NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Series] Let Me Be Empty (3/5)




Ryosuke menghentikan mobilnya di parkiran gedung apartemen. Disana banyak mobil polisi dan sebuah mobil ambulan. Ryosuke masih syok melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Ia seperti tersambar petir di siang bolong. Ia ingin menyangkal apa yang Daiki katakana di telepon tadi. Tapi melihat mobil – mobil polisi ini ia menjadi ragu.

Ia buru-buru melepas seatbelt nya dan membuka pintu mobil untuk keluar. Ia berlari ke lantai 5 tempat dimana ruang apartemen Yuri menetap. Sesaat sampai di lantai 5, tepat di depan pintu 301 ia dihadang oleh petugas kepolisian.

“Biarkan aku masuk!” Ujar Ryosuke setengah membentak.

“Maaf, yang tidak berkepentingan dilarang masuk.” Kata petugas itu tegas.

“Maaf pak, biarkan dia masuk. Dia kerabat korban.”

“Dai-chan!” Seru Ryosuke dan kemudian langsung masuk menerobos pintu yang dijaga petugas itu. “Apa maksudmu dengan korban tadi?”

“Seperti yang ku katakan di telepon tadi. ” Daiki tampak murung saat mengatakan kalimat itu.

“Yamero yo, Dai-chan. Muri desu.. Kemaren aku masih berbicara dengannya, aku mengajaknya ke desa saat aku tinggal waktu kecil. Ia tampak sehat-sehat saja.”

“Kau boleh melihatnya ke dalam..” Ujar Daiki dengan lirih.

Ryosuke berjalan ke kamar Yuri yang pintunya sudah terbuka lebar. Saat ia melangkahkan kakinya kedalam, ia mendapati beberapa petugas forensik, Keito, Takaki, dan 2 petugas ambulans yang siap – siap untuk mengangkat tandu yang diatasnya terdapat sosok seseorang yang terbujur kaku yang diselimuti kain putih. Keito dan Takaki menatap sosok itu murung. Mata mereka menggambarkan kesedihan dan belasungkawa.

“Tunggu! Jangan dibawa pergi dulu. Aku ingin melihat jasad itu.” Pinta Ryosuke kepada 2 petugas ambulans yang bersiap untuk membawa tandu.
Ryosuke membuka kain putih itu perlahan, dan perlahan. Dan kini ia melihat sosok pria kecil terbujur kaku dengan wajah yang pucat pasi tapi bagaikan malaikat.

"Yu..ri? Oi, Chinen, bangun. Kubilang bangun!" Ryosuke mengguncang tubuh Yuri yang kaku itu dengan keras. Sontak hal itu langsung dihalangi oleh petugas. Keito dan Takaki pun ikut meleran Ryosuke.

"Yamada! Dia sudah meninggal! Tidak ada gunanya kau menyuruhnya bangun!" Takaki marah.

"Hah, gila. Aku masih berbincang dengannya kemarin! Dia masih tersenyum padaku. Dia tak terlihat seperti akan mati!" Keras Ryosuke emosi.

"Kau harus merelakannya.. Dia sudah pergi." Keito menepuk pundak Ryosuke untuk meredam amarahnya.

Berani sekali kau pergi, Yuri.. Ah, yang kemarin.. Dia pasti merasa bersalah, karena ia memang pelaku dibalik kematian orang tuaku. Haha, hebat. Aku bisa membuat orang bunuh diri.

2 petugas tadi akhirnya membawa jasad Yuri ke ambulans untuk dibawa kerumah sakit.

Ryosuke dan teman - temannya hanya bisa memandang membiarkan petugas itu membawa jasad teman kecil mereka yang sering mereka manjakan. Teman - temannya memandang sedih tubuh pria kecil dibalik kain putih itu. Seperti mimpi, tidak percaya mereka akan kehilangan teman yang paling mereka sayang, yang paling mereka manjakan. Terlalu cepat baginya untuk meninggalkan dunia ini.

Tapi tidak bagi Ryosuke. Batinnya bergejolak, antara marah dan senang, tapi juga merasa hampa. Ia marah karena Yuri terlalu cepat pergi, tanpa sempat Ryosuke balas perbuatannya. Tapi ia juga senang karena ia tidak perlu capek - capek menyingkirkan Yuri, karena sekarang ia sudah meninggal, dengan waktu yang sangat singkat. Di lain pihak, batinnya merasa hampa atas kepergian Yuri. Yuri yang setiap pagi datang ke apartemennya, Yuri yang sering mengajaknya hangout, Yuri yang selalu menempel kemanapun mereka pergi, Yuri yang selalu senang menjahilinya, kini tidak lagi bisa ia rasakan..

Salah satu detektif kepolisian menyuruh Ryosuke dan teman - temannya keluar meninggalkan TKP. Lalu detektif itu memberi tahu bahwa obat - obatan yang berceceran di lantai diduga jatuh karena sakit kepala yang hebat dan mendadak oleh penyakit yang dideritanya, sehingga saat ia mengambil obat itu, serangannya terlalu parah dan ia tidak bisa lagi menahannya sehingga obat - obat itu jatuh ke lantai, bersama Yuri. Disimpulkanlah kasus ini sebagai kecelakaan.

"Paling juga dia bunuh diri karena merasa bersalah." Gumam Ryosuke berbisik, tanpa tahu Daiki mendengarnya.

