NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Oneshot] Life and secret





Title   : Life and secret

Cast   : Ryosuke Yamada as Ryosuke yamada

Other cast     : sembilan member Hey Say Jump.

Genre : Family and Friendship

Rating : General

Length         : Oneshot

Language      : bahasa Indonesia

Author         : Nikhe a.k.a BMR

- FB Link       : http://www.facebook.com/nikhe.salahlagi

- Twitter : https://twitter.com/NFmaknae

- Site Link     : http://kheybee.wordpress.com/

- Ichiban       : Morimoto Ryutarou

- Reason join this project:

        Dulu ichibanku Yamada Ryosuke.

        Aku ingin memberi sedikit hadiah untuk ultahnya Yamada Ryosuke

        Dan tertarik dengan hadiahnya.

Disclaimer     : semua jalan cerita ini milik saya dan dunia khayal saya. Morimoto Ryutarou milik author dan Tuhan semata. Sedangkan sembilan member lain adalah aset Jhonny Entertainment.

Saya yakin nggak akan ada yang mau nge-plagiat karya jelek ini.

Summary     : Parents or Passion?

A/N    : selamat membaca dan semoga kalian suka 


===>





“Aku pulang.” Yamada membuka pintu dan segera melepas sepatunya.

Kemana oka-san dan oto-san? Mengapa rumah ini lengang sekali.

Ujar Yamada dalam hati, matanya menatap liar ke seluruh penjuru ruangan.

Yamada berjalan pelan menuju ruang tengah, dilihatnya kedua orang tuanya sedang duduk saling berhadapan.

“Dari mana saja kau?,”bentak ayah Yamada sambil menatap Yamada dengan bengis,”kau tau ini jam berapa?”

Yamada terdiam. Ditatapnya jam dinding yang menunjukkan jam sebelas malam. Hatinya sibuk menerka-nerka bencana apa yang akan dia dapatkan malam ini.

“Istirahatlah dulu. Kau bahkan belum makan malam.”Ujar ibu Yamada sambil melepaskan tas yang disandang Yamada sejak tadi.

“Sudahlah bu,anak tidak tahu diri seperti dia jangan terlalu dimanjakan,” ayah Yamada menoleh ke arah isterinya,”ibu masuklah ke kamar.”

Belum sepatah kata pun terucap dari bibir Yamada. Yamada hanya memandang kepergian ibunya dari belakang.

“Apa ini?”ayah Yamada melemparkan sebuah amplop tepat ke wajah Yamada.

“I-itu,darimana oto-san mendapatkannya?”tanya Yamada gugup.

PLLAAKKK… tamparan keras mendarat di pipi kiri Yamada.

“Lagi-lagi kau berulah. Kau sudah ku sekolahkan, apa sulitnya hanya menjalaninya setiap hari?”Wajah ayah Yamada berubah menjadi merah padam.

Yamada terdiam, bibir bagian bawahnya berkedut tidak beraturan. Seribu kata ingin Yamada lontarkan, namun hati kecilnya menahannya.

“Ini ketiga kalinya sekolahmu mengirimkan surat panggilan orang tua dalam satu semester ini.”

“Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku tidak mau bersekolah disana” ujar Yamada sambil menatap wajah ayahnya.

“Lalu apa maumu? Bergumul dengan semua kanvas dan cat minyak itu?”

“Oto-san, tidak bisakah kau mengerti. Aku tidak menyukai semua hal tentang ekonomi – apa peduliku tentang saham;investasi;kreditor;utang;piutang – jiwaku diciptakan bukan untuk itu.”

“Kau benar-benar ingin melihatku cepat mati dengan semua tingkah lakumu.”

“Oto-san, aku tidak bisa menjadi pelampiasan semua cita-citamu yang tak bisa kau capai dimasa muda. Aku mempunyai mimpiku sendiri”

“Jadi kau menganggap bahwa kami menjadikanmu sebagai boneka? Begitukah maksudmu. Kami ini orang tuamu. Tapi sayang,hanya kami yang menyayangimu. Sedangkan kau…”

“Oto-san aku memang tak pandai mengungkapkan semua perasaanku, tetapi percayalah bahwa aku sangat mencintai kalian.” Air mata Yamada mengalir dari kedua matanya yang bening.

“Dengan semua tingkah lakumu yang seperti ini?” ayah Yamada mengambil amplop dan mengibas-ngibaskannya ke pipi Yamada.

“Oto-san, aku sangat ingin membuat kalian bangga dengan caraku sendiri.” Yamada menggenggam pergelangan tangan ayahnya.

