–Sacrifice—
Yamada ditarik paksa oleh
seorang wanita menuju sebuah tempat yang mengerikan. Tak ada seorang pun yang
tahu tempat macam apa itu dan tak ada yang pernah melihat tempat itu
sebelumnya.
====è
Sejak kejadian itu, Yamada menjadi
lebih pendiam dan suka menyendiri. Dia sering menatap langit dengan tatapan
kosong. Pikirannya terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Amarah
dari gadis itu tak jarang kembali terbayang olehnya.
Setelah
Daiki dan Inoo menemukan Yamada di pinggir jurang, semua member Hey Say Jump
menjadi sangat khawatir. Sebagian besar bertanya-tanya masalah apa yang menimpa
Yamada. Namun tak ada yang berani membahasnya kembali, berpura-pura hal itu
tidak pernah terjadi adalah tindakan paling bijak untuk saat ini.
Ketika
pelajaran usai, perjalanan pikiran Yamada belum juga menemukan titik temu.
Semua siswa meninggalkan tempat satu per satu sedangkan Yamada tidak
mengalihkan pandangannya dari langit biru di luar gedung sekolah. Langit biru
itu mengingatkan Yamada pada sayap wanita yang ingin membunuhnya tempo hari.
“Yama-chan,
kau baik-baik saja?” Yuto menyadarkan lamunan Yamada.
“Apa?”
Yamada menoleh ke arah Yuto.
“Apakah
kau baik-baik saja? Bagaimana bekas lukamu, apakah masih sakit?” Yuto menarik
lengan Yamada dan melihat lebam lukanya mulai menghilang.
“Ya.
Aku baik-baik saja.” Yamada menepuk pundak Yuto.
“Ayo
pulang.” Ajak Yuto.
“Ah,
kau duluan saja. Aku ingin pergi ke suatu tempat.”
“Kau
mau kemana? Aku ingin ikut. Kau tidak berpikir ingin bunuh diri lagi kan?” Yuto
mengkhawatirkan Yamada.
“Tentu
saja tidak. Kau pulanglah, nanti malam kita bertemu ditempat latihan.” Yamada
memasukkan bukunya ke dalam tas.
“Baiklah
kalau begitu. Jika kau membutuhkan teman hubungi saja aku, aku siap
menemanimu.” Yuto menatap pasti ke mata Yamada.
Yamada
berjalan menembus jalanan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang. Yamada
melemparkan pandangannya ke semua arah berharap bertemu lagi dengan wanita
bersayap biru itu. Pandangannya menelusup ke semua trotoar; toko-toko yang
berdiri di pinggir jalan, bahkan sampai ke bawah pohon di depan gedung-gedung
bertingkat.
Pencarian
Yamada tidak sia-sia, dia melihat sosok gadis yang dicarinya. Gadis itu berada
kira-kira seratus meter di hadapannya. Gadis itu duduk sendiri di bangku kayu
sambil menikmati es krimnya, kali ini dia mengenakan gaun berwarna hitam.
Sosoknya tidak kelihatan terlalu mencolok di antara orang-orang yang berjalan
disekitarnya. Yamada sedikit berlari mendekati sosok itu.
Gadis
itu berdiri dari tempat duduknya, dia mengerlingkan mata ke arah Yamada yang
sedang berlari ke arahnya. Dia tersenyum kecil melihat pancingannya disambar
oleh ikan yang diinginkannya.
“Hey,kau.
Tunggu aku.” Teriak Yamada yang masih mempercepat langkahnya.
Wanita
itu berjalan membelakangi Yamada. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Hanya
Tuhan dan dia yang tahu.
Yamada
berlari mengejar wanita itu, keringatnya meluncur deras di wajahnya. Nafasnya
yang mulai sesak meminta untuk berhenti sejenak. Yamada berhenti di depan
sebuah toko roti, mengatur nafasnya yang mulai tersengal-sengal. Aroma roti
menarik perhatian Yamada, perutnya bergemuruh meminta diisi. Namun Yamada tetap
harus fokus melanjutkan pengejarannya.
Yamada
menatap lurus ke depan, namun sosok yang dicarinya telah menghilang.
“Sial.
Dimana wanita itu?” Yamada mendengus kesal sambil menendang tiang yang berdiri
di sampingnya.
Seribu
cacian dan umpatan tertahan di mulut Yamada. Yamada memutar arah, dia berjalan
menuju rumahnya. Hatinya masih kesal atas apa yang baru saja terjadi.
Dimana aku bisa menemuinya?
Ujar
Yamada dalam hati.
