NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Series] Sacrifice (2/2)



–Sacrifice—

Yamada ditarik paksa oleh seorang wanita menuju sebuah tempat yang mengerikan. Tak ada seorang pun yang tahu tempat macam apa itu dan tak ada yang pernah melihat tempat itu sebelumnya.

====è

          Sejak kejadian itu, Yamada menjadi lebih pendiam dan suka menyendiri. Dia sering menatap langit dengan tatapan kosong. Pikirannya terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Amarah dari gadis itu tak jarang kembali terbayang olehnya.

Setelah Daiki dan Inoo menemukan Yamada di pinggir jurang, semua member Hey Say Jump menjadi sangat khawatir. Sebagian besar bertanya-tanya masalah apa yang menimpa Yamada. Namun tak ada yang berani membahasnya kembali, berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi adalah tindakan paling bijak untuk saat ini.

Ketika pelajaran usai, perjalanan pikiran Yamada belum juga menemukan titik temu. Semua siswa meninggalkan tempat satu per satu sedangkan Yamada tidak mengalihkan pandangannya dari langit biru di luar gedung sekolah. Langit biru itu mengingatkan Yamada pada sayap wanita yang ingin membunuhnya tempo hari.

“Yama-chan, kau baik-baik saja?” Yuto menyadarkan lamunan Yamada.

“Apa?” Yamada menoleh ke arah Yuto.

“Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana bekas lukamu, apakah masih sakit?” Yuto menarik lengan Yamada dan melihat lebam lukanya mulai menghilang.

“Ya. Aku baik-baik saja.” Yamada menepuk pundak Yuto.

“Ayo pulang.” Ajak Yuto.

“Ah, kau duluan saja. Aku ingin pergi ke suatu tempat.”

“Kau mau kemana? Aku ingin ikut. Kau tidak berpikir ingin bunuh diri lagi kan?” Yuto mengkhawatirkan Yamada.

“Tentu saja tidak. Kau pulanglah, nanti malam kita bertemu ditempat latihan.” Yamada memasukkan bukunya ke dalam tas.

“Baiklah kalau begitu. Jika kau membutuhkan teman hubungi saja aku, aku siap menemanimu.” Yuto menatap pasti ke mata Yamada.

Yamada berjalan menembus jalanan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang. Yamada melemparkan pandangannya ke semua arah berharap bertemu lagi dengan wanita bersayap biru itu. Pandangannya menelusup ke semua trotoar; toko-toko yang berdiri di pinggir jalan, bahkan sampai ke bawah pohon di depan gedung-gedung bertingkat.

Pencarian Yamada tidak sia-sia, dia melihat sosok gadis yang dicarinya. Gadis itu berada kira-kira seratus meter di hadapannya. Gadis itu duduk sendiri di bangku kayu sambil menikmati es krimnya, kali ini dia mengenakan gaun berwarna hitam. Sosoknya tidak kelihatan terlalu mencolok di antara orang-orang yang berjalan disekitarnya. Yamada sedikit berlari mendekati sosok itu.

Gadis itu berdiri dari tempat duduknya, dia mengerlingkan mata ke arah Yamada yang sedang berlari ke arahnya. Dia tersenyum kecil melihat pancingannya disambar oleh ikan yang diinginkannya.

“Hey,kau. Tunggu aku.” Teriak Yamada yang masih mempercepat langkahnya.

Wanita itu berjalan membelakangi Yamada. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Yamada berlari mengejar wanita itu, keringatnya meluncur deras di wajahnya. Nafasnya yang mulai sesak meminta untuk berhenti sejenak. Yamada berhenti di depan sebuah toko roti, mengatur nafasnya yang mulai tersengal-sengal. Aroma roti menarik perhatian Yamada, perutnya bergemuruh meminta diisi. Namun Yamada tetap harus fokus melanjutkan pengejarannya.

Yamada menatap lurus ke depan, namun sosok yang dicarinya telah menghilang.

“Sial. Dimana wanita itu?” Yamada mendengus kesal sambil menendang tiang yang berdiri di sampingnya.

Seribu cacian dan umpatan tertahan di mulut Yamada. Yamada memutar arah, dia berjalan menuju rumahnya. Hatinya masih kesal atas apa yang baru saja terjadi.



Dimana aku bisa menemuinya?

Ujar Yamada dalam hati.