“Enyahlah dari hadapanku,”ayah Yamada melepaskan genggaman Yamada,”aku tidak bisa menahan emosi ini lebih lama lagi.”

Yamada tahu pasti yang dimaksudkan oleh ayahnya. Yamada mengambil tasnya dari sofa dan berjalan gontai ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua.

-FLASHBACK-

Do you ever feel like breaking down,

Do you ever feel out of place,

Like somehow you just don’t belong and no one understand you,

Do you ever wanna run away,

Do you lock yourself in your room, with the radio on turn on so loud,

And no one hear you screaming,

No you don’t know what its like, when nothing feels allright,

You don’t know what it’s like to be like me,

To be hurt,to feel lost, to be left down in the dark,

To be kick when your down, to be like you’ve been push arround,

To be on the edge of breaking down, and no one there to save you,

No you don’t know what it’s like, welcome to my life.

“Kei-chan, permainan gitarmu semakin baik saja.”Puji Yamada sambil melemparkan senyuman ke arah Keito.

“Bahasa inggrismu juga semakin lancar”Keito balas memuji.

“Yuto-chan dan Hika-chan belum kembali?”tanya Yamada sambil mengibas-ngibaskan dasinya.

“Entahlah, mengapa mereka lama sekali? Mereka hijrah atau membeli minuman sih?”Keito juga melempar tanya.

Ujung lorong di lantai empat sekolah ini, merupakan tempat paling nyaman untuk menghabiskan waktu istrirahat. Disana terdapat salah satu papan plafon yang agak longgar, tempat untuk menyembunyikan gitar. Angin yang sejuk dan suasananya sangat mendukung untuk dijadikan tempat bersantai. Tak jarang mereka tidur siang disana.

Yamada,Keito,Yuto dan Hikaru. Siapa yang tidak mengenal ke empat nama itu. Empat orang pembuat onar dan paling sering berurusan dengan bagian kesiswaan. Entah sejak kapan mereka mulai bersahabat. Keito,anak korban dari perceraian ke dua orang tuanya. Yuto, anak konglomerat yang kesepian. Hikaru, yang juga selalu ditinggal orang tuanya untuk urusan bisnis. Sedangkan Yamada, seorang anak yang tersesat dan salah memilih gerbong kereta kehidupan.

“Hey,kalian sudah lama menunggu?”Yuto melemparkan beberapa minuman soda pada Keito dan Yamada. Diikuti oleh Hikaru dibelakangnya yang memegang beberapa bungkus makanan ringan.

“Ah,kukira kau akan kembali lusa dari perjalananmu kekantin.”Keito menyindir Yuto dan Hikaru.

“Kami hanya menghilang beberapa menit dan kalian sudah merindukan kami?”Tanya Hikaru sambil menggigit kentang gorengnya.

“Benar sekali Hika-chan, ternyata pelet yang kita gunakan sangat ampuh.” Yuto membela Hikaru.

“Pelet, pelet apa? Pelet ikan. Oh iya, apakah kalian melihat guru statistik hari ini?” Tanya Yamada.

“Ya. Tadi kami melihatnya sedang makan siang di kantin.” Jawab Yuto.

“Ah, mengapa beliau harus masuk. Padahal aku sedang malas-malasnya belajar statistik.”Keluh Keito.

“Tetapi kita harus masuk, minggu lalu kita sudah tidak masuk berjamaah. Alasan apa yang akan kita berikan kali ini.” Sambung Hikaru.

“Ne,bilang saja kita akan melayat karena nenekmu meninggal Hika-chan.” Usul Yuto.

“Hish, kau ini. Apa kau lupa,kita sudah menggunakan alasan itu minggu lalu.”Yamada mendorong kepala Yuto.

“Kan yang meninggal minggu lalu neneknya, bilang saja kali ini yang meninggal kakeknya.”Keito juga mengajukan ide gilanya.

“Ne, mana mungkin nenek dan kakekku meninggal berurutan seperti itu,” Hikaru menatap horor ke arah Keito,”ah,sudahlah. Lebih baik kita masuk, lagipula kudengar hari ini akan diadakan ulangan.”

Dengan amat sangat berat hati, keempat siswa itu beranjak dari tempatnya. Ketika memasuki ruangan kelas,semua orang berkutat dengan buku dan pensilnya masing-masing. Tak terkecuali duo jenius yaitu Inoo Kei dan Chinen Yuri. Dua orang yang otaknya lebih encer dari cendol, lebih tajam dari pedang samurai dan mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Dua orang siswa itu selalu bersaing menduduki peringkat pertama, bagi mereka sekolah adalah medan pertarungan yang sengit untuk masa depan.