Banyak
sekali yang Yamada ingin tanyakan padanya. Mengapa gadis itu ingin membunuhnya?
Kesalahan apa yang diperbuat Yamada di masa lalu sehingga dia diburu oleh
monster cantik itu.
Yamada
menyusuri jalan dengan hati gusar, namun sebisa mungkin Yamada meredam
semuanya. Ketika di perempatan jalan, mata Yamada menangkap satu sosok yang
tengah berdiri sambil menatap tajam ke arahnya.
“Yuuri.”
Yamada mengalihkan perhatian keseberang jalan.
Yamada
melihat Chinen Yuuri berdiri berseberangan dengannya. Pandangan Chinen
seolah-olah sedang menguliti Yamada dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yamada
bermaksud menghampirinya namun Chinen segera memalingkan wajah dan melanjutkan
perjalanannya.
Ah, mungkin aku salah orang.
Gumam
Yamada pelan.
***
“Apa
yang kau lakukan beberapa hari ini?” Chinen mendekati Yuto yang tengah duduk
kelelahan seusai latihan.
“Ketika
di sekolah bukankah aku selalu bersama kalian.” Yuto mengelap keringatnya
dengan handuk kecil.
“Lalu
setelah itu?” Chinen mulai menginterogasi Yuto.
“Ah,
sepulang sekolah. Aku menghabiskan waktu dirumah, aku baru saja membeli
beberapa DVD baru. Kau mau ikut menonton?”
“Benarkah?”
Chinen meragukan jawaban Yuto.
Yuto
mulai menyadari arah pertanyaan Chinen. Yuto menenggak air mineralnya dan
berusaha tenang.
“Tadi
ketika pulang sekolah aku melihatmu menguntit Yamada dari jarak seratus meter
dibelakangnya.” Chinen tak bisa berbasa-basi lebih lama lagi.
“Oh,
jadi kau pria yang kulihat diseberang jalan itu.” Yuto menanggapinya dengan
santai.
“Apa
yang sebenarnya kau lakukan?”
Yuto
menatap sinis ke arah Chinen. “Lalu, kau juga sedang apa disana?”
“Kau
belum menjawab pertanyaanku.” Chinen menegaskan.
“Aku
tak akan berdosa jika tidak menjawabnya.”
“Sejak
kejadian Yamada ditemukan di pinggir jurang hari itu kau selalu berada di
sekitar Yamada. Apa yang sedang kau rencanakan?”
“Apa
maksudmu? Kau menuduhku?” Yuto menaikkan nada bicaranya.
“Aku
tidak menuduhmu. Tetapi gerak-gerikmu terlihat sangat mencurigakan.” Chinen
mengepal tangannya.
Perkataan
yang dilayangkan Chinen membuat Yuto terdiam. Rona wajahnya berubah menjadi
pucat.
“Itu
bukan urusanmu.” Yuto bangkit dari tempat duduknya.
“Tentu
saja itu urusanku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Yamada.” Chinen bangkit
dan mencengkram erat kerah baju Yuto.
“Lepaskan.
Kau tidak tahu apa-apa.”
“Lalu,
apa yang kau ketahui?” Chinen menyergah Yuto.
Sergahan
Chinen menyadarkan Hikaru dan Yamada yang sedang mencoba gerakan baru, sejurus
kemudian mereka langsung mendekati Yuto dan Chinen. Mereka berusaha melerai
Yuto dan Chinen yang sedang bersitegang.
“Sudahlah
Chinen. Apa yang sedang kau lakukan?” Hikaru menarik tangan Chinen dari kerah baju
Yuto.
“Yuto,
tenanglah.” Yamada memegang pundak Yuto.
“Lepaskan.”
Chinen membanting tangan Hikaru. “Yuto, katakan kepada kami apa yang sebenarnya
kau ketahui?”
“Apa
yang sedang kau bicarakan Chinen? Aku tidak mengetahui apa pun” Yuto memandang
Chinen dengan tatapan datar.
“Berhenti
berpura-pura, mengapa kau mengikuti Yamada sampai ke depan toko roti yang tidak
jauh dari sekolah kita?”
“Tunggu
dulu. Chinen, bagaimana kau bisa tahu kalau tadi sore aku berada disana? Apakah
kau adalah pria yang kulihat diseberang jalan itu?”
“Lihatlah
Yamada, dia sedang menjadikanku kambing hitam atas semua perbuatan yang
dilakukannya.” Yuto memegang lengan Yamada.
“Apa
yang kau lakukan disana Chinen?” Sambung Yamada.
