Title : Life and secret
Cast : Ryosuke Yamada as Ryosuke yamada
Other
cast : sembilan member Hey Say Jump.
Genre : Family and Friendship
Rating : General
Length : Oneshot
Language : bahasa Indonesia
Author : Nikhe a.k.a BMR
-
FB Link : http://www.facebook.com/nikhe.salahlagi
-
Twitter : https://twitter.com/NFmaknae
-
Site Link :
http://kheybee.wordpress.com/
-
Ichiban : Morimoto Ryutarou
-
Reason join this project:
• Dulu ichibanku Yamada Ryosuke.
• Aku ingin memberi sedikit hadiah untuk
ultahnya Yamada Ryosuke
• Dan tertarik dengan hadiahnya.
Disclaimer : semua jalan cerita ini milik saya dan
dunia khayal saya. Morimoto Ryutarou milik author dan Tuhan semata. Sedangkan
sembilan member lain adalah aset Jhonny Entertainment.
Saya
yakin nggak akan ada yang mau nge-plagiat karya jelek ini.
Summary : Parents or Passion?
A/N : selamat membaca dan semoga kalian suka
===>
“Aku
pulang.” Yamada membuka pintu dan segera melepas sepatunya.
Kemana
oka-san dan oto-san? Mengapa rumah ini lengang sekali.
Ujar
Yamada dalam hati, matanya menatap liar ke seluruh penjuru ruangan.
Yamada
berjalan pelan menuju ruang tengah, dilihatnya kedua orang tuanya sedang duduk
saling berhadapan.
“Dari
mana saja kau?,”bentak ayah Yamada sambil menatap Yamada dengan bengis,”kau tau
ini jam berapa?”
Yamada
terdiam. Ditatapnya jam dinding yang menunjukkan jam sebelas malam. Hatinya
sibuk menerka-nerka bencana apa yang akan dia dapatkan malam ini.
“Istirahatlah
dulu. Kau bahkan belum makan malam.”Ujar ibu Yamada sambil melepaskan tas yang
disandang Yamada sejak tadi.
“Sudahlah
bu,anak tidak tahu diri seperti dia jangan terlalu dimanjakan,” ayah Yamada
menoleh ke arah isterinya,”ibu masuklah ke kamar.”
Belum
sepatah kata pun terucap dari bibir Yamada. Yamada hanya memandang kepergian
ibunya dari belakang.
“Apa
ini?”ayah Yamada melemparkan sebuah amplop tepat ke wajah Yamada.
“I-itu,darimana
oto-san mendapatkannya?”tanya Yamada gugup.
PLLAAKKK…
tamparan keras mendarat di pipi kiri Yamada.
“Lagi-lagi
kau berulah. Kau sudah ku sekolahkan, apa sulitnya hanya menjalaninya setiap
hari?”Wajah ayah Yamada berubah menjadi merah padam.
Yamada
terdiam, bibir bagian bawahnya berkedut tidak beraturan. Seribu kata ingin
Yamada lontarkan, namun hati kecilnya menahannya.
“Ini
ketiga kalinya sekolahmu mengirimkan surat panggilan orang tua dalam satu
semester ini.”
“Aku
sudah pernah mengatakan bahwa aku tidak mau bersekolah disana” ujar Yamada
sambil menatap wajah ayahnya.
“Lalu
apa maumu? Bergumul dengan semua kanvas dan cat minyak itu?”
“Oto-san,
tidak bisakah kau mengerti. Aku tidak menyukai semua hal tentang ekonomi – apa
peduliku tentang saham;investasi;kreditor;utang;piutang – jiwaku diciptakan
bukan untuk itu.”
“Kau
benar-benar ingin melihatku cepat mati dengan semua tingkah lakumu.”
“Oto-san,
aku tidak bisa menjadi pelampiasan semua cita-citamu yang tak bisa kau capai dimasa
muda. Aku mempunyai mimpiku sendiri”
“Jadi
kau menganggap bahwa kami menjadikanmu sebagai boneka? Begitukah maksudmu. Kami
ini orang tuamu. Tapi sayang,hanya kami yang menyayangimu. Sedangkan kau…”
“Oto-san
aku memang tak pandai mengungkapkan semua perasaanku, tetapi percayalah bahwa
aku sangat mencintai kalian.” Air mata Yamada mengalir dari kedua matanya yang
bening.
“Dengan
semua tingkah lakumu yang seperti ini?” ayah Yamada mengambil amplop dan
mengibas-ngibaskannya ke pipi Yamada.
“Oto-san,
aku sangat ingin membuat kalian bangga dengan caraku sendiri.” Yamada
menggenggam pergelangan tangan ayahnya.
