TITLE
: Back In Peace
PAIRING:
RyoMi’s Couple
CAST
:
1. Yamada Ryosuke as Ryo
2. Author as Mia (OC)
GENRE
: Hurt and Comfort, Fluff
RATING
: PG-13
LENGTH
: Oneshot
LANGUAGE
: Indonesia
AUTHOR
: Amaisora Lucifa
-TWITTER
: @pramutya
-FB
: http://www.facebook.com/amaisora
-SITE
: http://milkylatte.tumblr.com
-ICHIBAN
: Yamada Ryosuke
REASON
OF JOINING THE PROJECT : I want to take revenge because I can’t join the
project last year! Yatta!! I want to give birthday present for my lovely
ichiban, Yamada Ryosuke through this fanfiction and make many people enjoy
reading my fanfiction also fall for HEYSAYJUMP. But don’t fall for Yamada
Ryosuke, he is mine :P
DICLAIMER
: This is one of my big dream ever!
SUMMARY:
Perbedaan itu jelas ada dan telah menjadi momok juga jurang nyata dalam
hubungan mereka. Salah satu dari mereka harus mengalah agar mereka berdua bisa
bahagia. Tapi mengalah? Yang benar saja!
A/N:
This story will not ending yet honey readers~ enjoy and RCL~
= Back In Peace =
Musim Semi 2013
Kyoto
Bunga sakura mulai bermekaran,
menandakan bergantinya musim dingin menjadi musim semi. Angin berhembus pelan,
sepoi-sepoi menerbangkan helaian anak-anak rambut pengunjung taman itu. Tak
terlalu ramai mengingat senja mulai beranjak menenggelamkan sang matahari
berpulang ke peraduannya. Menyisakan beberapa orang termasuk dua insan yang
duduk bersisihan di atas bangku taman itu.
“Bagaimana kau tahu aku di
Kyoto?”tanya gadis berambut pastel itu sembari memandangi lelaki yang tak ia
sangka akan dijumpainya lagi di taman ini. Lelaki itu menemuinya tanpa
pemberitahuan setelah perpisahan mereka yang sekian lama. Tak ayal ini
mengejutkannya.
“Apa yang tak aku tahu tentangmu? You
knew, I am your stalker.”jawab lelaki itu setengah bercanda. Tak ada tawa yang
muncul dari gadis itu, hanya senyum tipis yang cenderung sinis.
Suasana tegang itu membiarkan hening
menggenang di permukaan. Hanya terdengar bisik desau angin yang lebih kencang
bertiup. Hingga pada akhirnya menciptakan suara gesekan ranting pohon sakura
yang mulai bermekaran. Mereka terdiam, terjebak pada pikiran mereka
masing-masing.
“Kenapa kau menemuiku, Yo?”tanya
gadis itu lagi guna memecah kesunyian yang mulai terasa menyesakkan. Sepasang
onyx matanya memandangi pohon-pohon sakura di seberang danau. Mencoba
menguatkan dirinya sendiri.
“Aku merindukanmu. Merindukan
kita.”tukas Ryo singkat, cepat dan lugas. Ada deru dalam tiap hembusan
napasnya.
“Merindukanku? Kita? Bukankah kau
memiliki orang lain yang lebih pantas untuk kau rindukan?”seloroh gadis itu
dengan nada kesal setengah menyindir, jelas tak dapat mengendalikan geram yang
ia rasakan. Gadis itu melirik Ryo dari ujung mata bulan sabitnya, membuat
tatapan mereka bertumbukan.
“Tidak ada orang lain sejak
perpisahan kita.”ujar Ryo tenang. Ada lega yang ia rasakan begitu melihat
respon gadis di sampingnya.
“Sudahlah. Hubungan kita telah
berakhir lama. Semenjak pertengkaran itu, kita tak lagi menjalin ikatan. Tidak
setelah aku menolak lamaranmu saat itu.”
“Mia, itu keputusanmu. Keputusan
sepihak yang kau voniskan pada kita. Tapi bagiku kita masih bersama meski
sekian lama berjauhan dan bahkan tanpa komunikasi sama sekali. Aku diam untuk
memberi waktu pada kita.”kata Ryo lagi. Ia memiringkan posisi duduknya memberi
kesempatan pada mata cokelatnya untuk memandangi gadis di hadapannya. Gadis
yang telah lama memenuhi ruang hati dan pikirannya meski mereka terpaksa
berjauhan untuk beberapa lama karena perpisahan dan perbedaan yang mereka
miliki.