Banyak sekali yang Yamada ingin tanyakan padanya. Mengapa gadis itu ingin membunuhnya? Kesalahan apa yang diperbuat Yamada di masa lalu sehingga dia diburu oleh monster cantik itu.

Yamada menyusuri jalan dengan hati gusar, namun sebisa mungkin Yamada meredam semuanya. Ketika di perempatan jalan, mata Yamada menangkap satu sosok yang tengah berdiri sambil menatap tajam ke arahnya.

“Yuuri.” Yamada mengalihkan perhatian keseberang jalan.

Yamada melihat Chinen Yuuri berdiri berseberangan dengannya. Pandangan Chinen seolah-olah sedang menguliti Yamada dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yamada bermaksud menghampirinya namun Chinen segera memalingkan wajah dan melanjutkan perjalanannya.



Ah, mungkin aku salah orang.

Gumam Yamada pelan.



***

“Apa yang kau lakukan beberapa hari ini?” Chinen mendekati Yuto yang tengah duduk kelelahan seusai latihan.

“Ketika di sekolah bukankah aku selalu bersama kalian.” Yuto mengelap keringatnya dengan handuk kecil.

“Lalu setelah itu?” Chinen mulai menginterogasi Yuto.

“Ah, sepulang sekolah. Aku menghabiskan waktu dirumah, aku baru saja membeli beberapa DVD baru. Kau mau ikut menonton?”

“Benarkah?” Chinen meragukan jawaban Yuto.

Yuto mulai menyadari arah pertanyaan Chinen. Yuto menenggak air mineralnya dan berusaha tenang.

“Tadi ketika pulang sekolah aku melihatmu menguntit Yamada dari jarak seratus meter dibelakangnya.” Chinen tak bisa berbasa-basi lebih lama lagi.

“Oh, jadi kau pria yang kulihat diseberang jalan itu.” Yuto menanggapinya dengan santai.

“Apa yang sebenarnya kau lakukan?”

Yuto menatap sinis ke arah Chinen. “Lalu, kau juga sedang apa disana?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Chinen menegaskan.

“Aku tak akan berdosa jika tidak menjawabnya.”

“Sejak kejadian Yamada ditemukan di pinggir jurang hari itu kau selalu berada di sekitar Yamada. Apa yang sedang kau rencanakan?”

“Apa maksudmu? Kau menuduhku?” Yuto menaikkan nada bicaranya.

“Aku tidak menuduhmu. Tetapi gerak-gerikmu terlihat sangat mencurigakan.” Chinen mengepal tangannya.

Perkataan yang dilayangkan Chinen membuat Yuto terdiam. Rona wajahnya berubah menjadi pucat.

“Itu bukan urusanmu.” Yuto bangkit dari tempat duduknya.

“Tentu saja itu urusanku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Yamada.” Chinen bangkit dan mencengkram erat kerah baju Yuto.

“Lepaskan. Kau tidak tahu apa-apa.”

“Lalu, apa yang kau ketahui?” Chinen menyergah Yuto.

Sergahan Chinen menyadarkan Hikaru dan Yamada yang sedang mencoba gerakan baru, sejurus kemudian mereka langsung mendekati Yuto dan Chinen. Mereka berusaha melerai Yuto dan Chinen yang sedang bersitegang.

“Sudahlah Chinen. Apa yang sedang kau lakukan?” Hikaru menarik tangan Chinen dari kerah baju Yuto.

“Yuto, tenanglah.” Yamada memegang pundak Yuto.

“Lepaskan.” Chinen membanting tangan Hikaru. “Yuto, katakan kepada kami apa yang sebenarnya kau ketahui?”

“Apa yang sedang kau bicarakan Chinen? Aku tidak mengetahui apa pun” Yuto memandang Chinen dengan tatapan datar.

“Berhenti berpura-pura, mengapa kau mengikuti Yamada sampai ke depan toko roti yang tidak jauh dari sekolah kita?”

“Tunggu dulu. Chinen, bagaimana kau bisa tahu kalau tadi sore aku berada disana? Apakah kau adalah pria yang kulihat diseberang jalan itu?”

“Lihatlah Yamada, dia sedang menjadikanku kambing hitam atas semua perbuatan yang dilakukannya.” Yuto memegang lengan Yamada.

“Apa yang kau lakukan disana Chinen?” Sambung Yamada.

Hikaru yang tak mengerti terhadap pembicaraan ini hanya bisa terdiam, melemparkan pertanyaan terhadap apa yang sedang terjadi juga akan sia-sia.