“Enyahlah
dari hadapanku,”ayah Yamada melepaskan genggaman Yamada,”aku tidak bisa menahan
emosi ini lebih lama lagi.”
Yamada
tahu pasti yang dimaksudkan oleh ayahnya. Yamada mengambil tasnya dari sofa dan
berjalan gontai ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua.
-FLASHBACK-
Do
you ever feel like breaking down,
Do
you ever feel out of place,
Like
somehow you just don’t belong and no one understand you,
Do
you ever wanna run away,
Do
you lock yourself in your room, with the radio on turn on so loud,
And
no one hear you screaming,
No
you don’t know what its like, when nothing feels allright,
You
don’t know what it’s like to be like me,
To
be hurt,to feel lost, to be left down in the dark,
To
be kick when your down, to be like you’ve been push arround,
To
be on the edge of breaking down, and no one there to save you,
No
you don’t know what it’s like, welcome to my life.
“Kei-chan,
permainan gitarmu semakin baik saja.”Puji Yamada sambil melemparkan senyuman ke
arah Keito.
“Bahasa
inggrismu juga semakin lancar”Keito balas memuji.
“Yuto-chan
dan Hika-chan belum kembali?”tanya Yamada sambil mengibas-ngibaskan dasinya.
“Entahlah,
mengapa mereka lama sekali? Mereka hijrah atau membeli minuman sih?”Keito juga
melempar tanya.
Ujung
lorong di lantai empat sekolah ini, merupakan tempat paling nyaman untuk
menghabiskan waktu istrirahat. Disana terdapat salah satu papan plafon yang
agak longgar, tempat untuk menyembunyikan gitar. Angin yang sejuk dan
suasananya sangat mendukung untuk dijadikan tempat bersantai. Tak jarang mereka
tidur siang disana.
Yamada,Keito,Yuto
dan Hikaru. Siapa yang tidak mengenal ke empat nama itu. Empat orang pembuat onar
dan paling sering berurusan dengan bagian kesiswaan. Entah sejak kapan mereka
mulai bersahabat. Keito,anak korban dari perceraian ke dua orang tuanya. Yuto,
anak konglomerat yang kesepian. Hikaru, yang juga selalu ditinggal orang tuanya
untuk urusan bisnis. Sedangkan Yamada, seorang anak yang tersesat dan salah
memilih gerbong kereta kehidupan.
“Hey,kalian
sudah lama menunggu?”Yuto melemparkan beberapa minuman soda pada Keito dan
Yamada. Diikuti oleh Hikaru dibelakangnya yang memegang beberapa bungkus makanan
ringan.
“Ah,kukira
kau akan kembali lusa dari perjalananmu kekantin.”Keito menyindir Yuto dan
Hikaru.
“Kami
hanya menghilang beberapa menit dan kalian sudah merindukan kami?”Tanya Hikaru
sambil menggigit kentang gorengnya.
“Benar
sekali Hika-chan, ternyata pelet yang kita gunakan sangat ampuh.” Yuto membela
Hikaru.
“Pelet,
pelet apa? Pelet ikan. Oh iya, apakah kalian melihat guru statistik hari ini?”
Tanya Yamada.
“Ya.
Tadi kami melihatnya sedang makan siang di kantin.” Jawab Yuto.
“Ah,
mengapa beliau harus masuk. Padahal aku sedang malas-malasnya belajar
statistik.”Keluh Keito.
“Tetapi
kita harus masuk, minggu lalu kita sudah tidak masuk berjamaah. Alasan apa yang
akan kita berikan kali ini.” Sambung Hikaru.
“Ne,bilang
saja kita akan melayat karena nenekmu meninggal Hika-chan.” Usul Yuto.
“Hish,
kau ini. Apa kau lupa,kita sudah menggunakan alasan itu minggu lalu.”Yamada
mendorong kepala Yuto.
“Kan
yang meninggal minggu lalu neneknya, bilang saja kali ini yang meninggal
kakeknya.”Keito juga mengajukan ide gilanya.
“Ne,
mana mungkin nenek dan kakekku meninggal berurutan seperti itu,” Hikaru menatap
horor ke arah Keito,”ah,sudahlah. Lebih baik kita masuk, lagipula kudengar hari
ini akan diadakan ulangan.”
Dengan
amat sangat berat hati, keempat siswa itu beranjak dari tempatnya. Ketika
memasuki ruangan kelas,semua orang berkutat dengan buku dan pensilnya
masing-masing. Tak terkecuali duo jenius yaitu Inoo Kei dan Chinen Yuri. Dua
orang yang otaknya lebih encer dari cendol, lebih tajam dari pedang samurai dan
mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Dua orang siswa itu selalu bersaing
menduduki peringkat pertama, bagi mereka sekolah adalah medan pertarungan yang
sengit untuk masa depan.