Hikaru
yang tak mengerti terhadap pembicaraan ini hanya bisa terdiam, melemparkan
pertanyaan terhadap apa yang sedang terjadi juga akan sia-sia.
“A-aku,
tidak melakukan apa-apa.” Jawab Chinen dengan gugup.
“Jangan-jangan,
kau lah yang sedang menyusun rencana jahat.” Yuto menyerang Chinen.
“Tidak
mungkin Yamada, aku tidak mungkin melakukannya. Yuto kau jangan mendoktrin
Yamada seperti itu.” Chinen meyakinkan Yamada.
“Chinen,
apakah kau mengetahui sesuatu tentang yang kualami beberapa hari yang lalu?”
Yamada mensejajarkan pandangannya dengan Chinen.
“Aku
sama sekali tidak mengetahui apa pun.” Chinen berusaha sekeras mungkin memberi
tameng di matanya, dia tak ingin Yamada mampu membaca apa yang ada di
pikirannya.
“Apakah
wanita itu suruhanmu?” Kali ini justru Yamada yang menuduh Chinen.
“Wanita?
Wanita apa? Aku sama sekali tidak mengerti.” Chinen memundurkan kakinya
selangkah.
“Katakan
padaku. Apa yang sebenarnya kau ketahui? Apa kau sedang berusaha untuk
membunuhku, haahhhh.” Yamada membentak Chinen.
“Yamada
aku tidak percaya kau mampu menuduhku seperti itu. Aku kecewa padamu.” Chinen
meraih tasnya dan segera pergi meninggalkan Yamada.
Yamada
terduduk dilantai, pikirannya kembali mengambang.
“Yama-chan,
kau baik-baik saja?” Hikaru merangkul Yamada.
Yamada
mengangguk pelan. Tak lama, telepon genggam Yamada berdering. Panggilan masuk
dari ibunya tertera di layar.
“Moshi moshi ka-chan.” Yamada segera mengangkat
teleponnya.
“Yama-san...,
oto-chan sekarang di rumah sakit. Oto-chan mengalami kecelakaan.” Ujar ibu
Yamada dalam telepon dengan nada terisak.
Yamada
langsung menutup teleponnya dan berlari ke luar ruangan tanpa mempedulikan
Hikaru dan Yuto.
***
Sebuah sinar berwarna putih pekat
menyilaukan mata Yamada. Yamada menemukan dirinya berada di sebuah ruangan
serba putih yang cukup luas, tak ada apa pun disana kecuali sebuah kursi
berwarna hitam yang terletak di tengah-tengah ruangan. Dilihatnya seorang gadis
terbang membelakanginya, dia memiliki sayap yang sama persis seperti yang
dimiliki oleh Wanita misterius yang ingin membunuhnya tempo hari. Tetapi mereka
adalah dua wanita yang berbeda.
Gadis
dihadapannya kali ini memiliki mata dan senyum yang menawan, gaun putih panjang
membalut tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang panjang tergerai dengan indah.
Sayapnya yang putih bersih menambah keanggunannya.
“Hey.
Kau siapa?” Yamada mendekati wanita itu.
Wanita
itu berbalik sambil tersenyum kecil menghadap Yamada. “Kau lupa padaku?”
Yamada
masih terdiam, menatap gadis itu dengan terpaku.
“Apakah
kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Yamada.
“Tidak
hanya bertemu. Kita bahkan pernah bersama sebelumnya Ryosuke.” Jawab gadis itu
lembut.
“Bersama?
Ryosuke?”
“Wajahmu
masih sama seperti yang dulu, tidak berubah sama sekali.” Wanita itu terbang
mengitari Yamada.
“Tunggu,
kau ini siapa? Apa kau ada hubungannya dengan wanita itu?” Yamada semakin
bingung.
“Wanita?”
“Ya.
Wanita sepertimu. Bedanya dia memiliki sayap berwarna biru.” Yamada
menjelaskan.
“Sayap
biru. Maksudmu Natsune?” Wanita itu agak terkejut.
“Entahlah.
Apa kau mengenalnya?”
Wanita
itu mengangguk pelan.
“Lelucon
macam apa ini? Aku tidak mengenal kalian semua. Apa yang kalian inginkan
dariku? Mengapa kalian mengusik hidupku?” Yamada menghujankan pertanyaan.
Yamada
menatap wanita itu dengan penuh tanda tanya, sedangkan wanita itu terdiam
menatap Yamada yang mulai emosi.
