NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Oneshot] Back In Peace



TITLE : Back In Peace
PAIRING: RyoMi’s Couple
CAST :
1.   Yamada Ryosuke as Ryo
2.   Author as Mia (OC)

GENRE : Hurt and Comfort, Fluff
RATING : PG-13
LENGTH : Oneshot
LANGUAGE : Indonesia
AUTHOR : Amaisora Lucifa

-TWITTER : @pramutya
-FB : http://www.facebook.com/amaisora
-SITE : http://milkylatte.tumblr.com
-ICHIBAN : Yamada Ryosuke

REASON OF JOINING THE PROJECT : I want to take revenge because I can’t join the project last year! Yatta!! I want to give birthday present for my lovely ichiban, Yamada Ryosuke through this fanfiction and make many people enjoy reading my fanfiction also fall for HEYSAYJUMP. But don’t fall for Yamada Ryosuke, he is mine :P

DICLAIMER : This is one of my big dream ever!

SUMMARY: Perbedaan itu jelas ada dan telah menjadi momok juga jurang nyata dalam hubungan mereka. Salah satu dari mereka harus mengalah agar mereka berdua bisa bahagia. Tapi mengalah? Yang benar saja!

A/N: This story will not ending yet honey readers~ enjoy and RCL~



= Back In Peace =
        

Musim Semi 2013

Kyoto

         

           Bunga sakura mulai bermekaran, menandakan bergantinya musim dingin menjadi musim semi. Angin berhembus pelan, sepoi-sepoi menerbangkan helaian anak-anak rambut pengunjung taman itu. Tak terlalu ramai mengingat senja mulai beranjak menenggelamkan sang matahari berpulang ke peraduannya. Menyisakan beberapa orang termasuk dua insan yang duduk bersisihan di atas bangku taman itu.


          “Bagaimana kau tahu aku di Kyoto?”tanya gadis berambut pastel itu sembari memandangi lelaki yang tak ia sangka akan dijumpainya lagi di taman ini. Lelaki itu menemuinya tanpa pemberitahuan setelah perpisahan mereka yang sekian lama. Tak ayal ini mengejutkannya.


          “Apa yang tak aku tahu tentangmu? You knew, I am your stalker.”jawab lelaki itu setengah bercanda. Tak ada tawa yang muncul dari gadis itu, hanya senyum tipis yang cenderung sinis.


           Suasana tegang itu membiarkan hening menggenang di permukaan. Hanya terdengar bisik desau angin yang lebih kencang bertiup. Hingga pada akhirnya menciptakan suara gesekan ranting pohon sakura yang mulai bermekaran. Mereka terdiam, terjebak pada pikiran mereka masing-masing.


          “Kenapa kau menemuiku, Yo?”tanya gadis itu lagi guna memecah kesunyian yang mulai terasa menyesakkan. Sepasang onyx matanya memandangi pohon-pohon sakura di seberang danau. Mencoba menguatkan dirinya sendiri.


          “Aku merindukanmu. Merindukan kita.”tukas Ryo singkat, cepat dan lugas. Ada deru dalam tiap hembusan napasnya.


          “Merindukanku? Kita? Bukankah kau memiliki orang lain yang lebih pantas untuk kau rindukan?”seloroh gadis itu dengan nada kesal setengah menyindir, jelas tak dapat mengendalikan geram yang ia rasakan. Gadis itu melirik Ryo dari ujung mata bulan sabitnya, membuat tatapan mereka bertumbukan.


          “Tidak ada orang lain sejak perpisahan kita.”ujar Ryo tenang. Ada lega yang ia rasakan begitu melihat respon gadis di sampingnya.


          “Sudahlah. Hubungan kita telah berakhir lama. Semenjak pertengkaran itu, kita tak lagi menjalin ikatan. Tidak setelah aku menolak lamaranmu saat itu.”