Ulangan dimulai,waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya adalah 120 menit. Yuto,Hikaru dan Keito menatap lekat-lekat ke arah lembaran soal yang dibagikan. Chinen dan Inoo tidak kehilangan fokus sedikit pun.

Sementara Yamada membolak-balikkan kertas ditangannya,tak ada satu soal pun yang dia mengerti.

Apa ini?kapan ini dipelajari? Aku harus mulai menjawab dari mana?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala yamada.

Suasana kelas yang hening ketika angin berhembus melalui beberapa jendela yang terbuka membawa hawa kantuk untuk Yamada. Perlahan-lahan kelopak matanya menutup, hanya dentang jam yang didengar Yamada. Dan perlahan suara itu menghilang.

PPPPLLLLLEEEEEEETTTTAAAAKKKKKK…

Bunyi sesuatu terjatuh dilantai mengagetkan Yamada. Yamada terbangun, dan mendapati semua mata tertuju padanya. Dilihatnya dari jarak dua meja, Yuto menunjuk ke lantai. Penghapus papan tulis telah mendarat dengan sukses.

“Isi absenmu,lalu keluarlah dari kelas ini.”Ujar seorang pria paruh baya yang disinyalir adalah guru mata pelajaran statistik.

Yamada terdiam sesaat, otaknya mencari jawaban – langkah tepat apa yang harus diambil.

“Permisi.” Yamada menundukkan badannya ke arah pria itu.

Yamada menarik nafas panjang ketika menuruni tangga,berjalan ke arah koridor dan mengambil perlengkapan melukisnya di loker. langkahnya terasa sangat ringan menuju gerbang sekolah, tetapi beberapa pemikiran berkecamuk dikepalanya. Sebelum kakinya meninggalkan gerbang, Yamada memandangi gedung sekolahnya yang besar. School of Accounting and Business. Salah satu sekolah terbaik di jepang.

Yamada tahu persis akibat yang akan ditanggungnya akibat ulahnya hari ini. Namun Yamada tidak peduli. Pukulan atau kata-kata kasar yang akan didengar dari mulut ayahnya,air mata yang akan ditumpahkan ibunya ketika malam menjelang. Semua itu adalah makanan sehari-hari bagi Yamada.

Yamada bukanlah tipe anak yang durhaka, tetapi memaksakan seekor bunglon menjadi seekor ular adalah sebuah hal yang mustahil.

Yamada berjalan menuju sebuah galeri seni,milik pelukis jalanan yang karyanya tak kalah bagus jika dibandingkan dengan pelukis terkenal.

“Hey,yama-chan kau pulang lebih awal hari ini.” Sapa seorang pria dengan tangan yang dipenuhi oleh tumpahan cat minyak.

“Iya Ryu-chan. Hari ini aku diusir oleh guruku.” Yamada menyandarkan badannya disebuah kursi kayu panjang.

“Lagi,” Ryutaro menghampiri Yamada dan duduk disampingnya,”ceritakan padaku apa yang terjadi?”

“Ah, sudahlah. Lupakan. Aku tak ingin membahasnya,”Yamada melemparkan pandangannya ke sebuah kanvas dengan gambar wanita diatasnya,”kau yang melukis itu Ryu-chan?”

“Bukan, itu lukisan yang dibawa Dai-chan pagi tadi.”

“Siapa wanita itu?”

“Entahlah. Dai-chan tidak mengatakan apa-apa.”

“Apakah dia sedang jatuh cinta?”

“Kurasa tidak.”

“Jarang sekali dia melukis seorang wanita.” Gumam Yamada sambil memandang lukisan wanita berwajah sendu dan berambut panjang, mengenakan kemeja hitam.

Ryutaro membersihkan tangannya dari cat minyak yang meluber. Sedangkan Yamada membenamkan pikirannya sedalam mungkin, mencari jalan keluar dari semua kondisi yang terjadi.

“Ini, minumlah.” Ryutaro menyodorkan segelas wedang jahe hangat.”ini minuman khas dari Indonesia, baik untuk kesehatanmu.”

“Arigatou Ryu-chan.”Yamada menerima gelas tersebut dan langsung menyeruputnya.

Rasa hangat menjalar di setiap selah tenggorokan Yamada, sedikit melegakan sesak yang memenuhi dadanya.