“A-aku, tidak melakukan apa-apa.” Jawab Chinen dengan gugup.

“Jangan-jangan, kau lah yang sedang menyusun rencana jahat.” Yuto menyerang Chinen.

“Tidak mungkin Yamada, aku tidak mungkin melakukannya. Yuto kau jangan mendoktrin Yamada seperti itu.” Chinen meyakinkan Yamada.

“Chinen, apakah kau mengetahui sesuatu tentang yang kualami beberapa hari yang lalu?” Yamada mensejajarkan pandangannya dengan Chinen.

“Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun.” Chinen berusaha sekeras mungkin memberi tameng di matanya, dia tak ingin Yamada mampu membaca apa yang ada di pikirannya.

“Apakah wanita itu suruhanmu?” Kali ini justru Yamada yang menuduh Chinen.

“Wanita? Wanita apa? Aku sama sekali tidak mengerti.” Chinen memundurkan kakinya selangkah.

“Katakan padaku. Apa yang sebenarnya kau ketahui? Apa kau sedang berusaha untuk membunuhku, haahhhh.” Yamada membentak Chinen.

“Yamada aku tidak percaya kau mampu menuduhku seperti itu. Aku kecewa padamu.” Chinen meraih tasnya dan segera pergi meninggalkan Yamada.

Yamada terduduk dilantai, pikirannya kembali mengambang.

“Yama-chan, kau baik-baik saja?” Hikaru merangkul Yamada.

Yamada mengangguk pelan. Tak lama, telepon genggam Yamada berdering. Panggilan masuk dari ibunya tertera di layar.

“Moshi moshi ka-chan.” Yamada segera mengangkat teleponnya.

“Yama-san..., oto-chan sekarang di rumah sakit. Oto-chan mengalami kecelakaan.” Ujar ibu Yamada dalam telepon dengan nada terisak.

Yamada langsung menutup teleponnya dan berlari ke luar ruangan tanpa mempedulikan Hikaru dan Yuto.

***

          Sebuah sinar berwarna putih pekat menyilaukan mata Yamada. Yamada menemukan dirinya berada di sebuah ruangan serba putih yang cukup luas, tak ada apa pun disana kecuali sebuah kursi berwarna hitam yang terletak di tengah-tengah ruangan. Dilihatnya seorang gadis terbang membelakanginya, dia memiliki sayap yang sama persis seperti yang dimiliki oleh Wanita misterius yang ingin membunuhnya tempo hari. Tetapi mereka adalah dua wanita yang berbeda.

Gadis dihadapannya kali ini memiliki mata dan senyum yang menawan, gaun putih panjang membalut tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang panjang tergerai dengan indah. Sayapnya yang putih bersih menambah keanggunannya.

“Hey. Kau siapa?” Yamada mendekati wanita itu.

Wanita itu berbalik sambil tersenyum kecil menghadap Yamada. “Kau lupa padaku?”

Yamada masih terdiam, menatap gadis itu dengan terpaku.

“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Yamada.

“Tidak hanya bertemu. Kita bahkan pernah bersama sebelumnya Ryosuke.” Jawab gadis itu lembut.

“Bersama? Ryosuke?”

“Wajahmu masih sama seperti yang dulu, tidak berubah sama sekali.” Wanita itu terbang mengitari Yamada.

“Tunggu, kau ini siapa? Apa kau ada hubungannya dengan wanita itu?” Yamada semakin bingung.

“Wanita?”

“Ya. Wanita sepertimu. Bedanya dia memiliki sayap berwarna biru.” Yamada menjelaskan.

“Sayap biru. Maksudmu Natsune?” Wanita itu agak terkejut.

“Entahlah. Apa kau mengenalnya?”

Wanita itu mengangguk pelan.

“Lelucon macam apa ini? Aku tidak mengenal kalian semua. Apa yang kalian inginkan dariku? Mengapa kalian mengusik hidupku?” Yamada menghujankan pertanyaan.

Yamada menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya, sedangkan wanita itu terdiam menatap Yamada yang mulai emosi.

“Aku hanya ingin mengembalikan ini.” Wanita itu memberikan sebuah kalung dangan bandul berbentuk bintang kepada Yamada. “Ryo, maafkan aku yang tak pernah bisa mencintaimu. Maafkan aku yang telah menyakiti hatimu sekian lama, aku tak pernah bisa berpaling dari Ryutaro meskipun seribu luka dia tanamkan di hatiku. Sungguh, maafkan aku. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.”