          “Mia, itu keputusanmu. Keputusan sepihak yang kau voniskan pada kita. Tapi bagiku kita masih bersama meski sekian lama berjauhan dan bahkan tanpa komunikasi sama sekali. Aku diam untuk memberi waktu pada kita.”kata Ryo lagi. Ia memiringkan posisi duduknya memberi kesempatan pada mata cokelatnya untuk memandangi gadis di hadapannya. Gadis yang telah lama memenuhi ruang hati dan pikirannya meski mereka terpaksa berjauhan untuk beberapa lama karena perpisahan dan perbedaan yang mereka miliki. 


          “Maafkan aku, tapi kita tak bisa kembali seperti dulu lagi. Setelah sekian lama, ada banyak hal yang berubah. Kau, aku dan kita sudah tak sama lagi. Tak ada gunanya. Dan aku tak ingin menyakitimu untuk kedua kalinya.” Nada bicara Mia berubah sendu. Kedua bola mata indahnya menghindari tatapan Ryo yang sedari tadi terus memerhatikan dirinya.


          “Justru ini menyakitiku. Juga menyakiti dirimu bukan? Berhentilah. Jangan menabur garam pada luka yang telah ada.”


          “Kau yang berhenti! Aku sudah memiliki yang lain begitu pun dirimu, kau akan segera menemukan yang lain. Kita tak ditakdirkan bersama.”balas gadis itu menanggapi ucapan Ryo. Pandangannya masih menghindari lelaki itu. Ia berusaha menahan dirinya sendiri. Mencoba menenangkan hatinya yang terasa semakin sesak dan hampir saja meledak.


         “Kalau begitu yakinkan aku bahwa aku salah, agar aku berhenti di sini. Mia, lihat aku. Pandang mataku dan katakan bahwa kau tak lagi mencintaiku!”pinta Ryo.


          Mia melihat Ryo sejenak dari sudut matanya lalu mengalihkan pandangannya. Setelah beberapa saat, Mia dengan ragu menatap tepat pada sepasang bolah mutiara bening milik Ryo. Samar ia menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan.


          “Aku tak lagi mencintaimu”katanya tak kalah perlahan hampir tak terdengar karena terbawa hembus angin. Napasnya kemudian terasa semakin memburu, mendesak-desak bersama airmata yang ia bendung.


          Ryo yang mendengar ucapan Mia justru tersenyum lebar dan menarik raga mungil gadis itu ke dalam rengkuhannya.


          “Bodoh! Kau tahu kan sejak dulu kau tak pandai berbohong. Kau tak pernah bisa membohongiku, Mia. Kenapa kau bersikukuh? Berhentilah, ku mohon. Aku juga mencintaimu. Masih sangat mencintaimu. Kembalilah padaku, pada kita yang dulu. Aku tahu kau juga tak pernah memiliki yang lain  sejak pertengkaran hebat kita saat itu. Jangan membohongi dirimu sendiri. Sudah cukup!”racau Ryo menumpahkan isi hatinya.


          Mia sejenak tertegun dengan tindakan Ryo. Ia tak membalas pelukan maupun ucapan Ryo. Airmata yang susah payah ia bendung, keluar bergitu saja tanpa dapat ia tahan lagi. Isakan pelan keluar dari celah bibirnya. Namun suara lirih itu kemudian terdengar oleh telinga Ryo. Lelaki itu mengeratkan dekapannya. Tangan lebar dengan jari jemari lentik miliknya, menepuk-nepuk punggung Mia pelan, mencoba menenangkan gadis itu. Diciuminya puncak kepala Mia, menghirup aroma shampo Mia yang tercium lebih memabukkan -atau ini karena efek perpisahan lama mereka? Namun, bukannya mereda. Isakan pelan itu justru berubah menjadi tangis.


          Ryo membiarkan Mia meluapkan segala perasaan yang selama ini berkecamuk dalam diri gadis itu –rasa yang juga ia miliki. Lama, Mia masih menenggelamkan wajah dan telapak tangannya dalam dada bidang Ryo.

Kedua lengan Ryo terus melingkari tubuh Mia, semakin mempersempit jarak di antara mereka –yang sudah jelas tak ada lagi. Tapi Mia justru melepaskan pelukan Ryo. Ia mendorong tubuh Ryo menjauh dengan wajah tertunduk, berusaha menyeka sisa-sisa airmatanya. Ia benci terlihat lemah, apalagi di hadapan Ryo.