“Aku
hanya ingin mengembalikan ini.” Wanita itu memberikan sebuah kalung dangan
bandul berbentuk bintang kepada Yamada. “Ryo, maafkan aku yang tak pernah bisa
mencintaimu. Maafkan aku yang telah menyakiti hatimu sekian lama, aku tak
pernah bisa berpaling dari Ryutaro meskipun seribu luka dia tanamkan di hatiku.
Sungguh, maafkan aku. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.”
Yamada
menggenggam erat kalung pemberian wanita itu. Setelah memberikan kalung, wanita
itu terbang meninggalkan Yamada. Tiba-tiba, Kepala Yamada terasa amat berat.
“Auuuuuwwwwwwww…,”
Yamada memegangi kepala dengan kedua tangannya.
Pusing
yang teramat sangat tak mampu di tahan Yamada. Yamada menggelepar dilantai
menekan sakit yang dirasakannya. Perlahan kepala Yamada mulai terasa ringan,
rasa sakit itu tak lagi dirasakannya. Namun kepalanya seperti sedang memutar
sebuah pertunjukan. Satu per satu ingatan Yamada kembali. Aspire; Ryutaro, dan
semua tentang dirinya kembali masuk ke dalam memorinya. Dan kalung yang berada
dalam genggamannya adalah kalung yang dibuatnya sendiri dari batu meteor,
kalung yang akan diberikannya untuk seorang gadis. Nisuichi Mariya.
Yamada
bangkit dan merentangkan kedua tangannya, lalu muncullah sepasang sayap dipundaknya.
Yamada mengepakkan Sayapnya yang berwarna ungu pekat, dia terbang mencari jejak
Mariya yang telah menghilang.
“Mariya…,”
Yamada mengerahkan segenap suaranya.
Seluruh
penjuru ruangan telah ditelusurinya namun Mariya telah benar-benar menghilang.
“Mariya.”
Yamada menggenggam erat kalung di tangannya.
Yamada
bersimpuh dilantai penuh sesal. Wanita yang dicintainya sekian lama kembali
muncul di hadapannya tetapi dia sama sekali tidak mengenalinya. Yamada memukul
kepalanya sendiri, menyadari kebodohannya. Rindu yang dirasakannya memenuhi
relung hatinya. Sesak dirasakannya, menanggung rindu dan luka seorang diri.
Yamada menangis meraung, melepaskan semua sesak yang dirasakannya. Tetapi sesak
itu sama sekali tidak berkurang.
“Yama-san.”
Ibu Yamada menggerak-gerakkan bahu Yamada.
“heh,”
Yamada terbangun dari tidurnya,”Oka-chan. Mengapa oka-chan berada disini?”
Yamada
masih belum menyadari bahwa semua yang baru di alaminya hanyalah sebuah mimpi.
“Tentu
saja. Oka-chan akan menggantikanmu menunggui oto-chan.” Ibu Yamada memperbaiki
selimut ayah Yamada yang tertidur pulas dibawah pengaruh obat bius.
Yamada
menepuk-nepuk pipinya. Dilihatnya ayahnya terbaring lemah dengan masker oksigen
yang terpasang dimulut dan hidungnya. Kepalanya dibalut beberapa perban, dan di
tangannya terdapat selang infus.
“Pulanglah
kau sudah menjaga ayahmu semalaman. Kau harus beristirahat, biar oka-chan yang
akan menjaga ayahmu hari ini.” Ibu Yamada mengelus rambut anak kesayangannya
itu.
“Baiklah
oka-chan.” Yamada menuruti perintah ibunya.
Yamada
memandangi wajah ibunya. Matanya sembab karena menangis semalaman, menangis
mengkhawatirkan ayahnya. Yamada pilu melihat keadaan keluarganya, tetapi Yamada
tidak boleh menangis. Yamada harus kuat. Jika Yamada lemah lalu siapa yang akan
menguatkan ibunya. Yamada menelan ludah dan menahan air matanya.
Mariya.
Nama itu kembali melintas ke dalam pikirannya. Aspire dan semua isi di dalamnya
memenuhi rongga kepala Yamada. Bagaimana suasana malam itu ketika Ryutaro
meregang nyawa dihadapannya. Namun Yamada berusaha untuk bersikap senormal
mungkin, seakan-akan semua itu hanyalah mimpi semata.
Yamada
berjalan menuju parkiran rumah sakit. Bau obat yang tak disukai Yamada harus
mengganggu indera penciumannya. Ayahnya mengalami kecelakaan tadi malam, saksi
mata yang membantu membawa ayahnya ke rumah sakit menuturkan bahwa mobil
ayahnya menabrak salah satu pembatas jalan. Sebelum kecelakaan terjadi, mobil
ayahnya telah berbelok seperti menghindari sesuatu. Tetapi polisi mengatakan
bahwa itu adalah murni kecelakaan tunggal.
