Chapter
Three: Broken Present
Ryo, tanpa ragu dan takut dia selalu
menolong dan melindungiku. Tapi, dia selalu terlihat menutup mata dari itu
semua. Setelah dia berhasil mengalahkan para pengganggu itu, dia kembali
mengacuhkan aku. Bahkan tak pernah menghiraukan atau menjawab ucapan terima
kasihku.
Sebenarnya, apa artinya ini semua?
Aku meregangkan badanku di halaman
belakang. Pagi yang cerah di hari Minggu. Aku menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya perlahan. Sejenak aku ingin melepaskan segala bebanku tentang
ketidakadilan dalam hidupku ini. Aku memejamkan mata sejenak. Aku ingin...
“Suke,” panggil Ryo.
“Ya,”
“Cepat ganti baju dan ikut jogging denganku,”
“Eh?”
“Kau harus banyak berolah raga kalau
kau ingin kuat dan berotot sepertiku,”
“Tapi aku tidak melihat otot-ototmu,”
“Mau membangkang?” matanya melotot.
“E.. Iya, gomen...”
Aku berlari dua meter di belakang Ryo.
Napasku terengah-engah. Semakin lama langkah kakiku semakin pelan.
“Hoy! Sedang apa kau? Ayo cepat lari!”
Ryo berteriak.
“Istirahat sebentar, Ryo. Aku capek,” aku
membungkuk memegangi lututku. Napasku tersengal.
“Astaga! Ini masih belum seratus meter.
Masak sudah capek lagi. Payah!”
Aku berusaha mengatur laju napasku. Ryo
menghampiriku dan menyodorkan sebotol air. Aku menerimanya dan segera meneguk
isinya.
“Lima menit lagi kita lanjutkan,” Ryo menepi
ke pinggir jalan. Kemudian duduk di bawah pohon. Raut wajahnya terlihat kesal.
Ah, tidak, tapi, sangat kesal.
Aku tidak bermaksud membuatmu kesal,
Ryo. Sungguh. Maafkan aku yang selalu lemah.
Ryo beranjak dari duduknya dan
menghampiriku.
“Kita pulang saja,” katanya.
“Eh?”
“Kita pulang. Apa masih kurang jelas?”
“Eh?” aku masih terheran-heran. Ya
ampun! Ryo sampai sekesal itu padaku. Aku menepuk jidat. Kembali meratapi
kepayahanku. Kenapa aku harus terlahir dengan penyakit ini. Yang membuatku
tidak bisa melakukan aktivitas berat. Yang membuatku semakin lemah.
***
“Yuri,” panggilku. Yuri menengok.
“Ya, ada apa Ryo?”
“Mana Suke?”
“Hm, tadi dia...” Yuri terdiam sejenak
seperti sedang berpikir. “Dia pulang duluan. Katanya sih, ada urusan.”
“Urusan?”
“Ya,”
“Ah, ya sudah. Terima kasih ya. Bye.”
“Bye.”
Aku melangkah cepat berharap Suke masih
dekat dari sekolah. “Sial!” umpatku. “Kenapa anak itu selalu mencari masalah?!”
Dan benar! Kutemukan Suke bersama
laki-laki itu lagi. Keparat! Aku harus berkelahi lagi untuk menyelamatkannya. Kulirik
tempat sampah di pojok jalan dan mengambil botol bekas, lalu dengan segala
keyakinan kuhampiri mereka.
Aku berkelahi lagi.
Sampai di rumah aku mulai mengomeli
Suke.
“Maafkan aku, Ryo.”
“Harus berapa kali kubilang jangan
jauh-jauh dariku?! Kau ini bandel sekali.” Aku mengempaskannya ke kursi.
“Maaf,” Suke tertunduk dan mulai
menangis.
Aku geram. Ingin sekali aku berteriak. Aku
meremas rambut. Tak bisa membayangkan kalau Suke akhirnya dibawa pergi oleh
orang itu.
“Okaasan,” gumamku. “Tasukette,”
aku jatuh berlutut dengan masih memegangi kepalaku. Aku meringkuk menempelkan wajahku
ke lutut. “Suke begitu menyusahkan, Okaasan. Aku tak sanggup lagi.”
***
Aku tahu ini hari ulang tahun kami. Tapi
akan kuanggap ini hari ulang tahun Ryo saja. Karena itu aku pergi ke toko kue
untuk membeli strawberry cake kesukaannya. Aku pulang sekolah lebih dulu
tanpa menunggunya. Berniat membuat kejutan saat dia tiba di rumah nanti. Aku
berhasil membeli kuenya walaupun hanya ukuran kecil. Uang tabunganku tidak
cukup membeli yang lebih besar, padahal aku ingin memberinya kue termahal di
hari ulang tahunnya ini. Tak apalah, kuharap Ryo menyukainya.