Ulangan
dimulai,waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya adalah 120 menit.
Yuto,Hikaru dan Keito menatap lekat-lekat ke arah lembaran soal yang dibagikan.
Chinen dan Inoo tidak kehilangan fokus sedikit pun.
Sementara
Yamada membolak-balikkan kertas ditangannya,tak ada satu soal pun yang dia
mengerti.
Apa
ini?kapan ini dipelajari? Aku harus mulai menjawab dari mana?
Pertanyaan
itu berputar-putar di kepala yamada.
Suasana
kelas yang hening ketika angin berhembus melalui beberapa jendela yang terbuka
membawa hawa kantuk untuk Yamada. Perlahan-lahan kelopak matanya menutup, hanya
dentang jam yang didengar Yamada. Dan perlahan suara itu menghilang.
PPPPLLLLLEEEEEEETTTTAAAAKKKKKK…
Bunyi
sesuatu terjatuh dilantai mengagetkan Yamada. Yamada terbangun, dan mendapati
semua mata tertuju padanya. Dilihatnya dari jarak dua meja, Yuto menunjuk ke
lantai. Penghapus papan tulis telah mendarat dengan sukses.
“Isi
absenmu,lalu keluarlah dari kelas ini.”Ujar seorang pria paruh baya yang
disinyalir adalah guru mata pelajaran statistik.
Yamada
terdiam sesaat, otaknya mencari jawaban – langkah tepat apa yang harus diambil.
“Permisi.”
Yamada menundukkan badannya ke arah pria itu.
Yamada
menarik nafas panjang ketika menuruni tangga,berjalan ke arah koridor dan
mengambil perlengkapan melukisnya di loker. langkahnya terasa sangat ringan
menuju gerbang sekolah, tetapi beberapa pemikiran berkecamuk dikepalanya.
Sebelum kakinya meninggalkan gerbang, Yamada memandangi gedung sekolahnya yang
besar. School of Accounting and Business. Salah satu sekolah terbaik di jepang.
Yamada
tahu persis akibat yang akan ditanggungnya akibat ulahnya hari ini. Namun
Yamada tidak peduli. Pukulan atau kata-kata kasar yang akan didengar dari mulut
ayahnya,air mata yang akan ditumpahkan ibunya ketika malam menjelang. Semua itu
adalah makanan sehari-hari bagi Yamada.
Yamada
bukanlah tipe anak yang durhaka, tetapi memaksakan seekor bunglon menjadi
seekor ular adalah sebuah hal yang mustahil.
Yamada
berjalan menuju sebuah galeri seni,milik pelukis jalanan yang karyanya tak
kalah bagus jika dibandingkan dengan pelukis terkenal.
“Hey,yama-chan
kau pulang lebih awal hari ini.” Sapa seorang pria dengan tangan yang dipenuhi
oleh tumpahan cat minyak.
“Iya
Ryu-chan. Hari ini aku diusir oleh guruku.” Yamada menyandarkan badannya
disebuah kursi kayu panjang.
“Lagi,”
Ryutaro menghampiri Yamada dan duduk disampingnya,”ceritakan padaku apa yang
terjadi?”
“Ah,
sudahlah. Lupakan. Aku tak ingin membahasnya,”Yamada melemparkan pandangannya
ke sebuah kanvas dengan gambar wanita diatasnya,”kau yang melukis itu Ryu-chan?”
“Bukan,
itu lukisan yang dibawa Dai-chan pagi tadi.”
“Siapa
wanita itu?”
“Entahlah.
Dai-chan tidak mengatakan apa-apa.”
“Apakah
dia sedang jatuh cinta?”
“Kurasa
tidak.”
“Jarang
sekali dia melukis seorang wanita.” Gumam Yamada sambil memandang lukisan
wanita berwajah sendu dan berambut panjang, mengenakan kemeja hitam.
Ryutaro
membersihkan tangannya dari cat minyak yang meluber. Sedangkan Yamada
membenamkan pikirannya sedalam mungkin, mencari jalan keluar dari semua kondisi
yang terjadi.
“Ini,
minumlah.” Ryutaro menyodorkan segelas wedang jahe hangat.”ini minuman khas
dari Indonesia, baik untuk kesehatanmu.”
“Arigatou
Ryu-chan.”Yamada menerima gelas tersebut dan langsung menyeruputnya.
Rasa
hangat menjalar di setiap selah tenggorokan Yamada, sedikit melegakan sesak
yang memenuhi dadanya.
“Sejak
kapan kau disini?”Suara itu menyeruak memasuki ruangan. Seorang pria dengan
wajah kokohnya dan topi hitam khas eropa era delapan puluhan membawa beberapa
kantung belanjaan, berjalan ke arah dapur kecil yang terletak di sudut ruangan.