“Astaga.
Aku meninggakan dompetku.” Ujar Yamada pelan.
Yamada
berbalik arah menuju kamar yang ditempati ayahnya. Jarak beberapa ruangan
dilihatnya seorang pria berdiri mengawasi ruangan ayahnya.
“Chinen,
apa yang kau lakukan disini?” Yamada menepuk bahu Chinen.
“Eto,,
A-aku ingin menjenguk ayahmu.” Chinen menjawab dengan gugup.
“Mengapa
kau tidak masuk?”
“Ano,
aku baru saja ingin masuk.” Chinen melemparkan senyum darurat kepada Yamada.
“Benarkah.”
Yamada meragukan jawaban Chinen.
***
Yamada berjalan gontai menuju
rumahnya. Guratan-guratan sendu tak pernah lepas dari raut wajahnya, guratan
yang menyembunyikan sejuta lelah dan luka. Matanya yang lembut menatap tajam
ketika melihat seorang wanita berdiri di pagar rumahnya.
Yamada
mempercepat langkahnya. “Natsune.” Geram Yamada.
“Oh,
ternyata kau sudah mengingatku?” Natsune melemparkan senyum sinis.
Yamada
mencengkram erat tangan Natsune. “Apa yang kau inginkan dariku?”
“Nyawa
harus di bayar dengan nyawa.” Natsune menarik tangan Yamada.
Perjalanan
waktu terulang kembali, kali ini semua terasa lebih cepat. Natsune
bertransformasi ke wujud aslinya, tak jauh berbeda dengan Yamada yang juga ikut
melakukan hal yang sama. Bertransformasi bukanlah hal yang sulit bagi Yamada
karena di memang berasal dari makhluk Zhurema.
Natsune
membanting Yamada ke tanah. Lapangan yang menjadi saksi bisu pertarungan dua
sahabat berpuluh-puluh tahun lalu kembali menguapkan aroma darah yang kental.
Langit hitam menjadi lebih pekat dibanding sebelumnya. Natsune terbang dengan
pongah melihat Yamada yang tersungkur.
“Bagaimana
rasanya melihat orang yang kau sayangi dalam keadaan sekarat?” Suara yang
sangat di kenal Yamada menelusup malam.
Yamada
mengepakkan sayapnya, menyejajarkan posisinya di udara. Dilihatnya dari
kejauhan sesosok Zhurema terbang
mendekat. Sayapnya yang berwarna kuning keemasan membias di udara.
“Yuto.”
Mata Yamada terbelalak.
“Kau
terkejut?” Yuto mengejek Yamada.
“Kalian.”
Yamada masih tak mempercayai penglihatannya.
“Ya.
Semua ini adalah rancangan kami.” Yuto menghampiri Natsune. “Kau kira
kecelakaan yang menimpa ayahmu adalah kebetulan semata?”
“Kalian
mempunyai urusan denganku, jangan pernah menyentuh bahkan menyakiti
keluargaku.”
“Menyakitimu
secara langsung sama sekali tidak menarik. Tetapi melihat ibumu menangis
tersedu ketika malam dan melihatmu berlari ke rumah sakit memiliki kenikmatan
tersendiri.” Natsune menambahkan.
“Kalian
memang benar-benar tidak punya perasaan. Kalian jahanam.” Yamada mengancungkan
telunjuknya ke arah Natsune dan Yuto.
“Lalu
apakah kau punya perasaan, hah? Pernahkah kau memikirkan perasaan kami ketika
kau membunuh kakakku? Taukah kau rasanya ketika aku melihat kakakku sekarat dan
mati di pangkuanku?” Natsune menghantam Yamada dengan kilatan cahaya dari
tangannya.
Yamada
terpental beberapa meter ke belakang.
“Kau
masih beruntung karena aku tidak langsung membunuh ayahmu, karena jika dia mati
dengan cepat terlalu sedikit derita yang kau rasakan.” Natsune kembali melemparkan cahaya api ke
arah Yamada.
Yuto
hanya berdiri sambil tersenyum melihat bahu Yamada yang terluka akibat serangan
dari Natsune. Yuto sengaja membiarkan Natsune bermain-main dengan musuh kecil
mereka.
Yamada
bangkit dengan cepat lalu mendorong Natsune hanya dengan jentikan lembut dari
cahaya di ujung jarinya. Kali ini Natsune yang tersungkur.
