelah ia duduk dengan Ami juga duduk di depannya, Ami kembali menghela napas.
“Chinen-senpai baru pertama kali menyatakan suka pada seorang gadis, ya?” tanya Ami.
 
Yuri mengangguk. Ia semakin tidak sabar. Matahari yang biasanya terasa cepat terbenam kini pun terasa sangat lambat dari bersinar dengan lebih panas.
 
“Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Tapi, kalau aku harus menjawab antara apakah aku juga menyukai senpai atau tidak, aku tidak akan mengatakan tidak,” kata Ami.
Yuri menatap Ami dengan tatapan terkejut sekaligus tidak percaya, meminta agar Ami mengulangi kata-katanya.
“Aku juga menyukai Chinen-senpai,” kata Ami.
Senyum Yuri mengembang. Tapi berbeda dengan senyum sebelumnya, untuk kali ini, gigi kelinci khasnya pun ikut tertawa dan memperlihatkan diri. Ami pun tersenyum malu. Kepalanya menunduk, yang memberikan ruang bagi tangan Yuri untuk mengelusnya.
“Ah! Tunggu, aku ada sesuatu untukmu,” kata Yuri sambil merogoh saku celananya.
Ia mengeluarkan sebuah kancing yang ia ambil dari kancing nomor 2 bajunya. Yuri menarik tangan kanan Ami dan meletakkan kancing itu di telapak tangan Ami, kemudian menutupkannya.
“Jaga baik-baik, ya,” kata Yuri dengan kedua tangannya yang terus menggenggam tangan Ami.
 
Ami tertawa kecil, dengan wajah yang mengatakan bahwa Yuri bisa mempercayainya.
 
=================================
 
1. senpai: senior; panggilan untuk menghormati orang yang dianggap lebih senior
 
=================================
 
 
AAA~!! Sejujurnya saya malu bikin fanfic romance saya sama Chii begini >////< Sebentar lagi saya bakalan dicerai sama Kento. Hiyaa~! Maafkan saya Kento!! ( >/|<)
 
Oke, ini RPF ke-3 saya (setelah RPF Yamada yang pengen diet tapi tidak saya publish dan RPF InooBu) dan masih terasa sekali gajenya. Maaf untuk semua yang berharap Chii jadi pacar atau suami, sungguh hubungan saya dan Chii hanya sebatas kakak-adik! #plak
Akhir kata, terima kasih sudah membaca! Minna, yomimashita kara arigatou gozaimasu!!
 
 
===================================
 
EPILOG
 
Ami merogoh saku jasnya untuk mengambil kunci kamarnya. Tangannya menyentuh kancing pemberian dari Yuri. Ia memandang kancing itu. Tanpa sadar, ia tersenyum. Yuto yang tidak sengaja melihatnya hanya menorehkan senyum kecil di wajahnya. Sambil melewati Ami, ia mengacak-acak rambut Ami pelan.
 
“Wah, pasti kepalamu baru saja dielus Chinen,” kata Yuto.
“Ka… Kakak!!” Ami menepis tangan Yuto. Wajahnya memerah.
Yuto menunduk hingga wajahnya tepat di depan wajah Ami.
“Adikku ini… Ternyata sudah besar, ya.”
Yuto pun beranjak pergi. Ami menatapnya dengan kesal, ia tidak mampu menyembunyikan wajahnya yang memerah.

No comments:

Post a Comment