Pria itu pendiri galeri sederhana ini sejak tiga tahun lalu, sebuah tempat
pelarian bagi Yamada ketika tak ada tempat yang bisa menerimanya.
“Aku
baru saja tiba Yuya-kun.”Jawab Yamada.
“Sepertinya
harimu tidak berjalan dengan lancar.”Yuya mengeluarkan beberapa belanjaannya
dan menyusunnya di rak.
“Kurang
lebih begitu.” Yamada mengangguk pelan.
“Kau
mungkin bisa berlari dari masalah yang mencekatmu. Tetapi, sampai kapan kau
sanggup berlari?” Yuya menatap serius ke arah Yamada dari tempatnya.
“Aku
hanya membutuhkan sedikit ruang untuk bernafas. Setelah aku siap, aku akan
menyelesaikannya.” Yamada menatap kosong ke dalam gelas yang digenggamnya.
“Aku
selalu menerimamu kapan pun kau mau kemari. Tetapi alangkah baiknya jika kau
meneruskan langkah yang telah kau ambil, kau hanya butuh bertahan satu tahun
lagi” ujar Yuya sambil meneruskan kegiatannya menyusun barang-barang di dapur.
“Aku
sudah mati sejak dua tahun lalu. Aku tak tahu apakah aku masih sanggup
melanjutkan semua ini.” Yamada kembali menyeruput minumannya.
Yuya
tak bergeming sama sekali terhadap ucapan Yamada.
“Yuya-kun
dan Yama-chan, aku harus pulang. Adikku sudah menunggu dirumah”Ryutaro memakai
jaket dan syal birunya.
“Ya.
Hati-hati dijalan, sampai jumpa besok.” Ujar Yamada. Sedangkan Yuya hanya
melambaikan tangan.
Setelah
cukup lama istirahat, Yamada mulai mengeluarkan peralatan melukisnya. Yamada
melukiskan beberapa pola di kanvas. Namun belum sempat lukisan tersebut
selesai, Yamada sudah merobeknya dan meremuknya menjadi sebesar genggaman.
Berpuluh-puluh
bola kertas bekas remukan Yamada berserakan di lantai, dan belum satu lukisan
utuh pun Yamada hasilkan.
“Kau
takkan pernah menghasilkan sesuatu dengan emosi.”Yuya mengumpulkan kertas yang
berserakan satu per satu.
“Aku
tidak emosi.”jawab Yamada dengan nada datar.
“Matamu
mengatakan sebaliknya,”sambung Yuya,”pulanglah. Tenangkan dirimu.”
-FLASHBACK
END-
“Menyerahlah.”Ibu
Yamada membuka pintu kamar Yamada dan duduk di sebelah Yamada yang tengah tertelentang
menghadap langit-langit.
“Oka-san,
maafkan aku.”Ucap Yamada pelan.
“Selesaikan
sekolahmu. Nanti jika kau sudah bekerja, lanjutkan lagi hobimu itu.”Ibu Yamada
mengelus lembut kening Yamada.
Yamada
bangkit dan duduk menghadap ibunya. “Oka-san, aku tak ingin mengecewakan
kalian. Tetapi aku sungguh tak bisa.” Desahnya berat.
Ibu
Yamada merangkul Yamada,dan menenggelamkan Yamada ke dalam pelukannya. Yamada
tak bisa menahan tangisnya. Ditumpahkannya semua air mata yang selama ini
ditahannya, pundaknya yang terasa sangat berat menjadi sedikit lebih ringan.
***
Langit
pagi yang cerah memayungi kota Tokyo,polesan awan biru menghiasi langit bersama
hangatnya mentari. Akhir pekan yang indah. Yamada yang baru selesai mandi
langsung turun dari kamarnya ketika mencium aroma menggoda yang berasal dari
dapur. Ibunya sudah memasakkan sup ikan kesukaan Yamada, sedangkan ayahnya
sudah pergi ke tempat kerabat sejak jam tujuh pagi.
Sekarang
Yamada adalah anak semata wayang di rumah ini, harapan satu-satunya bagi
keluarga Yamada. Yamada sebenarnya memiliki seorang adik perempuan, yang
bernama Yamada Shizuka. Tetapi adiknya telah meninggal empat tahun lalu karena
penyakit Leukimia.
“Oka-san,
oka-san adalah koki terhebat di dunia.” Puji Yamada sambil mengancungkan jempol
kirinya.
“Benarkah?
Kau tidak akan seperti itu lagi ketika kau menikah kelak.” Ibu Yamada
menuangkan minum untuk Yamada.
“Istriku
nanti harus hebat memasak, tetapi tidak akan lebih hebat dari oka-san.” Ujar
Yamada sambil meneruskan sarapannya.