“Cihh,
kau pulanglah. Disini bukan tempat anak perempuan, cuci tangan dan kakimu lalu
segeralah tidur.” Yamada meremehkan.
Yuto
terbang mendekati Yamada, Yuto mengibaskan Tangannya menciptakan hentakan besar
yang tak mampu di tangkis Yamada.
“Kau
mundurlah. Biar aku yang mengurus anak ini.” Teriak Yuto pada Natsune.
Natsune
terbang menjauhi kakaknya. Memperhatikan dari jauh semua sejarah yang akan
mulai diukir. Tangannya merogoh belati yang tersimpan dibalik pinggangnya.
Natsune bersiap-siap akan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Yuto
mencengkram kedua tangannya, menciptakan kilatan cahaya. Cahaya yang diciptakan
Yuto terbang melesat menghantam Yamada. Yamada terpental lebih jauh dibanding
sebelumnya. Terdengar erangan Yamada menahan sakit.
“Bangkitlah.
Jangan bilang kalau hanya segini kekuatan yang kau miliki.” Yuto menatap liar
ke arah Yamada.
Yamada
kembali merentangkan sayapnya, Yamada melesatkan kilatan cahaya bertubi-tubi ke
arah Yuto. Yuto terhempas ke tanah.
Yuto
segera bangkit dari posisinya, dia mengepalkan tangannya untuk menciptakan
serangan baru. Yuto menjulurkan kedua tangannya, cahaya keemasan meluncur deras
ke arah Yamada. Yamada tak kalah sigap, Yamada membuat kilatan cahaya baru
untuk menangkis serangan dari Yuto. Cahaya yang di ciptakan Yuto dan Yamada
bertabrakan, kedua cahaya tersebut saling menerjang. Ledakan menggelegar yang
memekakkan telinga memecah keheningan malam, cahaya tersebut naik menembus
awan. Menimbulkan kilatan besar yang menerangi malam selama beberapa detik dan
menghilang tanpa bekas.
Meskipun
serangan Yuto berhasil di tahan Yamada, tabrakan dengan bentang cahaya
menciptakan luka bakar di pundak kanan Yamada. Luka tersebut menyayat-nyayat
kulitnya. Perih memang, namun semua itu tidak di pedulikan Yamada. Yuto yang
terpental akibat bentang cahaya berhasil menyeimbangkan posisinya. Tak ada luka
sama sekali yang melekat di tubuh Yuto.
“Jika
hanya ini yang bisa kau lakukan, lalu dengan cara apa kau dulu membunuh
adikku.” Suara Yuto memenuhi angkasa.
“Jangan
salahkan aku jika kau akan mengalami nasib yang sama dengan adikmu.” Yamada
mencengkram erat lukanya berharap rasa sakitnya segera sirna.
“Sombong
sekali. Kita lihat saja.” Yuto membuang ludah.
“Dan
kau Natsune, jangan sesali jika kakakmu ini akan mati konyol di pangkuanmu.
Seperti kisah tragis yang di alami si bodoh Ryutaro.” Yamada mengingatkan.
Kata-kata
Yamada membakar amarah Natsune. Natsune mengibaskan sayapnya, ribuan kilatan
cahaya meluncur dan menghantam Yamada dengan telak. Yamada terhempas, bulu-bulu
sayap Yamada berterbangan akibat terjangan tiba-tiba tersebut.
“Kau
akan berakhir dengan jauh lebih menyedihkan di banding kakakku.” Natsune
mendekati Yamada yang mulai lemas, di cengkramnya baju Yamada dan dihempasnya
Yamada dengan tangannya.
Yuto
tersenyum bangga melihat kemampuan adiknya.
Natsune
melakukan serangan pamungkas. Dari tangan Natsune meluncurlah jutaan benang
halus berwarna biru pekat ke arah Yamada yang masih terkapar di tanah, benang
halus tersebut bersatu dan menciptakan kobaran-kobaran api yang menyembur
menghantam dada Yamada. Yamada terdorong jauh ke belakang. Kobaran api tersebut
membentuk kawah panjang berapi bekas seretan dari badan Yamada.
Yamada
muntah darah, nafasnya tersengal hebat. Suaranya tercekat ketika Yuto
menghampirinya. Matanya meminta belas kasihan. Tetapi amarah kakak beradik ini
tidak terelakkan lagi.
Yuto
meletakkan tangan kanannya di dagu dan tangan kirinya di ubun-ubun Yamada.
Natsune menginjak-injak sayap Yamada tanpa perasaan. Natsune duduk disamping
Yamada, dia mengangkat belati di atas dada Yamada dan siap menghujamkannya.