“Sejak kapan kau disini?”Suara itu menyeruak memasuki ruangan. Seorang pria dengan wajah kokohnya dan topi hitam khas eropa era delapan puluhan membawa beberapa kantung belanjaan, berjalan ke arah dapur kecil yang terletak di sudut ruangan. Pria itu pendiri galeri sederhana ini sejak tiga tahun lalu, sebuah tempat pelarian bagi Yamada ketika tak ada tempat yang bisa menerimanya.

“Aku baru saja tiba Yuya-kun.”Jawab Yamada.

“Sepertinya harimu tidak berjalan dengan lancar.”Yuya mengeluarkan beberapa belanjaannya dan menyusunnya di rak.

“Kurang lebih begitu.” Yamada mengangguk pelan.

“Kau mungkin bisa berlari dari masalah yang mencekatmu. Tetapi, sampai kapan kau sanggup berlari?” Yuya menatap serius ke arah Yamada dari tempatnya.

“Aku hanya membutuhkan sedikit ruang untuk bernafas. Setelah aku siap, aku akan menyelesaikannya.” Yamada menatap kosong ke dalam gelas yang digenggamnya.

“Aku selalu menerimamu kapan pun kau mau kemari. Tetapi alangkah baiknya jika kau meneruskan langkah yang telah kau ambil, kau hanya butuh bertahan satu tahun lagi” ujar Yuya sambil meneruskan kegiatannya menyusun barang-barang di dapur.

“Aku sudah mati sejak dua tahun lalu. Aku tak tahu apakah aku masih sanggup melanjutkan semua ini.” Yamada kembali menyeruput minumannya.

Yuya tak bergeming sama sekali terhadap ucapan Yamada.

“Yuya-kun dan Yama-chan, aku harus pulang. Adikku sudah menunggu dirumah”Ryutaro memakai jaket dan syal birunya.

“Ya. Hati-hati dijalan, sampai jumpa besok.” Ujar Yamada. Sedangkan Yuya hanya melambaikan tangan.

Setelah cukup lama istirahat, Yamada mulai mengeluarkan peralatan melukisnya. Yamada melukiskan beberapa pola di kanvas. Namun belum sempat lukisan tersebut selesai, Yamada sudah merobeknya dan meremuknya menjadi sebesar genggaman.

Berpuluh-puluh bola kertas bekas remukan Yamada berserakan di lantai, dan belum satu lukisan utuh pun Yamada hasilkan.

“Kau takkan pernah menghasilkan sesuatu dengan emosi.”Yuya mengumpulkan kertas yang berserakan satu per satu.

“Aku tidak emosi.”jawab Yamada dengan nada datar.

“Matamu mengatakan sebaliknya,”sambung Yuya,”pulanglah. Tenangkan dirimu.”

-FLASHBACK END-

“Menyerahlah.”Ibu Yamada membuka pintu kamar Yamada dan duduk di sebelah Yamada yang tengah tertelentang menghadap langit-langit.

“Oka-san, maafkan aku.”Ucap Yamada pelan.

“Selesaikan sekolahmu. Nanti jika kau sudah bekerja, lanjutkan lagi hobimu itu.”Ibu Yamada mengelus lembut kening Yamada.

Yamada bangkit dan duduk menghadap ibunya. “Oka-san, aku tak ingin mengecewakan kalian. Tetapi aku sungguh tak bisa.” Desahnya berat.

Ibu Yamada merangkul Yamada,dan menenggelamkan Yamada ke dalam pelukannya. Yamada tak bisa menahan tangisnya. Ditumpahkannya semua air mata yang selama ini ditahannya, pundaknya yang terasa sangat berat menjadi sedikit lebih ringan.

***

Langit pagi yang cerah memayungi kota Tokyo,polesan awan biru menghiasi langit bersama hangatnya mentari. Akhir pekan yang indah. Yamada yang baru selesai mandi langsung turun dari kamarnya ketika mencium aroma menggoda yang berasal dari dapur. Ibunya sudah memasakkan sup ikan kesukaan Yamada, sedangkan ayahnya sudah pergi ke tempat kerabat sejak jam tujuh pagi.

Sekarang Yamada adalah anak semata wayang di rumah ini, harapan satu-satunya bagi keluarga Yamada. Yamada sebenarnya memiliki seorang adik perempuan, yang bernama Yamada Shizuka. Tetapi adiknya telah meninggal empat tahun lalu karena penyakit Leukimia.

“Oka-san, oka-san adalah koki terhebat di dunia.” Puji Yamada sambil mengancungkan jempol kirinya.

“Benarkah? Kau tidak akan seperti itu lagi ketika kau menikah kelak.” Ibu Yamada menuangkan minum untuk Yamada.

