Chapter
Two: The World of Ruthlessness
Pelajaran
akan dimulai lima menit lagi. Aku duduk dengan wajah tak bersemangat di kursiku.
Kupandangi sekeliling kelas. Tak ada yang istimewa. Dan tak ada yang berubah.
Semuanya masih tetap sama. Banyak orang tapi aku merasa kesepian. Bukankah itu menyakitkan?!
Aku
hendak membuka buku Matematikaku ketika seseorang mendepakku dengan tasnya. Aku
menoleh. Setelah kutahu siapa orangnya, aku memutuskan untuk tidak
mempermasalahkannya lebih jauh. Orang itu berjalan menuju kursinya yang
terletak di depan.
“Selamat
pagi, Suke,” sapa seseorang padaku. Aku menoleh. Ayumi.
“Se-selamat
pagi,” jawabku pelan. Aku menunduk. Sekilas aku melirik ke arah Kou yang memandang
jijik padaku. Sepertinya dia ingin segera membunuhku.
Kitagawa-sensei,
wali kelasku masuk. Murid-murid seketika diam. Kitagawa-sensei berdehem.
Kemudian dia berkata.
“Bapak
menerima laporan bahwa ada siswa di kelas ini yang merokok. Maka dari itu Bapak
akan memeriksa tas kalian.”
Seketika
terdengar suara bisik-bisik riuh memenuhi ruangan kelas.
“Sudah
cepat, simpan tas kalian di atas meja!” perintah Kitagawa-sensei. Kami
menurut. Sensei memeriksa tas kami satu per satu, dan tak menemukan
apa-apa. Sampai Sensei berhenti di meja Kou dan Yuya.
“Apa ini?” Kitagawa-sensei
mengacungkan sebungkus rokok yang didapat dari tas Kou dan Yuya.
Kou dan Yuya terlihat kaget.
“I-ini pasti jebakan, Sensei,” ujar
Kou membela diri.
“Benar. Pasti ada seseorang yang memasukkan
rokok itu ke tas kami,” tambah Yuya.
Kitagawa-sensei menatap mereka
curiga.
“Sensei... Ini salah paham. Ini
pasti jebakan!” mereka berdua masih berusaha membela diri.
“Temui Bapak di ruang guru saat jam
istirahat,” hanya itu yang Kitagawa-sensei katakan.
Aku masih menatap mereka berdua. Ketika
mereka memandang tajam ke arahku, aku segera menunduk.
***
“Kou
dan Yuya dihukum,” Ayumi berbisik padaku saat pulang sekolah.
“Apa?”
Responku kaget.
“Iya.
Mereka di-skors dua minggu. Masih peringatan pertama. Kalau terbukti
seperti itu lagi, mungkin mereka akan dikeluarkan dari sekolah,” tambahnya.
“A-apa
benar?”
“Ya.
Kenapa kau terlihat khawatir seperti itu, Suke?” Ayumi memiringkan kepalanya
melihat ke arahku.
“Ah,
tidak.” Aku menggeleng. Berusaha menghindari kontak mata dengannya. Aku
berjalan menjauh darinya, namun dia terus mendekatiku.
“Suke.”
“Ya.”
“Aku...”
Ayumi menggantungkan ucapannya.
“Suke!
Kemana saja kau? Aku mencarimu tahu?!” Ryo berlari ke arah kami.
“Sudah
kubilang jangan pulang sendiri.” Ryo melirik Ayumi yang berdiri di sampingku. “Mentang-mentang
sudah punya pacar.”
Aku
gelagapan. “Bu-bukaan... Dia bukan pacarku. Kami hanya mengobrol sebentar. Aku
juga sedang menunggumu, Ryo. Benar,” aku nyengir.
Ayumi
tersenyum. Kemudian berkata, “Kalau begitu aku duluan. Sampai jumpa.”
“Um,”
aku mengangguk. Dia berbalik dan berlari kecil. Rambutnya yang dikepang dua
menari-nari.
“Apa dia cewek yang membuat Kou ingin
membunuhmu?”
“Hah?”
“Cari cewek lain saja. Kau kan tahu Kou
itu seperti apa.”
“Tapi...” aku berusaha membela diri.
Aku memang tidak ada apa-apa dengan Ayumi.