Yamada menggenggam erat kalung pemberian wanita itu. Setelah memberikan kalung, wanita itu terbang meninggalkan Yamada. Tiba-tiba, Kepala Yamada terasa amat berat.

“Auuuuuwwwwwwww…,” Yamada memegangi kepala dengan kedua tangannya.

Pusing yang teramat sangat tak mampu di tahan Yamada. Yamada menggelepar dilantai menekan sakit yang dirasakannya. Perlahan kepala Yamada mulai terasa ringan, rasa sakit itu tak lagi dirasakannya. Namun kepalanya seperti sedang memutar sebuah pertunjukan. Satu per satu ingatan Yamada kembali. Aspire; Ryutaro, dan semua tentang dirinya kembali masuk ke dalam memorinya. Dan kalung yang berada dalam genggamannya adalah kalung yang dibuatnya sendiri dari batu meteor, kalung yang akan diberikannya untuk seorang gadis. Nisuichi Mariya.

Yamada bangkit dan merentangkan kedua tangannya, lalu muncullah sepasang sayap dipundaknya. Yamada mengepakkan Sayapnya yang berwarna ungu pekat, dia terbang mencari jejak Mariya yang telah menghilang.

“Mariya…,” Yamada mengerahkan segenap suaranya.

Seluruh penjuru ruangan telah ditelusurinya namun Mariya telah benar-benar menghilang.

“Mariya.” Yamada menggenggam erat kalung di tangannya.

Yamada bersimpuh dilantai penuh sesal. Wanita yang dicintainya sekian lama kembali muncul di hadapannya tetapi dia sama sekali tidak mengenalinya. Yamada memukul kepalanya sendiri, menyadari kebodohannya. Rindu yang dirasakannya memenuhi relung hatinya. Sesak dirasakannya, menanggung rindu dan luka seorang diri. Yamada menangis meraung, melepaskan semua sesak yang dirasakannya. Tetapi sesak itu sama sekali tidak berkurang.

“Yama-san.” Ibu Yamada menggerak-gerakkan bahu Yamada.

“heh,” Yamada terbangun dari tidurnya,”Oka-chan. Mengapa oka-chan berada disini?”

Yamada masih belum menyadari bahwa semua yang baru di alaminya hanyalah sebuah mimpi.

“Tentu saja. Oka-chan akan menggantikanmu menunggui oto-chan.” Ibu Yamada memperbaiki selimut ayah Yamada yang tertidur pulas dibawah pengaruh obat bius.

Yamada menepuk-nepuk pipinya. Dilihatnya ayahnya terbaring lemah dengan masker oksigen yang terpasang dimulut dan hidungnya. Kepalanya dibalut beberapa perban, dan di tangannya terdapat selang infus.

“Pulanglah kau sudah menjaga ayahmu semalaman. Kau harus beristirahat, biar oka-chan yang akan menjaga ayahmu hari ini.” Ibu Yamada mengelus rambut anak kesayangannya itu.

“Baiklah oka-chan.” Yamada menuruti perintah ibunya.

Yamada memandangi wajah ibunya. Matanya sembab karena menangis semalaman, menangis mengkhawatirkan ayahnya. Yamada pilu melihat keadaan keluarganya, tetapi Yamada tidak boleh menangis. Yamada harus kuat. Jika Yamada lemah lalu siapa yang akan menguatkan ibunya. Yamada menelan ludah dan menahan air matanya.

Mariya. Nama itu kembali melintas ke dalam pikirannya. Aspire dan semua isi di dalamnya memenuhi rongga kepala Yamada. Bagaimana suasana malam itu ketika Ryutaro meregang nyawa dihadapannya. Namun Yamada berusaha untuk bersikap senormal mungkin, seakan-akan semua itu hanyalah mimpi semata.

Yamada berjalan menuju parkiran rumah sakit. Bau obat yang tak disukai Yamada harus mengganggu indera penciumannya. Ayahnya mengalami kecelakaan tadi malam, saksi mata yang membantu membawa ayahnya ke rumah sakit menuturkan bahwa mobil ayahnya menabrak salah satu pembatas jalan. Sebelum kecelakaan terjadi, mobil ayahnya telah berbelok seperti menghindari sesuatu. Tetapi polisi mengatakan bahwa itu adalah murni kecelakaan tunggal.