           Tiba-tiba Ryo berlutut, tangannya membuka kotak kecil berlapis kain beludru merah yang barusaja ia keluarkan dari dalam sakunya. Perlahan ia meraih tangan Mia, memasangkan cincin itu di jari manis Mia lalu mengecup punggung tangan gadis manis itu dalam, lama. Mengulangi lamarannya yang terdahulu.


          “Mia, would you marry me?”


           Mia menatap Ryo ragu. Tanpa ia sadari kepalanya telah mengangguk begitu saja. Ryo yang melihat gerakan samaritu segera bangkit dan kembali merengkuh gadis itu ke dalam dekapan hangatnya. Memeluk Mia sekali lagi –lebih erat.


          Raut bahagia jelas terpancar dari wajah Ryo yang berseri-seri. Tapi euforia itu hanya sekejap. Api girang yang tersulut segera padam. Perkataan Mia kembali membuatnya lemas, “Ya, aku akan menikah denganmu setelah kau mengikuti keyakinanku.”


          Ryo menatap Mia lekat. Senyum telah musnah dari wajahnya. Desah kesal terhembus keluar dari celah kedua bibirnya. Hembusan napas cepat yang terdengar sedikit kasar, penuh kegusaran. Sejenak ia menutup mata, berharap apa yang ia dengar tadi bukanlah sebuah kenyataan. Dan tanpa membuka  matanya, Ryo berkata, “Meski aku telah menduganya. Tapi aku tetap tak menyangka kau akan mengatakan kalimat itu lagi.”


          Ryo terdiam sejenak. Membuka matanya untuk melihat gadis itu dari jarak yang lebih dekat, sebelum ia melanjutkan perkataannya yang belum usai, “Dengarkan aku, kenapa kita tak bisa menikah meski berbeda keyakinan? Maksudku, bukankah Pemerintah Jepang memperbolehkannya? Tak ada larangan menikah berbeda keyakinan di negara ini. Jadi seharusnya tak masalah bukan jika kita menikah di sini?”


          Mia hanya menggelengkan kepalanya. Ia menarik tangan Ryo untuk kembali duduk di sampingnya. Tapi Ryo tak bergeming, dengan halus melepas genggaman Mia di tangannya. Sorot kesal jelas terpancar dari matanya yang berkilat-kilat.


          “Mia, jawab aku. Jelaskan padaku agar aku mengerti. Kenapa? Jika orang lain bisa, kenapa kita tidak? Lihatlah pasangan berbeda keyakinan di luar sana. Mereka menikah, membangun rumah tangga meski dengan banyak perbedaan yang mereka miliki. Mereka bahagia menjalaninya. Bukankah kita dulu juga begitu? Perbedaan itu tak mencegah kita merasakan bahagia. Kita sama-sama nyaman dengan apa yang kita jalani berdua bukan? Menikah hanya satu jenjang lebih tinggi dan lebih serius daripada yang telah kita jalani selama ini. Jika selama ini kita baik-baik saja. Kenapa kita takut menjalani yang selanjutnya. Kau punya aku, kita saling memiliki. Kau tak menghadapinya sendirian. Apa kau tak lelah dengan siklus putus-nyambung kita? Lihatlah, kita tak bisa hidup sendiri-sendiri. Kita saling membutuhkan dan sudah seharusnya bersanding. Alasan apalagi yang akan kau utarakan?”


            Ryo mengatakan semua itu cepat. Apa yang ia pendam keluar begitu saja seolah terucap dalam satu tarikan napas. Dadanya naik turun, terengah-engah. Mia kembali mengenggam tangan Ryo. Mengisi celah di antara jari mereka. Dengan lembut Mia menarik Ryo untuk duduk. Mata mereka terus bersitatap, saling berbicara tanpa suara.