“Ah,kau
ini bisa saja. Kau mau meminta uang jajan lebih?”tanya ibu Yamada sambil
tersenyum.
Setelah
sarapan, Yamada mengenakan sweaternya dan meraih tas kecilnya.
“Oka-san,aku
pergi sebentar. Tiga jam lagi aku akan kembali” teriak Yamada sambil memakai sepatu
sneakersnya.
Tanpa
menunggu jawaban dari ibunya, Yamada langsung menutup pintu dan segera pergi.
“Selamat
pagi.”Sapa Daiki yang sedang merangkai bunga.
“Selamat
pagi.”Balas Yamada.
“Kau
sendiri?,”tanya Daiki,”biasanya kau bersama Ryutaro.”
“Ah,
tidak,” jawab yamada,”oh iya, Dai-chan. Lukisan wanita itu cantik sekali.”
Yamada menunjuk Lukisan wanita yang dipandangnya kemarin.
“Dia
sahabat oka-san.”
“Benarkah?
Kemampuan melukismu semakin menakjubkan Dai-chan.”
“Itu
bukan lukisanku. Lukisan itu sudah lama disimpan oleh oka-san di gudang,
daripada rusak lebih baik kubawa kesini.” Daiki menjelaskan.
“Lalu,siapa
yang melukisnya dan dimana wanita itu sekarang?”
“Entahlah,
aku tidak tahu,”jawab Daiki,”Oka-san pernah mengatakan bahwa di sudah meninggal
kurang lebih 19 tahun lalu”
“Maafkan
aku dai-chan. Aku tidak bermaksud,” ujar Yamada pelan.
Lama
sekali Yamada memandang Lukisan itu. Diperhatikannya setiap garis yang terukir,
dan setelah diteliti dia menemukan inisial JY disudut kiri bawah. Tulisan itu
benar-benar kecil, bahkan hampir tidak terlihat.
“Lukisan
ini benar-benar menghipnotismu.” Daiki menepuk pundak Yamada dan membuyarkan
konsentrasinya.
“Ya.
Lukisan ini amat menarik. Kau lihat tulisan JY disudut kiri itu.” Yamada
menunjukkan letak tulisannya.
“Kurasa
itu nama pelukisnya. Karena nama wanita itu Illana Ishioka.”
Yamada
menangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan tersebut.
“Dai-chan,
aku harus pulang,”Yamada memandang arlojinya,”aku sudah berjanji kepada oka-san
akan kembali dalam tiga jam.”
“Baiklah
kalau begitu, berhati-hatilah dijalan.” pesan Daiki.
Selama
di perjalanan, Yamada terus memikirkan lukisan wanita itu. Senyumnya yang
dingin seperti memendam sesuatu, dan bajunya yang hitam. Parasnya sangat cantik
tetapi Yamada merasa ada sesuatu yang lain yang terus menariknya.
Sesampainya
dirumah Yamada mendekati ibunya yang sedang mengupas buah dan menonton
televisi.
“Oka-san,
aku membutuhkan akta kelahiran untuk difotokopi sebagai persyaratan untuk
mengikuti ujian tahun depan.”Yamada berbicara pelan pada ibunya.
“Ambillah
di laci meja, dikamar.”Ujar ibunya sambil menunjuk kamar utama yang digunakan
orang tuanya.
Yamada
mencari-cari berkas keluarga. Dibukanya satu per satu. Yamada menemukan kertas
yang di carinya,buku nikah orang tuanya dan beberapa berkas lain. Namun ada
sebuah tanggal yang membuat Yamada lemas seketika, tangannya bergetar hebat.
Semua
kertas yang di pegangnya berjatuhan di lantai, dan satu foto ikut terjatuh.
Foto seorang wanita yang sama persis dengan lukisan yang di pelototinya
beberapa waktu lalu, mengenakan kemeja hitam yang sama. Dipandangnya dengan
pasti foto tersebut, wanita berambut panjang dengan wajah sendu dan lembut.
Apa
ini? Bagaimana mungkin terjadi?mengapa ada foto wanita ini?
Batin
Yamada bergemuruh.
“Dapat?”
Tanya ibu Yamada dari balik pintu.
Ekspresi
wajah ibunya langsung berubah seketika ketika melihat kamarnya. Bukan kamar
yang berserakan yang membuat ibunya cemas, mendapati anaknya memegang foto
seseorang-lah yang membuat ibunya hampir lemas seketika.
“Oka-san,
bagaimana mungkin?,”tanya Yamada,”aku lahir tanggal 9 mei 1993, tetapi kalian
menikah bulan januari 1994.”
“Yama-chan,
anakku.”Suara ibunya tertahan oleh isakan tangis.