“Astaga. Aku meninggakan dompetku.” Ujar Yamada pelan.

Yamada berbalik arah menuju kamar yang ditempati ayahnya. Jarak beberapa ruangan dilihatnya seorang pria berdiri mengawasi ruangan ayahnya.

“Chinen, apa yang kau lakukan disini?” Yamada menepuk bahu Chinen.

“Eto,, A-aku ingin menjenguk ayahmu.” Chinen menjawab dengan gugup.

“Mengapa kau tidak masuk?”

“Ano, aku baru saja ingin masuk.” Chinen melemparkan senyum darurat kepada Yamada.

“Benarkah.” Yamada meragukan jawaban Chinen.

***

          Yamada berjalan gontai menuju rumahnya. Guratan-guratan sendu tak pernah lepas dari raut wajahnya, guratan yang menyembunyikan sejuta lelah dan luka. Matanya yang lembut menatap tajam ketika melihat seorang wanita berdiri di pagar rumahnya.

Yamada mempercepat langkahnya. “Natsune.” Geram Yamada.

“Oh, ternyata kau sudah mengingatku?” Natsune melemparkan senyum sinis.

Yamada mencengkram erat tangan Natsune. “Apa yang kau inginkan dariku?”

“Nyawa harus di bayar dengan nyawa.” Natsune menarik tangan Yamada.

Perjalanan waktu terulang kembali, kali ini semua terasa lebih cepat. Natsune bertransformasi ke wujud aslinya, tak jauh berbeda dengan Yamada yang juga ikut melakukan hal yang sama. Bertransformasi bukanlah hal yang sulit bagi Yamada karena di memang berasal dari makhluk Zhurema.

Natsune membanting Yamada ke tanah. Lapangan yang menjadi saksi bisu pertarungan dua sahabat berpuluh-puluh tahun lalu kembali menguapkan aroma darah yang kental. Langit hitam menjadi lebih pekat dibanding sebelumnya. Natsune terbang dengan pongah melihat Yamada yang tersungkur.

“Bagaimana rasanya melihat orang yang kau sayangi dalam keadaan sekarat?” Suara yang sangat di kenal Yamada menelusup malam.

Yamada mengepakkan sayapnya, menyejajarkan posisinya di udara. Dilihatnya dari kejauhan sesosok Zhurema terbang mendekat. Sayapnya yang berwarna kuning keemasan membias di udara.

“Yuto.” Mata Yamada terbelalak.

“Kau terkejut?” Yuto mengejek Yamada.

“Kalian.” Yamada masih tak mempercayai penglihatannya.

“Ya. Semua ini adalah rancangan kami.” Yuto menghampiri Natsune. “Kau kira kecelakaan yang menimpa ayahmu adalah kebetulan semata?”

“Kalian mempunyai urusan denganku, jangan pernah menyentuh bahkan menyakiti keluargaku.”

“Menyakitimu secara langsung sama sekali tidak menarik. Tetapi melihat ibumu menangis tersedu ketika malam dan melihatmu berlari ke rumah sakit memiliki kenikmatan tersendiri.” Natsune menambahkan.

“Kalian memang benar-benar tidak punya perasaan. Kalian jahanam.” Yamada mengancungkan telunjuknya ke arah Natsune dan Yuto.

“Lalu apakah kau punya perasaan, hah? Pernahkah kau memikirkan perasaan kami ketika kau membunuh kakakku? Taukah kau rasanya ketika aku melihat kakakku sekarat dan mati di pangkuanku?” Natsune menghantam Yamada dengan kilatan cahaya dari tangannya.

Yamada terpental beberapa meter ke belakang.

“Kau masih beruntung karena aku tidak langsung membunuh ayahmu, karena jika dia mati dengan cepat terlalu sedikit derita yang kau rasakan.”  Natsune kembali melemparkan cahaya api ke arah Yamada.

Yuto hanya berdiri sambil tersenyum melihat bahu Yamada yang terluka akibat serangan dari Natsune. Yuto sengaja membiarkan Natsune bermain-main dengan musuh kecil mereka.

Yamada bangkit dengan cepat lalu mendorong Natsune hanya dengan jentikan lembut dari cahaya di ujung jarinya. Kali ini Natsune yang tersungkur.

“Cihh, kau pulanglah. Disini bukan tempat anak perempuan, cuci tangan dan kakimu lalu segeralah tidur.” Yamada meremehkan.