            “Ini masalah prinsip, Yo. Jika keyakinan kita saja berbeda, bagaimana mungkin kita bisa menyatukan perbedaan-perbedaan lain yang kita miliki? Kita sama-sama tahu, kita teramat berbeda –dalam berbagai hal. Kau tak ingat pertengkaran kita yang acap kali timbul tenggelam selama kita menjalin hubungan? Yah, meski kita kerap menganggapnya lelucon semata, menertawakan semua perbedaan yang ada. Menganggapnya angin lalu. Tapi pernikahan itu berbeda, Yo. Aku ingin pernikahanku menjadi yang pertama dan terakhir, hingga maut memisahkan. Dan dalam keyakinan yang aku anut, diajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Aku ingin apa yang aku jalani tak hanya untuk kesenangan duniaku saja. Dunia fana yang sesaat.”seru Mia lembut. Ia berusaha menjelaskan pada Ryo agar lelaki itu mengerti dan pertengkaran mereka dapat dihindari.


              “Kau sudah mengatakan hal itu dulu. Tapi lihatlah kenyataannya! Kau tersiksa juga dengan perpisahan kita bukan? Tak bisakah kau mengerti? Mengerti hatimu sendiri, dengarkan kata hatimu. Bukankah kau nyaman saat bersamaku? Kau mencintaiku begitupun aku mencintaimu. Tidakkah cinta saja cukup? Apa keyakinan yang sama akan menjamin kebahagiaanmu?”gerutu Ryo. Ia meremas lembut tangan Mia yang berada di genggamannya.


               Mia sekali lagi menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Ryo mengerti. Pikirannya sudah buntu, tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menjelaskan hal ini pada Ryo tanpa membuat mereka terpancing emosi masing-masing. Airmatanya kembali menetes. Rasa sakit dalam hatinya kian terasa semakin perih setelah mendengar rentetan kata-kata yang keluar dari bibir Ryo. Mia menenggelamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya yang menangkup seperti sedang berdoa.
        

               “Kau tak paham Ryo. Meski aku bukan yang terbaik dalam urusan keyakinanku tapi aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan dan tidak aku lakukan –sesuai dengan ajaran keyakinan yang aku anut.” kata Mia masih menutupi wajahnya yang tertunduk.


               “Ya, kau memang bukan yang terbaik. Tapi tetap, kau yang terbaik bagiku. Kau pendamping hidup terbaik untukku...”tutur Ryo lembut. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul.


               “CUKUP!!” potong Mia. Ia menatap Ryo lekat dengan mata memerahnya –karena airmata yang sedari tadi terus menerus keluar. Mia berusaha mencari dusta dalam kedua onyx Ryo tapi nihil, ia hanya menemukan ketulusan di sana. Sikap Ryo melunak setelah keterkejutannya mendengar seruan Mia keras yang lebih mirip bentakan –teriakan lebih tepatnya. Ryo tahu jika mereka meneruskan ini, pertengkaran hebat mereka dulu akan terulang dan mungkin akan membuat hubungan mereka semakin merenggang. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Sudah terlalu lama mereka berjauhan demi memberi waktu untuk memikirkan semuanya kembali.


               “Apa ini karena orang tuamu?”tukas Ryo pelan. Suaranya sarat kegelisahan dan kekhawatiran yang tiba-tiba menyerbu pikirannya. Memenuhinya dengan berbagai prasangka dan ketakutan berlebihan.


                Mia menggelengkan kepalanya cepat lalu menjawab, “Tidak. Ini murni karena segala perbedaan kita.”


               “Lalu kenapa tak kau saja yang menganut keyakinanku? Yang penting kita memiliki keyakinan yang sama bukan?”


                Hampir saja Mia melayangkan tamparan keras ke pipi Ryo. Tapi ia dengan cepat menguasai emosinya –amarah yang terakumulasi dari berbagai rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia menarik napas pelan, dalam, lalu menghembuskannya lebih perlahan. Senyum sinis lagi-lagi melengkung di bibir tipisnya.


               “Jika aku pindah keyakinan, Tuhanku saja bisa aku khianati apalagi dirimu?”


                Mendengar ucapan Mia, derai tawa keras justru pecah –tawa yang terdengar sumbang. Kini lengkung senyum sinis itu ter-copy, senyum itu membusur sempurna dan menjadi lebih miring di bibir Ryo.