“Ketika
aku akan mematahkan lehernya, hunuskan belati itu segera.” Yuto memberikan
aba-aba.
Yamada
hanya bisa pasrah, berharap keajaiban akan terjadi. Belum sempat kakak beradik
itu melakukan pembunuhan itu, sebuah cahaya hitam menerjang mereka. Yuto dan
Natsune terpelanting jauh.
“Sial.”
Geram Yuto sambil bangkit.
“Sudah
ku duga, kau lah dalangnya.” Sesosok Zhurema
mendekati Yuto dengan sayap hitamnya.
“Oh.
Ternyata kau Chinen, sang malaikat penjaga yang di kirim untuk Yamada selama di
dunia.” Yuto memandang dengan tatapan tajam.
“Aku
bukan hanya di utus untuk menjaga Yamada. Aku juga menjaga kalian berdua.
Tetapi semua yang kau lakukan di luar prediksiku.” Chinen mendekati Yamada yang
tak sadarkan diri.
“Pergilah.
Ini bukan urusanmu.” Bentak Natsune.
“Natsune,
kau masih terlalu muda untuk terlibat dalam masalah sepelik ini. Kau hanya
menghabiskan waktumu dalam dendam tak berkesudahan.” Chinen merentangkan
sayapnya mengangkat Yamada.
“Kau
jangan ikut campur.” Natsune melecut kaki Chinen dengan sambaran api yang
berkobar.
Yamada
terlepas dari rangkulan Chinen. Chinen membalikkan badannya, dia mengibaskan
sayapnya ke arah Natsune. Natsune terhempas beberapa meter.
Yuto
langsung menciptakan lidah-lidah api dan mengalamatkannya pada Chinen. Chinen
mengelak dengan cekatan. Chinen dengan cepat terbang ke hadapan Yuto.
“Aku
tak mau ada yang tersakiti lagi. Hentikan sampai disini, tidak cukupkah yang di
alami Yamada? Ayahnya sedang sekarat di rumah sakit, kondisinya sakarang tidak
jauh lebih baik di banding ayahnya. Sedangkan ibunya bisa kau lihat sendiri dia
tersiksa batin atas semua yang terjadi. Masih belum puaskah kalian?” Chinen
mencoba menenangkan Yuto.
“Kau
tidak tahu rasanya ketika melihat adikku mati di depan mataku sendiri. Kau tak
akan pernah tau.” Yuto membuang muka.
“Lalu
apakah Ryutaro akan kembali hidup jika kau membunuh Yamada?” Sergah Chinen.
Yuto
terdiam, tertegun mendengar ucapan Chinen.
“Sudahlah.
Pembalasan dendam hanya akan menciptakan dendam selanjutnya. Dendam ini takkan
pernah ada habisnya. Apakah kalian akan mewariskannya pada anak cucu kalian?”
Sambung Chinen.
“Kalau
kakak tidak ingin melanjutkannya, biar aku yang akan menyelesaikannya.” Natsune
melesat cepat mendekati tubuh Yamada.
Seketika
Yuto terbang menghentikan Natsune. Tangannya mencengkram erat pergelangan
tangan Natsune. Natsune meronta, segala cara dilakukannya. Namun tenaganya
belum mampu melawan Yuto.
“Hentikan.”
Yuto membentak Natsune.“Tak ada gunanya kita membunuh si Yamada busuk itu. Kau
hanya akan mengotori tanganmu.”
“Tidak.
Kita tetap harus kembali ke rencana awal. Kau sudah berkorban banyak selama menjadi
manusia, kak.” Bantah Natsune.
“Natsune.
Dengarkan aku.” Yuto kembali membentak Natsune. “Semua hanya akan memperburuk
keadaan. Jika kau membunuh Yamada, kau akan di buang ke dunia manusia. Aku tak
ingin kehilangan seorang adik untuk kedua kalinya. Lagipula kau masih
memilikiku dan Ryutaro juga tak akan senang melihat kau melakukannya.”
Natsune
memeluk Yuto dan menangis haru dalam hangatnya kasih dari kakaknya.
“Kau
ingat, dulu ketika kau masih kecil tanganmu terluka akibat terkena pecahan
batu. Ryutaro marah besar akan kecerobohanmu. Lihatlah luka yang kau dapatkan
akibat pertarungan tadi, apa yang akan dilakukan Ryutaro jika dia masih hidup.”
Yuto mengelus lengan Natsune yang lebam.
“Mungkin
dia tidak akan mengajakku bermain selama seminggu.” Natsune terkekeh.