Yuto terbang mendekati Yamada, Yuto mengibaskan Tangannya menciptakan hentakan besar yang tak mampu di tangkis Yamada.

“Kau mundurlah. Biar aku yang mengurus anak ini.” Teriak Yuto pada Natsune.

Natsune terbang menjauhi kakaknya. Memperhatikan dari jauh semua sejarah yang akan mulai diukir. Tangannya merogoh belati yang tersimpan dibalik pinggangnya. Natsune bersiap-siap akan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Yuto mencengkram kedua tangannya, menciptakan kilatan cahaya. Cahaya yang diciptakan Yuto terbang melesat menghantam Yamada. Yamada terpental lebih jauh dibanding sebelumnya. Terdengar erangan Yamada menahan sakit.

“Bangkitlah. Jangan bilang kalau hanya segini kekuatan yang kau miliki.” Yuto menatap liar ke arah Yamada.

Yamada kembali merentangkan sayapnya, Yamada melesatkan kilatan cahaya bertubi-tubi ke arah Yuto. Yuto terhempas ke tanah.

Yuto segera bangkit dari posisinya, dia mengepalkan tangannya untuk menciptakan serangan baru. Yuto menjulurkan kedua tangannya, cahaya keemasan meluncur deras ke arah Yamada. Yamada tak kalah sigap, Yamada membuat kilatan cahaya baru untuk menangkis serangan dari Yuto. Cahaya yang di ciptakan Yuto dan Yamada bertabrakan, kedua cahaya tersebut saling menerjang. Ledakan menggelegar yang memekakkan telinga memecah keheningan malam, cahaya tersebut naik menembus awan. Menimbulkan kilatan besar yang menerangi malam selama beberapa detik dan menghilang tanpa bekas.

Meskipun serangan Yuto berhasil di tahan Yamada, tabrakan dengan bentang cahaya menciptakan luka bakar di pundak kanan Yamada. Luka tersebut menyayat-nyayat kulitnya. Perih memang, namun semua itu tidak di pedulikan Yamada. Yuto yang terpental akibat bentang cahaya berhasil menyeimbangkan posisinya. Tak ada luka sama sekali yang melekat di tubuh Yuto.

“Jika hanya ini yang bisa kau lakukan, lalu dengan cara apa kau dulu membunuh adikku.” Suara Yuto memenuhi angkasa.

“Jangan salahkan aku jika kau akan mengalami nasib yang sama dengan adikmu.” Yamada mencengkram erat lukanya berharap rasa sakitnya segera sirna.

“Sombong sekali. Kita lihat saja.” Yuto membuang ludah.

“Dan kau Natsune, jangan sesali jika kakakmu ini akan mati konyol di pangkuanmu. Seperti kisah tragis yang di alami si bodoh Ryutaro.” Yamada mengingatkan.

Kata-kata Yamada membakar amarah Natsune. Natsune mengibaskan sayapnya, ribuan kilatan cahaya meluncur dan menghantam Yamada dengan telak. Yamada terhempas, bulu-bulu sayap Yamada berterbangan akibat terjangan tiba-tiba tersebut.

“Kau akan berakhir dengan jauh lebih menyedihkan di banding kakakku.” Natsune mendekati Yamada yang mulai lemas, di cengkramnya baju Yamada dan dihempasnya Yamada dengan tangannya.

Yuto tersenyum bangga melihat kemampuan adiknya.

Natsune melakukan serangan pamungkas. Dari tangan Natsune meluncurlah jutaan benang halus berwarna biru pekat ke arah Yamada yang masih terkapar di tanah, benang halus tersebut bersatu dan menciptakan kobaran-kobaran api yang menyembur menghantam dada Yamada. Yamada terdorong jauh ke belakang. Kobaran api tersebut membentuk kawah panjang berapi bekas seretan dari badan Yamada.

Yamada muntah darah, nafasnya tersengal hebat. Suaranya tercekat ketika Yuto menghampirinya. Matanya meminta belas kasihan. Tetapi amarah kakak beradik ini tidak terelakkan lagi.

Yuto meletakkan tangan kanannya di dagu dan tangan kirinya di ubun-ubun Yamada. Natsune menginjak-injak sayap Yamada tanpa perasaan. Natsune duduk disamping Yamada, dia mengangkat belati di atas dada Yamada dan siap menghujamkannya.

“Ketika aku akan mematahkan lehernya, hunuskan belati itu segera.” Yuto memberikan aba-aba.