               Dengan tenang ia membalas perkataan Mia, “Itu kata-kataku! Kau tak seharusnya membalikkan ucapanku dan menggunakannya sebagai senjata untuk melawanku!”protes Ryo masih dengan sisa sisa tawanya tadi.


               “Huh, itu memang kebenarannya bukan? Pada kenyataannya kita sama-sama tak mungkin mengkhianati Tuhan kita masing-masing.” seloroh Mia kemudian. Setelah ikut menghela tawa sumbang, senyum sinis kembali menghiasi bibir tipisnya. Ia tak lagi memandangi Ryo. Ia justru melempar tatapan kosong ke seberang danau yang dihiasi  pohon-pohon sakura. Meski tetap saja ia tak bisa menikmati keindahan yang disuguhkan kuncup-kuncup sakura yang mulai bermekaran di pohon-pohon itu.


               “Kenapa tidak?”seru Ryo singkat dengan nada yang terdengar bercanda. Nada suaranya sama seperti saat dulu mereka biasa membahas ini lalu menertawakannya begitu saja.


                Perkataan Ryo itu membuat Mia menghela napasnya lagi –lebih keras. Untuk sejenak, Mia sempat tersentak karena rasa sakit yang tiba-tiba menderanya seperti ada tangan yang menamparnya keras.


                Napasnya tersenggal karena sesak kembali menghinggapi ruang hatinya. Dadanya terasa perih bagai terhujam jarum. Hingga oksigen seakan tersendat, kesulitan untuk ia hirup maupun ia hembuskan keluar.


                Ryo membuka dompetnya tanpa sepengetahuan Mia. Ia kemudian menunjukkan sebuah kartu tepat di hadapan Mia yang segera saja membuat Mia membulatkan mata sipitnya dengan sia-sia. Cepat tangan Mia mengambil kartu itu dan membawanya semakin dekat agar bisa membaca kata-kata yang tertera disana secara lebih jelas. Berulang kali Mia mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.


                Ryo yang melihat ekspresi Mia itu justru tertawa. Kejutannya berhasil. Ia menarik Mia kembali ke dalam kenyataan dengan ucapannya setelah membiarkan gadis itu terdiam lama. “Jadi, kapan kita akan menikah?”tanya Ryo dengan senyum lebar mengembang. “Hei! Kenapa kau malah menangis lagi? Bukankah kau seharusnya senang membaca itu?”lanjutnya kaget melihat airmata tiba-tiba mengalir di kedua pipi tembam Mia.


                “Bagaimana kau bisa melakukan ini padaku?!”teriak Mia keras sembari memukul-mukul Ryo hingga membuat lelaki itu meringis dalam tawanya yang berderai tak berkesudahan. Beberapa saat setelah aksi pukul itu, Ryo menggenggam kedua tangan Mia erat. Mereka saling berpandangan. Senyum bahagia tercetak jelas membingkai wajah mereka.


                “Jadi kau akan mengkhianatiku juga suatu hari nanti huh?”


                Tanpa kata, Ryo memeluk Mia erat sebagai ganti jawab pertanyaan itu. Ryo mengangkat tubuh Mia dan memutar-mutar raga kecil dalam pelukannya itu. Mereka berputar-putar sembari saling mendekap lekat.


                “Never.” kata Ryo kemudian setelah putaran mereka berhenti. Ia mengecup kening Mia singkat sebelum akhirnya menempelkan bibir mereka dengan background tenggelamnya matahari di balik Gunung Fuji yang terlihat sangat indah dari taman ini –mungkin karena ikut andilnya pantulan matahari dari permukaan danau yang menangkap cahaya senja.



= Back In Peace =



WRITER DESIRE : Hows? Wanna read squel? Hmm,... help me to make it come true... I know I am crazy and indisputable badgirl,  but yeah just enjoy ^^ thanks for RCL and read my other story :3


Happy birthday my one and only Ichigo prince. Your; smile, face, voice –your presence is my force. Thank you for coming to my world. I love you...





No comments:

Post a Comment