“Maafkan aku, tapi kita tak bisa
kembali seperti dulu lagi. Setelah sekian lama, ada banyak hal yang berubah.
Kau, aku dan kita sudah tak sama lagi. Tak ada gunanya. Dan aku tak ingin
menyakitimu untuk kedua kalinya.” Nada bicara Mia berubah sendu. Kedua bola
mata indahnya menghindari tatapan Ryo yang sedari tadi terus memerhatikan
dirinya.
“Justru ini menyakitiku. Juga
menyakiti dirimu bukan? Berhentilah. Jangan menabur garam pada luka yang telah
ada.”
“Kau yang berhenti! Aku sudah
memiliki yang lain begitu pun dirimu, kau akan segera menemukan yang lain. Kita
tak ditakdirkan bersama.”balas gadis itu menanggapi ucapan Ryo. Pandangannya
masih menghindari lelaki itu. Ia berusaha menahan dirinya sendiri. Mencoba
menenangkan hatinya yang terasa semakin sesak dan hampir saja meledak.
“Kalau begitu yakinkan aku bahwa aku
salah, agar aku berhenti di sini. Mia, lihat aku. Pandang mataku dan katakan
bahwa kau tak lagi mencintaiku!”pinta Ryo.
Mia melihat Ryo sejenak dari sudut
matanya lalu mengalihkan pandangannya. Setelah beberapa saat, Mia dengan ragu
menatap tepat pada sepasang bolah mutiara bening milik Ryo. Samar ia menarik
napas dalam dan menghembuskannya pelan.
“Aku tak lagi mencintaimu”katanya tak
kalah perlahan hampir tak terdengar karena terbawa hembus angin. Napasnya
kemudian terasa semakin memburu, mendesak-desak bersama airmata yang ia
bendung.
Ryo yang mendengar ucapan Mia justru
tersenyum lebar dan menarik raga mungil gadis itu ke dalam rengkuhannya.
“Bodoh! Kau tahu kan sejak dulu kau
tak pandai berbohong. Kau tak pernah bisa membohongiku, Mia. Kenapa kau
bersikukuh? Berhentilah, ku mohon. Aku juga mencintaimu. Masih sangat
mencintaimu. Kembalilah padaku, pada kita yang dulu. Aku tahu kau juga tak
pernah memiliki yang lain sejak
pertengkaran hebat kita saat itu. Jangan membohongi dirimu sendiri. Sudah
cukup!”racau Ryo menumpahkan isi hatinya.
Mia sejenak tertegun dengan tindakan
Ryo. Ia tak membalas pelukan maupun ucapan Ryo. Airmata yang susah payah ia
bendung, keluar bergitu saja tanpa dapat ia tahan lagi. Isakan pelan keluar
dari celah bibirnya. Namun suara lirih itu kemudian terdengar oleh telinga Ryo.
Lelaki itu mengeratkan dekapannya. Tangan lebar dengan jari jemari lentik
miliknya, menepuk-nepuk punggung Mia pelan, mencoba menenangkan gadis itu.
Diciuminya puncak kepala Mia, menghirup aroma shampo Mia yang tercium lebih
memabukkan -atau ini karena efek perpisahan lama mereka? Namun, bukannya
mereda. Isakan pelan itu justru berubah menjadi tangis.
Ryo membiarkan Mia meluapkan segala
perasaan yang selama ini berkecamuk dalam diri gadis itu –rasa yang juga ia
miliki. Lama, Mia masih menenggelamkan wajah dan telapak tangannya dalam dada
bidang Ryo.
Kedua
lengan Ryo terus melingkari tubuh Mia, semakin mempersempit jarak di antara
mereka –yang sudah jelas tak ada lagi. Tapi Mia justru melepaskan pelukan Ryo.
Ia mendorong tubuh Ryo menjauh dengan wajah tertunduk, berusaha menyeka
sisa-sisa airmatanya. Ia benci terlihat lemah, apalagi di hadapan Ryo.