“Oka-san,apa
arti ini semua?”
Ibunya
terdiam,namun matanya tak berhenti mengalirkan air mata. Mata Yamada menatap
nanar ke arah ibunya meminta penjelasan.
“Kau
memang bukan anak ibu. Tetapi, demi Tuhan. Ibu sangat menyayangimu,”ujar Ibunya
dengan suara yang terisak.
Sekarang
air mata Yamada yang tertumpah ruah, berulang kali Yamada menepuk-nepuk dadanya
yang sesak seperti ditimpa dengan batu ribuan ton.
“Lalu…,”ujar
Yamada dengan sangat pelan.
“Wanita
difoto itu adalah ibumu, namanya Illana Ishioka. Dia meninggal dalam kecelakaan
ketika kau masih berumur lima bulan. Oka-san sungguh tak bermaksud
menggantikannya, namun saat itu kau masih sangat kecil dan butuh seorang ibu.
Illana-chan adalah sahabat ibu sejak kecil. Ibumu meninggal ketika dalam
perjalanan untuk membeli peralatan melukis bersama ayahmu. Sejak saat itu,
ayahmu sangat membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan lukisan. Kau
berbakat melukis bukanlah tanpa alasan, darah ayahmu-lah yang telah
mewariskannya.” Jelas Ibunya sambil menahan beban yang tak kalah menyesakkan
dengan yang dialami Yamada saat ini.
Membuka
luka lama bukanlah hal yang indah untuk dikenang. Hal yang sudah ditutupi
selama sembilan belas tahun,akhirnya harus terungkap. Memang tak ada yang lebih
kuat dari hubungan ibu dan anak, bahkan alam pun tak mampu menghalanginya.
“Tolong
jangan membenciku,karena aku bukan ibu kandungmu,” suara ibunya terdengar
memohon.
“Oka-san
adalah ibuku satu-satunya, oka-san yang paling hebat.” Yamada memeluk ibunya.
“Cepat
bereskan semua ini. Jangan sampai oto-san tahu bahwa kau sudah membukanya,”
ibunya membereskan kertas yang berserakan,”oka-san tidak ingin dia kembali
menjadi seperti dulu. Selalu menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi.”
Yamada
dan ibunya merapikan kembali berkas-berkas dan mengembalikan ke tempatnya semula.
Mereka keluar dari kamar dengan mata sembab satu sama lain.
Berarti
JY itu adalah Jhonny Yamada. Ternyata oto-san sangat hebat.
Puji
Yamada dalam hati.
***
“Chinen,dimana
aku bisa membeli otak sepertimu?” Tanya Yamada pada Chinen yang sedang asyik
menikmati es krim vanillanya.
“Ne,mengapa
Yamada? Mana ada toko yang menjual otak.” Jawab Chinen sambil tersenyum kecil.
“Mungkin
otou-san akan bangga bila memiliki anak yang cerdas sepertimu, bukan sepertiku
yang hanya bisa membuat masalah.” Yamada menoleh ke arah Chinen.
“Yama-chan,
aku justru ingin memiliki bakat melukis sepertimu. Semua orang memiliki bakat
di bidang masing-masing, syukuri saja apa yang kau miliki saat ini.” Ujar
Chinen sambil menatap lekat ke arah wajah Yamada.
Yamada
terdiam sejenak memperhatikan wajah polos Chinen yang seperti tidak memiliki
masalah sama sekali. Beberapa waktu terakhir Yamada sering menghabiskan akhir
pekannya bersama Chinen, karena Keito,Yuto dan Hikaru sibuk membantu orang
tuanya.
Sepanjang
jalan yang Yamada dan Chinen lalui hanyalah outlet-outlet pakaian. Toko-toko
besar yang berjajar di pinggir jalan bersebelahan dengan gedung-gedung pencakar
langit yang menjulang.
“Hey,
yama-chan,” panggilan Chinen menghentikan langkah Yamada.
“Ada
apa?” Tanya Yamada.
“Perhatikan
ini.” Chinen menirukan raut wajah menaken-menaken yang berada di etalase toko.
Chinen
menggembungkan pipinya sambil memelototkan matanya. Dia berpindah ke hadapan
menaken di sebelahnya, berpose dengan tangan kanan di leher dan tangan kiri di
pinggang. Chinen berusaha semirip mungkin dengan menaken-menaken tersebut.
Yamada yang melihat tingkah Chinen tersenyum geli, sedangkan orang-orang yang
berlalu lalang menatap mereka dengan tatapan aneh.
“Hentikan.
Kau tidak lihat, mereka memandangimu dengan tatapan aneh.” Yamada menarik
tangan Chinen dan melanjutkan perjalanan mereka.
“Mengapa?
Kau malu?” Tanya Chinen.