“Istriku nanti harus hebat memasak, tetapi tidak akan lebih hebat dari oka-san.” Ujar Yamada sambil meneruskan sarapannya.

“Ah,kau ini bisa saja. Kau mau meminta uang jajan lebih?”tanya ibu Yamada sambil tersenyum.

Setelah sarapan, Yamada mengenakan sweaternya dan meraih tas kecilnya.

“Oka-san,aku pergi sebentar. Tiga jam lagi aku akan kembali” teriak Yamada sambil memakai sepatu sneakersnya.

Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Yamada langsung menutup pintu dan segera pergi.

“Selamat pagi.”Sapa Daiki yang sedang merangkai bunga.

“Selamat pagi.”Balas Yamada.

“Kau sendiri?,”tanya Daiki,”biasanya kau bersama Ryutaro.”

“Ah, tidak,” jawab yamada,”oh iya, Dai-chan. Lukisan wanita itu cantik sekali.” Yamada menunjuk Lukisan wanita yang dipandangnya kemarin.

“Dia sahabat oka-san.”

“Benarkah? Kemampuan melukismu semakin menakjubkan Dai-chan.”

“Itu bukan lukisanku. Lukisan itu sudah lama disimpan oleh oka-san di gudang, daripada rusak lebih baik kubawa kesini.” Daiki menjelaskan.

“Lalu,siapa yang melukisnya dan dimana wanita itu sekarang?”

“Entahlah, aku tidak tahu,”jawab Daiki,”Oka-san pernah mengatakan bahwa di sudah meninggal kurang lebih 19 tahun lalu”

“Maafkan aku dai-chan. Aku tidak bermaksud,” ujar Yamada pelan.

Lama sekali Yamada memandang Lukisan itu. Diperhatikannya setiap garis yang terukir, dan setelah diteliti dia menemukan inisial JY disudut kiri bawah. Tulisan itu benar-benar kecil, bahkan hampir tidak terlihat.

“Lukisan ini benar-benar menghipnotismu.” Daiki menepuk pundak Yamada dan membuyarkan konsentrasinya.

“Ya. Lukisan ini amat menarik. Kau lihat tulisan JY disudut kiri itu.” Yamada menunjukkan letak tulisannya.

“Kurasa itu nama pelukisnya. Karena nama wanita itu Illana Ishioka.”

Yamada menangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan tersebut.

“Dai-chan, aku harus pulang,”Yamada memandang arlojinya,”aku sudah berjanji kepada oka-san akan kembali dalam tiga jam.”

“Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah dijalan.” pesan Daiki.

Selama di perjalanan, Yamada terus memikirkan lukisan wanita itu. Senyumnya yang dingin seperti memendam sesuatu, dan bajunya yang hitam. Parasnya sangat cantik tetapi Yamada merasa ada sesuatu yang lain yang terus menariknya.

Sesampainya dirumah Yamada mendekati ibunya yang sedang mengupas buah dan menonton televisi.

“Oka-san, aku membutuhkan akta kelahiran untuk difotokopi sebagai persyaratan untuk mengikuti ujian tahun depan.”Yamada berbicara pelan pada ibunya.

“Ambillah di laci meja, dikamar.”Ujar ibunya sambil menunjuk kamar utama yang digunakan orang tuanya.

Yamada mencari-cari berkas keluarga. Dibukanya satu per satu. Yamada menemukan kertas yang di carinya,buku nikah orang tuanya dan beberapa berkas lain. Namun ada sebuah tanggal yang membuat Yamada lemas seketika, tangannya bergetar hebat.

Semua kertas yang di pegangnya berjatuhan di lantai, dan satu foto ikut terjatuh. Foto seorang wanita yang sama persis dengan lukisan yang di pelototinya beberapa waktu lalu, mengenakan kemeja hitam yang sama. Dipandangnya dengan pasti foto tersebut, wanita berambut panjang dengan wajah sendu dan lembut.

Apa ini? Bagaimana mungkin terjadi?mengapa ada foto wanita ini?

Batin Yamada bergemuruh.

“Dapat?” Tanya ibu Yamada dari balik pintu.

Ekspresi wajah ibunya langsung berubah seketika ketika melihat kamarnya. Bukan kamar yang berserakan yang membuat ibunya cemas, mendapati anaknya memegang foto seseorang-lah yang membuat ibunya hampir lemas seketika.

“Oka-san, bagaimana mungkin?,”tanya Yamada,”aku lahir tanggal 9 mei 1993, tetapi kalian menikah bulan januari 1994.”

“Yama-chan, anakku.”Suara ibunya tertahan oleh isakan tangis.