Dengan senyum yang terkembang aku berjalan
santai menuju rumah. Berkali-kali kulihat kotak kecil berwarna putih berhias pita
merah yang kugenggam ini. Tiba-tiba aku terkikik pelan. Aku seperti seorang
kekasih yang akan merayakan valentine bersama wanita kesayangannya.
Dak!
Tiba-tiba seseorang menendang
punggungku dari belakang hingga aku terjerembab di jalan.
“Arrghh...” aku mengerang. Hah!
Kadoku hilang. Aku berusaha bangkit untuk mencarinya. Ketemu! Aku merangkak
hendak meraihnya. Ketika aku hendak mengambilnya tiba-tiba sebuah kaki dengan
sepatu besar dan tebal menginjak tanganku dan membuat kotak itu hancur
seketika. Aku meringis kesakitan. Aku mendongak untuk melihat wajah orang itu.
Wajah garang berkaca mata hitam mengerikan itu lagi. Orang yang waktu itu
menyekapku.
“Lepaskan!” pintaku. Alih-alih
menyingkirkan kakinya dari punggung tanganku, dia malah memutar-mutar sambil
menekannya sehingga aku semakin menjerit. Apa tulang jari-jariku sudah patah?
“Aaargghhh...” Aku berusaha mengangkat
kakiku dan berniat menendang orang itu. Tapi dia dengan sigap menangkap kakiku
dan mencengkeramnya kuat-kuat. Aku tidak bisa apa-apa lagi. Sialan!
Lebih sialan lagi, dia sudah merusak
kado ulang tahunku untuk Ryo.
Prank!
Tiba-tiba ada yang memukul kepala laki-laki
kejam itu dengan botol. Darah mengalir dari ubun-ubunnya. Pecahan beling
berhamburan di jalan.
Akhirnya Ryo datang. Wajahnya bagai
kerasukan iblis. Laki-laki itu melepaskan kakinya dari tanganku dan berbalik
menghadap Ryo. Ryo memukulkan tongkat kayu ke perut laki-laki itu. Sekali lagi,
perkelahian itu terjadi. Diakhiri dengan pukulan keras yang mendarat di tengkuk
laki-laki itu dan membuatnya pingsan seketika. Dia ambruk. Ryo menendang
punggungnya.
“Dasar lemah! Wajahmu saja yang seram.
Tapi kau tidak bisa berkelahi sama sekali.”
Aku tertegun dan masih bergeming. Ryo
menghampiriku. Dia mengalungkan lenganku di lehernya dan membantuku berdiri. Memapahku
sampai ke rumah. Kulirik kotak berisi strawberry cake yang sudah hancur
lebur itu tergolek tak berdaya di jalanan. Gagal. Kejutanku gagal.
“Kita harus bicara, Suke. Kau sudah
sering buat kesalahan.”
Aku tersentak. Kesalahan?
“Kenapa kau tidak menungguku saat
pulang sekolah? Kenapa pulang sendiri?!” teriaknya.
“Maaf. Aku...”
“Apa?! Mau alasan apa lagi? Kau ini....
Grrrhh...” Ryo mengepalkan tangannya geram.
“Maaf aku selalu merepotkanmu.”
“Ya, kau tidak berguna. Sangat tidak
berguna dan sangat merepotkan!” pekiknya.
“Maafkan aku, Ryo.”
“Harus berapa kali kubilang jangan
jauh-jauh dariku?! Kau ini bandel sekali!” Ryo mengempaskanku ke kursi.
“Maaf,” aku tertunduk dan mulai
menangis.
Ryo meremas rambutnya dan jatuh
berlutut.
“Okaasan, tasukette,” katanya
pelan. Dia meringkuk menempelkan wajahnya ke lutut. “Suke begitu menyusahkan, Okaasan.
Aku tak sanggup lagi.”
Aku tersentak. Kata itu, ‘menyusahkan’,
sudah sering Ryo ucapkan padaku. Maafkan aku, Ryo. Aku sudah mengacaukan
hari ulang tahunmu. Aku sudah banyak membuatmu dilukai dan melukai orang
lain. Andai Ryo dapat mendengar bisikan batinku. Dia masih tetap bersujud
di lantai. Mungkin sedang menyesali nasibnya yang malang karena mempunyai
saudara kembar sepertiku.
Aku tak habis pikir, kenapa hanya wajah
kami saja yang sama? Kalau Tuhan memang berniat membuat kami menjadi saudara
kembar, kenapa tidak seratus persen kami dibuat sama? Kenapa? Kenapa hanya
wajah dan fisik kami yang sama? Kepintaran, keberanian, kekuatan, dan segala
hal yang Ryo miliki, seharusnya aku juga memilikinya, kan? Itu baru namanya
kembar. Sama.
Tuhan sepertinya sedang mempermainkan
takdir kami. Atau lebih tepatnya, takdirku.
***
To be continue
No comments:
Post a Comment