Yamada hanya bisa pasrah, berharap keajaiban akan terjadi. Belum sempat kakak beradik itu melakukan pembunuhan itu, sebuah cahaya hitam menerjang mereka. Yuto dan Natsune terpelanting jauh.

“Sial.” Geram Yuto sambil bangkit.

“Sudah ku duga, kau lah dalangnya.” Sesosok Zhurema mendekati Yuto dengan sayap hitamnya.

“Oh. Ternyata kau Chinen, sang malaikat penjaga yang di kirim untuk Yamada selama di dunia.” Yuto memandang dengan tatapan tajam.

“Aku bukan hanya di utus untuk menjaga Yamada. Aku juga menjaga kalian berdua. Tetapi semua yang kau lakukan di luar prediksiku.” Chinen mendekati Yamada yang tak sadarkan diri.

“Pergilah. Ini bukan urusanmu.” Bentak Natsune.

“Natsune, kau masih terlalu muda untuk terlibat dalam masalah sepelik ini. Kau hanya menghabiskan waktumu dalam dendam tak berkesudahan.” Chinen merentangkan sayapnya mengangkat Yamada.

“Kau jangan ikut campur.” Natsune melecut kaki Chinen dengan sambaran api yang berkobar.

Yamada terlepas dari rangkulan Chinen. Chinen membalikkan badannya, dia mengibaskan sayapnya ke arah Natsune. Natsune terhempas beberapa meter.

Yuto langsung menciptakan lidah-lidah api dan mengalamatkannya pada Chinen. Chinen mengelak dengan cekatan. Chinen dengan cepat terbang ke hadapan Yuto.

“Aku tak mau ada yang tersakiti lagi. Hentikan sampai disini, tidak cukupkah yang di alami Yamada? Ayahnya sedang sekarat di rumah sakit, kondisinya sakarang tidak jauh lebih baik di banding ayahnya. Sedangkan ibunya bisa kau lihat sendiri dia tersiksa batin atas semua yang terjadi. Masih belum puaskah kalian?” Chinen mencoba menenangkan Yuto.

“Kau tidak tahu rasanya ketika melihat adikku mati di depan mataku sendiri. Kau tak akan pernah tau.” Yuto membuang muka.

“Lalu apakah Ryutaro akan kembali hidup jika kau membunuh Yamada?” Sergah Chinen.

Yuto terdiam, tertegun mendengar ucapan Chinen.

“Sudahlah. Pembalasan dendam hanya akan menciptakan dendam selanjutnya. Dendam ini takkan pernah ada habisnya. Apakah kalian akan mewariskannya pada anak cucu kalian?” Sambung Chinen.

“Kalau kakak tidak ingin melanjutkannya, biar aku yang akan menyelesaikannya.” Natsune melesat cepat mendekati tubuh Yamada.

Seketika Yuto terbang menghentikan Natsune. Tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Natsune. Natsune meronta, segala cara dilakukannya. Namun tenaganya belum mampu melawan Yuto.

“Hentikan.” Yuto membentak Natsune.“Tak ada gunanya kita membunuh si Yamada busuk itu. Kau hanya akan mengotori tanganmu.”

“Tidak. Kita tetap harus kembali ke rencana awal. Kau sudah berkorban banyak selama menjadi manusia, kak.” Bantah Natsune.

“Natsune. Dengarkan aku.” Yuto kembali membentak Natsune. “Semua hanya akan memperburuk keadaan. Jika kau membunuh Yamada, kau akan di buang ke dunia manusia. Aku tak ingin kehilangan seorang adik untuk kedua kalinya. Lagipula kau masih memilikiku dan Ryutaro juga tak akan senang melihat kau melakukannya.”

Natsune memeluk Yuto dan menangis haru dalam hangatnya kasih dari kakaknya.

“Kau ingat, dulu ketika kau masih kecil tanganmu terluka akibat terkena pecahan batu. Ryutaro marah besar akan kecerobohanmu. Lihatlah luka yang kau dapatkan akibat pertarungan tadi, apa yang akan dilakukan Ryutaro jika dia masih hidup.” Yuto mengelus lengan Natsune yang lebam.

“Mungkin dia tidak akan mengajakku bermain selama seminggu.” Natsune terkekeh.

“Menurutku dia tidak akan mengajakmu bicara selama sebulan.” Yuto tersenyum kecil.