“Oka-san,apa arti ini semua?”

Ibunya terdiam,namun matanya tak berhenti mengalirkan air mata. Mata Yamada menatap nanar ke arah ibunya meminta penjelasan.

“Kau memang bukan anak ibu. Tetapi, demi Tuhan. Ibu sangat menyayangimu,”ujar Ibunya dengan suara yang terisak.

Sekarang air mata Yamada yang tertumpah ruah, berulang kali Yamada menepuk-nepuk dadanya yang sesak seperti ditimpa dengan batu ribuan ton.

“Lalu…,”ujar Yamada dengan sangat pelan.

“Wanita difoto itu adalah ibumu, namanya Illana Ishioka. Dia meninggal dalam kecelakaan ketika kau masih berumur lima bulan. Oka-san sungguh tak bermaksud menggantikannya, namun saat itu kau masih sangat kecil dan butuh seorang ibu. Illana-chan adalah sahabat ibu sejak kecil. Ibumu meninggal ketika dalam perjalanan untuk membeli peralatan melukis bersama ayahmu. Sejak saat itu, ayahmu sangat membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan lukisan. Kau berbakat melukis bukanlah tanpa alasan, darah ayahmu-lah yang telah mewariskannya.” Jelas Ibunya sambil menahan beban yang tak kalah menyesakkan dengan yang dialami Yamada saat ini.

Membuka luka lama bukanlah hal yang indah untuk dikenang. Hal yang sudah ditutupi selama sembilan belas tahun,akhirnya harus terungkap. Memang tak ada yang lebih kuat dari hubungan ibu dan anak, bahkan alam pun tak mampu menghalanginya.

“Tolong jangan membenciku,karena aku bukan ibu kandungmu,” suara ibunya terdengar memohon.

“Oka-san adalah ibuku satu-satunya, oka-san yang paling hebat.” Yamada memeluk ibunya.

“Cepat bereskan semua ini. Jangan sampai oto-san tahu bahwa kau sudah membukanya,” ibunya membereskan kertas yang berserakan,”oka-san tidak ingin dia kembali menjadi seperti dulu. Selalu menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi.”

Yamada dan ibunya merapikan kembali berkas-berkas dan mengembalikan ke tempatnya semula. Mereka keluar dari kamar dengan mata sembab satu sama lain.

Berarti JY itu adalah Jhonny Yamada. Ternyata oto-san sangat hebat.

Puji Yamada dalam hati.

***

“Chinen,dimana aku bisa membeli otak sepertimu?” Tanya Yamada pada Chinen yang sedang asyik menikmati es krim vanillanya.

“Ne,mengapa Yamada? Mana ada toko yang menjual otak.” Jawab Chinen sambil tersenyum kecil.

“Mungkin otou-san akan bangga bila memiliki anak yang cerdas sepertimu, bukan sepertiku yang hanya bisa membuat masalah.” Yamada menoleh ke arah Chinen.

“Yama-chan, aku justru ingin memiliki bakat melukis sepertimu. Semua orang memiliki bakat di bidang masing-masing, syukuri saja apa yang kau miliki saat ini.” Ujar Chinen sambil menatap lekat ke arah wajah Yamada.

Yamada terdiam sejenak memperhatikan wajah polos Chinen yang seperti tidak memiliki masalah sama sekali. Beberapa waktu terakhir Yamada sering menghabiskan akhir pekannya bersama Chinen, karena Keito,Yuto dan Hikaru sibuk membantu orang tuanya.

Sepanjang jalan yang Yamada dan Chinen lalui hanyalah outlet-outlet pakaian. Toko-toko besar yang berjajar di pinggir jalan bersebelahan dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang.

“Hey, yama-chan,” panggilan Chinen menghentikan langkah Yamada.

“Ada apa?” Tanya Yamada.

“Perhatikan ini.” Chinen menirukan raut wajah menaken-menaken yang berada di etalase toko.

Chinen menggembungkan pipinya sambil memelototkan matanya. Dia berpindah ke hadapan menaken di sebelahnya, berpose dengan tangan kanan di leher dan tangan kiri di pinggang. Chinen berusaha semirip mungkin dengan menaken-menaken tersebut. Yamada yang melihat tingkah Chinen tersenyum geli, sedangkan orang-orang yang berlalu lalang menatap mereka dengan tatapan aneh.

“Hentikan. Kau tidak lihat, mereka memandangimu dengan tatapan aneh.” Yamada menarik tangan Chinen dan melanjutkan perjalanan mereka.

“Mengapa? Kau malu?” Tanya Chinen.