Tiba-tiba Ryo berlutut, tangannya
membuka kotak kecil berlapis kain beludru merah yang barusaja ia keluarkan dari
dalam sakunya. Perlahan ia meraih tangan Mia, memasangkan cincin itu di jari
manis Mia lalu mengecup punggung tangan gadis manis itu dalam, lama. Mengulangi
lamarannya yang terdahulu.
“Mia, would you marry me?”
Mia menatap Ryo ragu. Tanpa ia
sadari kepalanya telah mengangguk begitu saja. Ryo yang melihat gerakan
samaritu segera bangkit dan kembali merengkuh gadis itu ke dalam dekapan
hangatnya. Memeluk Mia sekali lagi –lebih erat.
Raut bahagia jelas terpancar dari
wajah Ryo yang berseri-seri. Tapi euforia itu hanya sekejap. Api girang yang
tersulut segera padam. Perkataan Mia kembali membuatnya lemas, “Ya, aku akan
menikah denganmu setelah kau mengikuti keyakinanku.”
Ryo menatap Mia lekat. Senyum telah
musnah dari wajahnya. Desah kesal terhembus keluar dari celah kedua bibirnya.
Hembusan napas cepat yang terdengar sedikit kasar, penuh kegusaran. Sejenak ia
menutup mata, berharap apa yang ia dengar tadi bukanlah sebuah kenyataan. Dan
tanpa membuka matanya, Ryo berkata,
“Meski aku telah menduganya. Tapi aku tetap tak menyangka kau akan mengatakan
kalimat itu lagi.”
Ryo terdiam sejenak. Membuka matanya
untuk melihat gadis itu dari jarak yang lebih dekat, sebelum ia melanjutkan
perkataannya yang belum usai, “Dengarkan aku, kenapa kita tak bisa menikah
meski berbeda keyakinan? Maksudku, bukankah Pemerintah Jepang
memperbolehkannya? Tak ada larangan menikah berbeda keyakinan di negara ini.
Jadi seharusnya tak masalah bukan jika kita menikah di sini?”
Mia hanya menggelengkan kepalanya. Ia
menarik tangan Ryo untuk kembali duduk di sampingnya. Tapi Ryo tak bergeming,
dengan halus melepas genggaman Mia di tangannya. Sorot kesal jelas terpancar
dari matanya yang berkilat-kilat.
“Mia, jawab aku. Jelaskan padaku agar
aku mengerti. Kenapa? Jika orang lain bisa, kenapa kita tidak? Lihatlah
pasangan berbeda keyakinan di luar sana. Mereka menikah, membangun rumah tangga
meski dengan banyak perbedaan yang mereka miliki. Mereka bahagia menjalaninya.
Bukankah kita dulu juga begitu? Perbedaan itu tak mencegah kita merasakan
bahagia. Kita sama-sama nyaman dengan apa yang kita jalani berdua bukan?
Menikah hanya satu jenjang lebih tinggi dan lebih serius daripada yang telah
kita jalani selama ini. Jika selama ini kita baik-baik saja. Kenapa kita takut
menjalani yang selanjutnya. Kau punya aku, kita saling memiliki. Kau tak
menghadapinya sendirian. Apa kau tak lelah dengan siklus putus-nyambung kita?
Lihatlah, kita tak bisa hidup sendiri-sendiri. Kita saling membutuhkan dan
sudah seharusnya bersanding. Alasan apalagi yang akan kau utarakan?”
Ryo mengatakan semua itu cepat. Apa
yang ia pendam keluar begitu saja seolah terucap dalam satu tarikan napas.
Dadanya naik turun, terengah-engah. Mia kembali mengenggam tangan Ryo. Mengisi
celah di antara jari mereka. Dengan lembut Mia menarik Ryo untuk duduk. Mata
mereka terus bersitatap, saling berbicara tanpa suara.
“Ini masalah prinsip, Yo. Jika
keyakinan kita saja berbeda, bagaimana mungkin kita bisa menyatukan
perbedaan-perbedaan lain yang kita miliki? Kita sama-sama tahu, kita teramat
berbeda –dalam berbagai hal. Kau tak ingat pertengkaran kita yang acap kali
timbul tenggelam selama kita menjalin hubungan? Yah, meski kita kerap
menganggapnya lelucon semata, menertawakan semua perbedaan yang ada.