Yuto dan Natsune terbang menembus malam, melintasi waktu dan kembali ke dunia. Chinen menarik nafas lega dan membawa Yamada ke balai pengobatan.

Atas kebijaksanaan petinggi Zhurema semua kejadian malam ini di maklumi dan di maafkan. Ingatan Yamada kembali di cabut akan semua yang dialaminya malam ini dan ingatannya tentang Natsune, tak terkecuali Mariya.

***

“Ayo semuanya. Mari kita lakukan yang terbaik.” Yamada memberi semangat sebelum memulai konser.

Senyum Yamada kembali lagi setelah ayahnya tesadar dari comma dan diperbolehkan beristirahat di rumah.

“Hey Say Jump.” Teriak Yuto; Yamada, Chinen, Ryutaro, Keito, Daiki, Inoo, Hikaru,Yuya dan Yabu bersamaan.

Ketika berjalan menuju panggung. Ryutaro memperlihatkan ekspresi wajah anehnya.“Yuto-chan lihat ini.”

“Hish, kau ini.” Yuto mengacak-acak rambut Ryutaro dan meninggalkannya sendirian di belakangnya.



Adikku, kau tidurlah dengan tenang. Disini ada seorang Ryutaro yang akan mengobati rinduku padamu.

Lirih Yuto dalam hati.



“Ah, kau ini Yuto-chan. Kau tahu? Rambutku ini mulai di catok sejak subuh, dan kau mengacak-acak seenaknya.” Ryutaro merapikan kembali rambutnya.



Terima kasih Nii-chan, kau tidak berpikir picik untuk melakukan pembalasan dendam. Aku percaya, kau akan tetap menjadi kakak yang baik selamanya. Kau ingat apa yang pernah kukatakan dulu ketika di Zhurema? Di kehidupan ini atau di kehidupan kedua aku selalu ingin bersamamu.

Ryutaro bergumam pelan.



Ryutaro mengejar Yuto dan segera memeluknya dengan erat.

“Heh, apa yang kau lakukan? Kau merindukanku? Aku tahu kalau aku ini emang ngangenin. Secaraahh, Yuto Nakajima.” Yuto membalas pelukan Ryutaro.

Chinen hanya tersenyum kecil melihat tingkah Yuto dan Ryutaro. Chinen yang sejak awal telah mengetahui bahwa Ryutaro akan bereingkarnasi menjadi manusia menggeleng-gelengkan kepalanya.



Aku tidak menyuruhmu membunuh Yamada bukanlah tanpa alasan. Yuto, kau tak akan pernah kehilangan adikmu. Dan Natsune lihatlah, kakakmu masih tersenyum disini. Cinta dari kalian berdualah yang menghidupkannya kembali.

Ucap Chinen dalam hati.

“Ayo Yuri.” Yamada menggenggam tangan Chinen dan menariknya ke panggung.

Natsune menonton pertunjukan kakaknya dari kejauhan. Sekarang sesekali Natsune mengunjungi kakak tertuanya di dunia, karena di Zhurema dia sama sekali tak memiliki siapa pun lagi.



Miageta

Yozora ni wa futatsu naranda hoshi

Bokutachi mo yakusoku shiyou

Korekara saki zutto.. Isshodayo



Dare yori mo soba ni iru yo shinpai nai sa

Nakimushi na kimi dakara Mamori tsuzuketai yo



Miageta

Yozora ni wa futatsu naranda hoshi

Bokutachi mo onaji youni

Korekara saki zutto.. Isshodayo

Together forever…



Hey say Jump mengakhiri lagunya.

***



Writer desire :

Author mohon maap kalau alurnya kecepatan dan ceritanya membosankan. Wokehh,, HBD buat Ryo. WYATB  \(^^)/ ditunggu teraktirannya. #plakk. Berasa deket ajah. Satu lagi, jauhkan sifat sombong dari hatimu dan jangan sering maruk kalau di PV ataupun lainnya.

Dan buat temennya Ryosuke yang namanya Ryutaro, semoga di makin Kakoii, makin sehat, makin pinter, karir main gamesnya makin lancar, orang yang mencoba menjatuhkannya dengan menyebarkan poto merokoknya diberi balasan yang setimpal dengan Tuhan, dan cepat kembali ke HSJ.  AMIN.

#plakdeshh, ini yg ulang tahun Ryo atau Ryu sih? Hadehh.. -_-

No comments:

Post a Comment