“Bukan malu, aku hanya risih. Lagipula jika kau benar-benar menjadi menaken, aku tidak akan membeli bajunya tetapi aku akan membelimu. Membawamu pulang dan kujadikan teman tidurku untuk dipeluk.” Yamada memeluk Chinen seolah-olah Chinen itu bantal gulingnya.

“Ah, hentikan. Sekarang justru kau yang kelihatan aneh.” Chinen bergidik dan mempercepat langkahnya. Yamada menyusul Chinen sambil tersenyum kecil.

Yamada mengantarkan Chinen ke halte bis. Setelah memastikan Chinen menemukan bis yang tepat, Yamada pulang ke rumah yang jaraknya hanya beberapa blok dari halte bis.

Sesampainya di pekarangan rumahnya yang tidak begitu luas, Yamada duduk di ayunan kayu yang dibuat ayahnya ketika dia masih kecil. Terbayang kembali oleh Yamada ketika dia dan ayahnya bermain gelembung sabun dan tembak-tembakan air. Yamada kecil dikejar ayahnya, sementara Yamada berlari di antara rimbunnya pepohonan di dekat pagar.

Sudah beberapa tahun ini Yamada tidak begitu akur dengan ayahnya, bahkan ketika makan bersama tak banyak yang dia bisa bicarakan dengan ayahnya. Yamada sangat merindukan ayahnya yang dulu.

Yamada melangkahkan kakinya ke dalam rumah, belum sempat Yamada melepaskan sepatunya, ia melihat ayahnya dengan dua tangan di pinggang dan mata yang menyeramkan berdiri di hadapannya.

“Kau dari galeri itu lagi?”Tanya ayah Yamada.

Yamada tak menjawab sepatah kata pun.

“Oh, kau mulai bisu sekarang.” Sambung ayah Yamada sambil menepuk pelan bibir Yamada.

“Memangnya mengapa kalau aku dari sana?” Tanya Yamada dengan nada agak sedikit menantang.

“Sudah berapa kali ayah katakan jangan pergi kesana lagi, apa perlu peringatan itu ayah tulis dengan spidol di keningmu.”

“Mengapa oto-san sangat benci jika aku melukis, bukankah oto-san dulu seorang pelukis?” Yamada melemparkan wajah sinis ke ayahnya.

Ayah Yamada terdiam sejenak, menundukkan wajahnya dan menggenggam kuat kepalan tangannya. Ayah Yamada kembali mensejajarkan wajahnya dengan Yamada, kali ini wajahnya lebih marah dari sebelumnya.

“Mengapa? Ada yang salah dari ucapanku?” Yamada kembali menantang ayahnya.

“Kau ini…,” ayah Yamada ingin mendaratkan tamparan dari tangan kanannya di wajah Yamada, tetapi kali ini Yamada dengan sukses menangkisnya.

“Oka-san sudah menceritakan semuanya. Siapa itu Illana Ishioka?” Yamada menatap dalam wajah mata ayahnya.

Pertanyaan Yamada membuat ayahnya bergidik emosi.

PPPPLLLLLLAAAAAAKKKK… Tamparan keras mendarat di wajah kanan Yamada.

“Tak usah kau sebut lagi wanita itu.” Bentak ayah Yamada.

“Mengapa? Mengapa karena kelalaian ayah, aku yang mendapat imbasnya. Coba ayah pikirkan, apakah oka-san di surga akan senang jika mengetahui perlakuanmu terhadapku. Itu salahmu, mengapa kau membagi dosanya bersamaku, dengan menghukumku sekian lama.” Yamada mengeluarkan semua kata-kata yang selama ini ditahannya.

“Aku tak pernah menghukummu,aku hanya menyuruhmu berhenti melukis dan kau bebas mencari kegiatan yang lain.” Nada suara ayah Yamada meninggi.

“Itu sama saja dengan membunuh karakterku.” Yamada pergi dan membanting daun pintu dihadapan ayahnya.

Ayah Yamada memandang kepergian anaknya dengan emosi yang membuncah. Ada sedikit sesal dan kesal terselip disana.

BBBBRRUUUUUUUUKKKKKKK…

Tiba-tiba terdengar suara sesuatu terjatuh dan dencitan mobil yang mengerem mendadak dari jalan raya di depan rumah.

-

Yamada membuka matanya perlahan, dilihatnya cahaya terang menerangi ruangan yang tidak terlalu besar itu.

“Kau sudah bangun.” Ujar seorang wanita dengan jas putih, lengkap dengan stetoskop di yang melingkar di lehernya.