“Menurutku
dia tidak akan mengajakmu bicara selama sebulan.” Yuto tersenyum kecil.
Yuto
dan Natsune terbang menembus malam, melintasi waktu dan kembali ke dunia.
Chinen menarik nafas lega dan membawa Yamada ke balai pengobatan.
Atas
kebijaksanaan petinggi Zhurema semua
kejadian malam ini di maklumi dan di maafkan. Ingatan Yamada kembali di cabut
akan semua yang dialaminya malam ini dan ingatannya tentang Natsune, tak
terkecuali Mariya.
***
“Ayo
semuanya. Mari kita lakukan yang terbaik.” Yamada memberi semangat sebelum
memulai konser.
Senyum
Yamada kembali lagi setelah ayahnya tesadar dari comma dan diperbolehkan
beristirahat di rumah.
“Hey
Say Jump.” Teriak Yuto; Yamada, Chinen, Ryutaro, Keito, Daiki, Inoo,
Hikaru,Yuya dan Yabu bersamaan.
Ketika
berjalan menuju panggung. Ryutaro memperlihatkan ekspresi wajah
anehnya.“Yuto-chan lihat ini.”
“Hish,
kau ini.” Yuto mengacak-acak rambut Ryutaro dan meninggalkannya sendirian di
belakangnya.
Adikku, kau tidurlah dengan
tenang. Disini ada seorang Ryutaro yang akan mengobati rinduku padamu.
Lirih
Yuto dalam hati.
“Ah,
kau ini Yuto-chan. Kau tahu? Rambutku ini mulai di catok sejak subuh, dan kau
mengacak-acak seenaknya.” Ryutaro merapikan kembali rambutnya.
Terima kasih Nii-chan, kau
tidak berpikir picik untuk melakukan pembalasan dendam. Aku percaya, kau akan
tetap menjadi kakak yang baik selamanya. Kau ingat apa yang pernah kukatakan
dulu ketika di Zhurema? Di kehidupan ini atau di kehidupan kedua aku selalu
ingin bersamamu.
Ryutaro
bergumam pelan.
Ryutaro
mengejar Yuto dan segera memeluknya dengan erat.
“Heh,
apa yang kau lakukan? Kau merindukanku? Aku tahu kalau aku ini emang ngangenin.
Secaraahh, Yuto Nakajima.” Yuto membalas pelukan Ryutaro.
Chinen
hanya tersenyum kecil melihat tingkah Yuto dan Ryutaro. Chinen yang sejak awal
telah mengetahui bahwa Ryutaro akan bereingkarnasi menjadi manusia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku tidak menyuruhmu
membunuh Yamada bukanlah tanpa alasan. Yuto, kau tak akan pernah kehilangan
adikmu. Dan Natsune lihatlah, kakakmu masih tersenyum disini. Cinta dari kalian
berdualah yang menghidupkannya kembali.
Ucap
Chinen dalam hati.
“Ayo
Yuri.” Yamada menggenggam tangan Chinen dan menariknya ke panggung.
Natsune
menonton pertunjukan kakaknya dari kejauhan. Sekarang sesekali Natsune
mengunjungi kakak tertuanya di dunia, karena di Zhurema dia sama sekali tak
memiliki siapa pun lagi.
Miageta
Yozora ni wa futatsu naranda
hoshi
Bokutachi mo yakusoku shiyou
Korekara saki zutto..
Isshodayo
Dare yori mo soba ni iru yo
shinpai nai sa
Nakimushi na kimi dakara
Mamori tsuzuketai yo
Miageta
Yozora ni wa futatsu naranda
hoshi
Bokutachi mo onaji youni
Korekara saki zutto..
Isshodayo
Together forever…
Hey
say Jump mengakhiri lagunya.
***
Writer
desire :
Author
mohon maap kalau alurnya kecepatan dan ceritanya membosankan. Wokehh,, HBD buat
Ryo. WYATB \(^^)/ ditunggu
teraktirannya. #plakk. Berasa deket ajah. Satu lagi, jauhkan sifat sombong dari
hatimu dan jangan sering maruk kalau di PV ataupun lainnya.
Dan
buat temennya Ryosuke yang namanya Ryutaro, semoga di makin Kakoii, makin
sehat, makin pinter, karir main gamesnya makin lancar, orang yang mencoba
menjatuhkannya dengan menyebarkan poto merokoknya diberi balasan yang setimpal
dengan Tuhan, dan cepat kembali ke HSJ.
AMIN.
#plakdeshh,
ini yg ulang tahun Ryo atau Ryu sih? Hadehh.. -_-
No comments:
Post a Comment