“Bukan
malu, aku hanya risih. Lagipula jika kau benar-benar menjadi menaken, aku tidak
akan membeli bajunya tetapi aku akan membelimu. Membawamu pulang dan kujadikan
teman tidurku untuk dipeluk.” Yamada memeluk Chinen seolah-olah Chinen itu
bantal gulingnya.
“Ah,
hentikan. Sekarang justru kau yang kelihatan aneh.” Chinen bergidik dan
mempercepat langkahnya. Yamada menyusul Chinen sambil tersenyum kecil.
Yamada
mengantarkan Chinen ke halte bis. Setelah memastikan Chinen menemukan bis yang
tepat, Yamada pulang ke rumah yang jaraknya hanya beberapa blok dari halte bis.
Sesampainya
di pekarangan rumahnya yang tidak begitu luas, Yamada duduk di ayunan kayu yang
dibuat ayahnya ketika dia masih kecil. Terbayang kembali oleh Yamada ketika dia
dan ayahnya bermain gelembung sabun dan tembak-tembakan air. Yamada kecil
dikejar ayahnya, sementara Yamada berlari di antara rimbunnya pepohonan di dekat
pagar.
Sudah
beberapa tahun ini Yamada tidak begitu akur dengan ayahnya, bahkan ketika makan
bersama tak banyak yang dia bisa bicarakan dengan ayahnya. Yamada sangat
merindukan ayahnya yang dulu.
Yamada
melangkahkan kakinya ke dalam rumah, belum sempat Yamada melepaskan sepatunya,
ia melihat ayahnya dengan dua tangan di pinggang dan mata yang menyeramkan
berdiri di hadapannya.
“Kau
dari galeri itu lagi?”Tanya ayah Yamada.
Yamada
tak menjawab sepatah kata pun.
“Oh,
kau mulai bisu sekarang.” Sambung ayah Yamada sambil menepuk pelan bibir
Yamada.
“Memangnya
mengapa kalau aku dari sana?” Tanya Yamada dengan nada agak sedikit menantang.
“Sudah
berapa kali ayah katakan jangan pergi kesana lagi, apa perlu peringatan itu
ayah tulis dengan spidol di keningmu.”
“Mengapa
oto-san sangat benci jika aku melukis, bukankah oto-san dulu seorang pelukis?”
Yamada melemparkan wajah sinis ke ayahnya.
Ayah
Yamada terdiam sejenak, menundukkan wajahnya dan menggenggam kuat kepalan
tangannya. Ayah Yamada kembali mensejajarkan wajahnya dengan Yamada, kali ini
wajahnya lebih marah dari sebelumnya.
“Mengapa?
Ada yang salah dari ucapanku?” Yamada kembali menantang ayahnya.
“Kau
ini…,” ayah Yamada ingin mendaratkan tamparan dari tangan kanannya di wajah
Yamada, tetapi kali ini Yamada dengan sukses menangkisnya.
“Oka-san
sudah menceritakan semuanya. Siapa itu Illana Ishioka?” Yamada menatap dalam
wajah mata ayahnya.
Pertanyaan
Yamada membuat ayahnya bergidik emosi.
PPPPLLLLLLAAAAAAKKKK…
Tamparan keras mendarat di wajah kanan Yamada.
“Tak
usah kau sebut lagi wanita itu.” Bentak ayah Yamada.
“Mengapa?
Mengapa karena kelalaian ayah, aku yang mendapat imbasnya. Coba ayah pikirkan,
apakah oka-san di surga akan senang jika mengetahui perlakuanmu terhadapku. Itu
salahmu, mengapa kau membagi dosanya bersamaku, dengan menghukumku sekian
lama.” Yamada mengeluarkan semua kata-kata yang selama ini ditahannya.
“Aku
tak pernah menghukummu,aku hanya menyuruhmu berhenti melukis dan kau bebas
mencari kegiatan yang lain.” Nada suara ayah Yamada meninggi.
“Itu
sama saja dengan membunuh karakterku.” Yamada pergi dan membanting daun pintu
dihadapan ayahnya.
Ayah
Yamada memandang kepergian anaknya dengan emosi yang membuncah. Ada sedikit
sesal dan kesal terselip disana.
BBBBRRUUUUUUUUKKKKKKK…
Tiba-tiba
terdengar suara sesuatu terjatuh dan dencitan mobil yang mengerem mendadak dari
jalan raya di depan rumah.
-
Yamada
membuka matanya perlahan, dilihatnya cahaya terang menerangi ruangan yang tidak
terlalu besar itu.
“Kau
sudah bangun.” Ujar seorang wanita dengan jas putih, lengkap dengan stetoskop
di yang melingkar di lehernya.