“ini pasti rumah sakit.” Gumam Yamada lirih sambil mengingat-ingat kejadian terakhir yang di alaminya. Terbayang kembali oleh Yamada bagaimana raut wajah ayahnya ketika dia membanting daun pintu dan menyebrang jalan dalam keadaan kalut, sebuah mobil mercedes berwarna merah tiba-tiba datang lalu menyerempetnya. Setelah itu Yamada tidak mengingat apa-apa.

“Beristirahatlah, besok kau sudah boleh kembali ke rumah.” Ujar dokter wanita tersebut sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, dokter tersebut meninggalkan Yamada sendiri di kamarnya.

Bau obat menyeruak terbawa angin ketika dokter tersebut membuka pintu, tak lama setelah dokter tersebut pergi masuklah ibu Yamada membawa sekeranjang strowberry dan meletakkannya di meja di samping ranjang Yamada.

“Badanmu sakit?” Tanya ibu Yamada sambil menyelimuti Yamada.

“Tidak oka-san, badanku hanya terasa kaku karena sudah lama tidak digerakkan.” Jawab Yamada sambil menggerakkan tangannya.

“Ibu akan pulang sebentar untuk mengambil baju gantimu, nanti oto-san yang akan menjagamu disini.” Ujar ibu Yamada.

“Oka-san pulang saja, aku tidak apa-apa sendirian. Lagipula oka-san harus beristirahat.” Yamada menggenggam tangan ibunya.

Ibu yamada menangguk kecil mendengar ucapan Yamada. Ibu yamada memandangi wajah anak yang telah diasuhnya sejak kecil, anak yang di ajarinya berjalan tetapi sekarang terbaring lemah di rumah sakit. Ibu Yamada menahan air mata sebisanya.

“Oto-san membelikanmu ini.” Ibu Yamada menyodorkan beberapa kantong barang belanjaan.

Ayah Yamada datang dari luar ruangan mendekati Yamada. Guratan-guratan terlihat semakin jelas di wajahnya yang kian menua. Ibu Yamada meninggalkan Yamada bersama ayahnya di dalam ruangan, memberikan sedikit waktu untuk berbicara. Yamada membuka kantong belanjaan yang di berikan ibunya. Ada beberapa kuas baru, beberapa kaleng cat minyak dan sebuah buku sketsa berukuran sedang.

“Maafkan ayah.” Ayah Yamada menatap Yamada dengan tatapan menyesal.

“Tidak oto-san, aku yang seharusnya meminta maaf.” Yamada bangkit dari ranjang dan memeluk ayahnya.

Tangis haru menghiasi ruangan berukuran 4×4 meter tersebut. Ibu Yamada yang mengintip dari luar ruangan juga tak mempu membendung air matanya. Ayah Yamada yang berhasil menekan dalam-dalam ke egoisannya dan Yamada yang menyesal atas semua perkataan yang terlntar dari bibirnya.

“Sudahlah jangan menangis, nanti ketampananmu hilang.” Ayah Yamada menghapus air mata yang membasahi wajah anak laki-lakinya itu.

“Ah,wanita tetap akan mencintaiku meskipun wajahku seperti ini.” Ujar Yamada smbil tersenyum kecil.

“Tentu saja, kau beruntung mewarisi ketampanan ayahmu ini.” Sambung ayah Yamada sambil merapikan kerah bajunya.

Yamada tertawa melihat tingkah ayahnya yang terlalu percaya diri, sedangkan ayah Yamada memandang dengan pasti wajah putranya yang sudah lama sekali tak dihiasi tawa lepas seperti itu.

“Parents or passion is false,Parents and Passion is the truth.

Hidup bukanlah untuk mengungkap rahasia, tetapi mempersiapkan dirimu setelah rahasia tersebut terungkap”


**-END-**



Writer Desire :

Ini karya saya yang pertama saya ikutkan dalam lomba. Saya hanyalah penulis fanfiction amatir, maaf jika banyak kata-kata yang tidak bisa dimengerti. Senangnya bisa berpartisipasi dalam project ini \(^o^)/… do’aku untuk Yamada Ryosuke, semoga di usia yang baru dia semakin rendah hati,tidak sombong, makin cakep dan semoga temennya yang bernama Morimoto Ryutaro cepat balik ke HSJ lagi dan semoga dia makin unyu & makin sehat…

Untuk Ryo jangan pernah lupa sama Fans yah…  oh iya, maaf ya kalau Quotes yang terakhir rada maksa, saya bukan mario teguh yang bijaksana atau penyair yang bisa merangkai kata-kata indah ^^v




No comments:

Post a Comment