Menganggapnya angin lalu. Tapi pernikahan itu berbeda, Yo. Aku ingin
pernikahanku menjadi yang pertama dan terakhir, hingga maut memisahkan. Dan
dalam keyakinan yang aku anut, diajarkan tentang kehidupan setelah kematian.
Aku ingin apa yang aku jalani tak hanya untuk kesenangan duniaku saja. Dunia
fana yang sesaat.”seru Mia lembut. Ia berusaha menjelaskan pada Ryo agar lelaki
itu mengerti dan pertengkaran mereka dapat dihindari.
“Kau sudah mengatakan hal itu
dulu. Tapi lihatlah kenyataannya! Kau tersiksa juga dengan perpisahan kita
bukan? Tak bisakah kau mengerti? Mengerti hatimu sendiri, dengarkan kata
hatimu. Bukankah kau nyaman saat bersamaku? Kau mencintaiku begitupun aku
mencintaimu. Tidakkah cinta saja cukup? Apa keyakinan yang sama akan menjamin
kebahagiaanmu?”gerutu Ryo. Ia meremas lembut tangan Mia yang berada di
genggamannya.
Mia sekali lagi menggelengkan kepalanya.
Ia tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Ryo mengerti. Pikirannya sudah
buntu, tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menjelaskan hal ini
pada Ryo tanpa membuat mereka terpancing emosi masing-masing. Airmatanya
kembali menetes. Rasa sakit dalam hatinya kian terasa semakin perih setelah
mendengar rentetan kata-kata yang keluar dari bibir Ryo. Mia menenggelamkan
wajahnya ke dalam telapak tangannya yang menangkup seperti sedang berdoa.
“Kau tak paham Ryo. Meski aku
bukan yang terbaik dalam urusan keyakinanku tapi aku tahu apa yang seharusnya
aku lakukan dan tidak aku lakukan –sesuai dengan ajaran keyakinan yang aku
anut.” kata Mia masih menutupi wajahnya yang tertunduk.
“Ya, kau memang bukan yang
terbaik. Tapi tetap, kau yang terbaik bagiku. Kau pendamping hidup terbaik
untukku...”tutur Ryo lembut. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul.
“CUKUP!!” potong Mia. Ia menatap
Ryo lekat dengan mata memerahnya –karena airmata yang sedari tadi terus menerus
keluar. Mia berusaha mencari dusta dalam kedua onyx Ryo tapi nihil, ia hanya
menemukan ketulusan di sana. Sikap Ryo melunak setelah keterkejutannya
mendengar seruan Mia keras yang lebih mirip bentakan –teriakan lebih tepatnya.
Ryo tahu jika mereka meneruskan ini, pertengkaran hebat mereka dulu akan
terulang dan mungkin akan membuat hubungan mereka semakin merenggang. Ia tak
ingin itu terjadi lagi. Sudah terlalu lama mereka berjauhan demi memberi waktu
untuk memikirkan semuanya kembali.
“Apa ini karena orang
tuamu?”tukas Ryo pelan. Suaranya sarat kegelisahan dan kekhawatiran yang
tiba-tiba menyerbu pikirannya. Memenuhinya dengan berbagai prasangka dan
ketakutan berlebihan.
Mia menggelengkan kepalanya cepat lalu
menjawab, “Tidak. Ini murni karena segala perbedaan kita.”
“Lalu kenapa tak kau saja yang
menganut keyakinanku? Yang penting kita memiliki keyakinan yang sama bukan?”
Hampir saja Mia melayangkan
tamparan keras ke pipi Ryo. Tapi ia dengan cepat menguasai emosinya –amarah
yang terakumulasi dari berbagai rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia menarik
napas pelan, dalam, lalu menghembuskannya lebih perlahan. Senyum sinis lagi-lagi
melengkung di bibir tipisnya.
“Jika aku pindah keyakinan,
Tuhanku saja bisa aku khianati apalagi dirimu?”
Mendengar ucapan Mia, derai
tawa keras justru pecah –tawa yang terdengar sumbang. Kini lengkung senyum
sinis itu ter-copy, senyum itu membusur sempurna dan menjadi lebih miring di
bibir Ryo.