“Seharusnya kau sudah tahu resiko
mendekati cewek itu.”
“Ryo. Dia bukan...”
“Kecuali kau sudah bisa mengalahkan Kou
sendiri tanpa bantuanku.” Ryo kemudian berjalan mendahuluiku.
“Ryo,” aku berusaha mengejarnya.
“Setiap kau membuat masalah dengan Kou,
satu masalahku pun bertambah. Jadi kuharap kau jangan banyak membuat masalah!” tatapan
Ryo menusuk hatiku. Terlebih lagi ucapannya.
Banyak membuat masalah?
Ya, selama ini memang itu yang dia
pikirkan tentang aku. Pembuat masalah!
Aku tertunduk lagi. Bersedih atas
nasibku yang malang.
***
Seorang
laki-laki setengah baya duduk bersilang kaki di atas sofa besar yang empuk.
Sebatang cerutu dicapit di antara jari-jari tangannya. Sesekali dihisap dan
diketukkan ke atas asbak. Kumis tebalnya sebagian sudah memutih, begitu juga
rambutnya. Garis wajahnya tegas. Dan sepertinya otot senyumnya sudah lama tidak
dipakai. Kaku. Sama sekali tidak ada bekas senyuman di wajahnya. Hanya kesan
garang dan seram yang bisa dilihat dari laki-laki itu.
Tiga
orang laki-laki lainnya duduk berjajar di sofa tepat di hadapan laki-laki seram
itu. Dengan wajah tertunduk dan sesekali mencuri pandang pada laki-laki di
depan mereka.
Laki-laki
itu melepaskan cerutu dari mulutnya dan membentangkan tangan di sandaran sofa.
“Jadi, bagaimana?” dia membuka
percakapan.
“Anou...” Salah seorang dari
mereka membuka suara. “Maaf, Tuan,” suaranya terdengar lebih pelan.
“Sudah kuduga,” tukasnya. Diikuti tawa
hambar. “Kalian ini becus apa tidak?!”
“Maaf, Tuan. Akan kami usahakan lagi,”
Laki-laki yang mereka panggil ‘Tuan’
itu mendelik ke arah mereka. “Baiklah,” katanya. Dia mengubah posisi duduknya.
Menopangkan siku di kedua paha. Dia menunjuk-nunjuk ke arah tiga pemuda di
hadapannya dan melanjutkan, “tapi ingat! Upah yang kuberikan ini bukan sedikit.
Jadi kalian jangan main-main!” Dia mulai mengisap lagi cerutunya. Setelah
mengembuskan asap tebal dia berkata, “Kalau kalian sampai mengacaukan semuanya,
terima sendiri akibatnya!”
***
“Kau harus selalu waspada, Ryo. Kau
harus kuat. Mereka itu jahat. Bunuh mereka sebelum mereka yang membunuhmu!
Lindungi dirimu dan Suke!”
Aku tertegun menatap Okaasan
yang memegangi perutnya yang semakin mengeluarkan banyak darah. Tak ada yang
bisa kuucapkan saat itu. Tak juga ada yang bisa kulakukan selain menggigil
ketakutan. Suke masih terkulai tak berdaya di pelukan Okaasan. Badannya
berlumur darah. Darah Okaasan.
“Ingat pesan Okaasan, Nak.
Ingatlah. Jangan pernah percaya pada siapapun karena bisa saja mereka berniat
jahat padamu. Lindungi dirimu dan Suke, Ryo...” Aku mengangguk. Setelah
mengucapkan kata terakhirnya, Okaasan
tersenyum, kemudian terkulai di lantai. Tak bergerak.
Aku mencoba mendekatinya. Ragu-ragu
kudekatkan tanganku ke lehernya dan kupegangi pipinya.
“Okaasan,” panggilku. Dia tak
menyahut. “Okaasan,” ulangku sekali lagi. Kugoyangkan tubuhnya. Namun
sia-sia. Okaasan telah pergi. Meninggalkan aku dan Suke.
Aku menangis, tubuhku bergetar. Kulihat
orang itu – orang yang hendak menculik aku dan Suke, sudah kabur setelah
menusukkan pisau ke perut Okaasan.
***
To be continue
No comments:
Post a Comment