“ini
pasti rumah sakit.” Gumam Yamada lirih sambil mengingat-ingat kejadian terakhir
yang di alaminya. Terbayang kembali oleh Yamada bagaimana raut wajah ayahnya
ketika dia membanting daun pintu dan menyebrang jalan dalam keadaan kalut,
sebuah mobil mercedes berwarna merah tiba-tiba datang lalu menyerempetnya.
Setelah itu Yamada tidak mengingat apa-apa.
“Beristirahatlah,
besok kau sudah boleh kembali ke rumah.” Ujar dokter wanita tersebut sambil
tersenyum. Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, dokter tersebut meninggalkan
Yamada sendiri di kamarnya.
Bau
obat menyeruak terbawa angin ketika dokter tersebut membuka pintu, tak lama
setelah dokter tersebut pergi masuklah ibu Yamada membawa sekeranjang
strowberry dan meletakkannya di meja di samping ranjang Yamada.
“Badanmu
sakit?” Tanya ibu Yamada sambil menyelimuti Yamada.
“Tidak
oka-san, badanku hanya terasa kaku karena sudah lama tidak digerakkan.” Jawab
Yamada sambil menggerakkan tangannya.
“Ibu
akan pulang sebentar untuk mengambil baju gantimu, nanti oto-san yang akan
menjagamu disini.” Ujar ibu Yamada.
“Oka-san
pulang saja, aku tidak apa-apa sendirian. Lagipula oka-san harus beristirahat.”
Yamada menggenggam tangan ibunya.
Ibu
yamada menangguk kecil mendengar ucapan Yamada. Ibu yamada memandangi wajah
anak yang telah diasuhnya sejak kecil, anak yang di ajarinya berjalan tetapi
sekarang terbaring lemah di rumah sakit. Ibu Yamada menahan air mata sebisanya.
“Oto-san
membelikanmu ini.” Ibu Yamada menyodorkan beberapa kantong barang belanjaan.
Ayah
Yamada datang dari luar ruangan mendekati Yamada. Guratan-guratan terlihat
semakin jelas di wajahnya yang kian menua. Ibu Yamada meninggalkan Yamada
bersama ayahnya di dalam ruangan, memberikan sedikit waktu untuk berbicara.
Yamada membuka kantong belanjaan yang di berikan ibunya. Ada beberapa kuas
baru, beberapa kaleng cat minyak dan sebuah buku sketsa berukuran sedang.
“Maafkan
ayah.” Ayah Yamada menatap Yamada dengan tatapan menyesal.
“Tidak
oto-san, aku yang seharusnya meminta maaf.” Yamada bangkit dari ranjang dan
memeluk ayahnya.
Tangis
haru menghiasi ruangan berukuran 4×4 meter tersebut. Ibu Yamada yang mengintip
dari luar ruangan juga tak mempu membendung air matanya. Ayah Yamada yang
berhasil menekan dalam-dalam ke egoisannya dan Yamada yang menyesal atas semua
perkataan yang terlntar dari bibirnya.
“Sudahlah
jangan menangis, nanti ketampananmu hilang.” Ayah Yamada menghapus air mata
yang membasahi wajah anak laki-lakinya itu.
“Ah,wanita
tetap akan mencintaiku meskipun wajahku seperti ini.” Ujar Yamada smbil
tersenyum kecil.
“Tentu
saja, kau beruntung mewarisi ketampanan ayahmu ini.” Sambung ayah Yamada sambil
merapikan kerah bajunya.
Yamada
tertawa melihat tingkah ayahnya yang terlalu percaya diri, sedangkan ayah
Yamada memandang dengan pasti wajah putranya yang sudah lama sekali tak dihiasi
tawa lepas seperti itu.
“Parents
or passion is false,Parents and Passion is the truth.
Hidup
bukanlah untuk mengungkap rahasia, tetapi mempersiapkan dirimu setelah rahasia
tersebut terungkap”
**-END-**
Writer
Desire :
Ini
karya saya yang pertama saya ikutkan dalam lomba. Saya hanyalah penulis
fanfiction amatir, maaf jika banyak kata-kata yang tidak bisa dimengerti.
Senangnya bisa berpartisipasi dalam project ini \(^o^)/… do’aku untuk Yamada
Ryosuke, semoga di usia yang baru dia semakin rendah hati,tidak sombong, makin
cakep dan semoga temennya yang bernama Morimoto Ryutaro cepat balik ke HSJ lagi
dan semoga dia makin unyu & makin sehat…
Untuk
Ryo jangan pernah lupa sama Fans yah… oh iya, maaf ya kalau Quotes yang terakhir
rada maksa, saya bukan mario teguh yang bijaksana atau penyair yang bisa
merangkai kata-kata indah ^^v
No comments:
Post a Comment