Dengan tenang ia membalas
perkataan Mia, “Itu kata-kataku! Kau tak seharusnya membalikkan ucapanku dan
menggunakannya sebagai senjata untuk melawanku!”protes Ryo masih dengan sisa
sisa tawanya tadi.
“Huh, itu memang kebenarannya
bukan? Pada kenyataannya kita sama-sama tak mungkin mengkhianati Tuhan kita
masing-masing.” seloroh Mia kemudian. Setelah ikut menghela tawa sumbang,
senyum sinis kembali menghiasi bibir tipisnya. Ia tak lagi memandangi Ryo. Ia
justru melempar tatapan kosong ke seberang danau yang dihiasi pohon-pohon sakura. Meski tetap saja ia tak
bisa menikmati keindahan yang disuguhkan kuncup-kuncup sakura yang mulai
bermekaran di pohon-pohon itu.
“Kenapa tidak?”seru Ryo singkat
dengan nada yang terdengar bercanda. Nada suaranya sama seperti saat dulu
mereka biasa membahas ini lalu menertawakannya begitu saja.
Perkataan Ryo itu membuat Mia
menghela napasnya lagi –lebih keras. Untuk sejenak, Mia sempat tersentak karena
rasa sakit yang tiba-tiba menderanya seperti ada tangan yang menamparnya keras.
Napasnya tersenggal karena
sesak kembali menghinggapi ruang hatinya. Dadanya terasa perih bagai terhujam
jarum. Hingga oksigen seakan tersendat, kesulitan untuk ia hirup maupun ia
hembuskan keluar.
Ryo membuka dompetnya tanpa
sepengetahuan Mia. Ia kemudian menunjukkan sebuah kartu tepat di hadapan Mia
yang segera saja membuat Mia membulatkan mata sipitnya dengan sia-sia. Cepat
tangan Mia mengambil kartu itu dan membawanya semakin dekat agar bisa membaca
kata-kata yang tertera disana secara lebih jelas. Berulang kali Mia
mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.
Ryo yang melihat ekspresi Mia
itu justru tertawa. Kejutannya berhasil. Ia menarik Mia kembali ke dalam
kenyataan dengan ucapannya setelah membiarkan gadis itu terdiam lama. “Jadi,
kapan kita akan menikah?”tanya Ryo dengan senyum lebar mengembang. “Hei! Kenapa
kau malah menangis lagi? Bukankah kau seharusnya senang membaca itu?”lanjutnya
kaget melihat airmata tiba-tiba mengalir di kedua pipi tembam Mia.
“Bagaimana kau bisa melakukan
ini padaku?!”teriak Mia keras sembari memukul-mukul Ryo hingga membuat lelaki
itu meringis dalam tawanya yang berderai tak berkesudahan. Beberapa saat
setelah aksi pukul itu, Ryo menggenggam kedua tangan Mia erat. Mereka saling
berpandangan. Senyum bahagia tercetak jelas membingkai wajah mereka.
“Jadi kau akan mengkhianatiku
juga suatu hari nanti huh?”
Tanpa kata, Ryo memeluk Mia
erat sebagai ganti jawab pertanyaan itu. Ryo mengangkat tubuh Mia dan
memutar-mutar raga kecil dalam pelukannya itu. Mereka berputar-putar sembari
saling mendekap lekat.
“Never.” kata Ryo kemudian
setelah putaran mereka berhenti. Ia mengecup kening Mia singkat sebelum
akhirnya menempelkan bibir mereka dengan background tenggelamnya matahari di
balik Gunung Fuji yang terlihat sangat indah dari taman ini –mungkin karena
ikut andilnya pantulan matahari dari permukaan danau yang menangkap cahaya
senja.
= Back In Peace =
WRITER
DESIRE : Hows? Wanna read squel? Hmm,... help me to make it come true... I know
I am crazy and indisputable badgirl, but
yeah just enjoy ^^ thanks for RCL and read my other story :3
Happy
birthday my one and only Ichigo prince. Your; smile, face, voice –your presence
is my force. Thank you for coming to my world. I love you...
No comments:
Post a Comment