***

Upacara pemakaman Yuri berlangsung seadanya.. Orang orang yang melayat tidak banyak. Beberapa teman - teman kampus, Daiki, Keito, Takaki, Ryosuke, dan ibu Yuri yang sedang menangis.Saat memberi tahu kepada ibunya, ia sangat sedih dan langsung berangkat ke Tokyo. Maklum, Yuri tinggal sendiri di kota dan mengontrak apartemen murah di dekat kampus.

Usai upacara, Ryosuke langsung pergi tanpa berpamitan dengan siapapun. Daiki, diikuti dengan Takaki dan Keito langsung mengejar Ryosuke.

"Tunggu! Kau mau kemana?" Tanya Daiki membalikkan tubuh Ryosuke.

"Aku mau pulang." Jawab ryosuke malas.

"Aku perlu bicara denganmu."

"Ada apa?"

"2 hari yang lalu, saat kau pergi dengan Chinen, kalian membicarakan apa?" Tanya Daiki langsung pada poinnya.

"Tidak ada apa -apa. Hanya obrolan tidak penting." Jawab Ryosuke melengah.

"Jawab yang jujur! Kemaren aku mendengarmu bergumam kalau Chinen bunuh diri. Apa maksudmu?!" Tanya Daiki yang sekarang meledak.

"...." Ryosuke masih melengah tidak menjawab.

"Jawab Yamada!"

"Dia sudah membunuh orang tuaku!!" Bentak Ryosuke, yang membuat Daiki, Takaki dan Keito terperanjat. Mereka bergeming. Jadi, orang tua Ryosuke dibunuh? Oleh Chinen? Jadi, kejadian itu bukan kecelakaan?

"Pasti dia bunuh diri karena aku mengetahui apa yang dia perbuat. Kesal sih, harusnya aku yang membalas perbuatannya. Tapi tidak kusangka, ia mati lebih dulu.Ya, memang orang seperti dia sejak awal memang pantas mati." Daiki langsung melayangkan kepalan tangannya ke muka Ryosuke dengan keras. Selepas penjelasannya. Ryosuke tersungkur ke tanah. Daiki sudah sangat emosi atas apa yang Ryosuke katakan.

"Jaga omonganmu! Apa yang membuatmu yakin kalau ia yang membunuh orang tuamu hah?!" Geram Daiki yang tidak percaya atas perubahan sikap Ryosuke terhadap Yuri. Padahal kemaren, saat di apartemen Yuri, ia seperti tidak percaya Yuri meninggal.

"Karena dia kelihatan panik saat aku mengatakannya." Jawab Ryosuke melunak.

"Itu tidak cukup bukti!! Tega sekali kau menuduh temanmu sendiri. Dan orang seperti Chinen? Tidak mungkin ia bisa berbuat seperti itu! Orang tuamu meninggal saat kau berumur 9 tahun. Tidak mungkin anak kecil, apalagi Chinen membunuh orang tuamu!" Bentak Takaki nyalang yang tidak lagi bisa menahan emosinya.

Ryosuke menatap mereka panjang dalam hening. "Teman? Haha, aku tidak pernah menganggapnya teman. Dan kalian juga tidak pernah sekalipun aku anggap teman. Kalian cuma orang munafik."

Sejak kapan aku membuka topeng seperti ini? Bukankah aku berakting sebagai orang baik? Yuri...

Daiki, Takaki dan Keito kaget atas pernyataan Ryosuke. Napas mereka turun naik. Ryosuke tidak pernah sekalipun menganggap mereka sahabat atau teman. Jadi selama ini Ryosuke hanya pura - pura? Cuma sekedar main - main saja?Tidak pernah menganggap serius mereka.

"Kau.. Apa kau tahu apa yang dialami Yuri selama ini?" Tanya Daiki geram menahan kepalan tangannya untuk tidak menonjok Ryosuke.

Ryosuke tertegun, tidak menjawab...

"Aku tidak minta kau peduli dengan hal ini. Tapi kuharap kau mau mendengarku sampai selesai." Daiki berhenti sejenak.. Kemudian ia melanjutkan.

"Dulu di kelasku Chinen tidak pandai bergaul. Akulah yang mengajaknya berteman pertama kali dan mengenalkannya kepada kalian. Saat ia berteman dengan kalian, hari - harinya jadi lebih cerah. Ia lebih mudah bersosialisasi. Dan khususnya kau Yamada.Dia menganggapmu teman yang saat berarti, karena kau baik, memikirkan perasaan teman, perhatian, dan asik. Setidaknya itu yang ia pikirkan."


Daiki menghela napas sebentar, dan melanjutkan lagi. "Sampai ia didiagnosis dokter bahwa ia sakit tumor otak kronis, dan umurnya tidak lama lagi."

Mata Ryosuke, Takaki, dan Keito membesar, seakan tidak percaya apa yang barusan Daiki katakan. Tapi Ryosuke kembali mengalihkan pandangannya seakan tidak peduli.

Yuri? Ia mengidap penyakit seperti itu? Kenapa ia tidak pernah mengatakannya  kepadaku? Lagian, ia tidak pernah menunjukkan tanda - tanda kalau ia sakit setiap kali didepanku..

"Apa?! Kupikir selama ini dia hanya sakit anemia. Setiap aku bertanya saat ia sakit kepala dan pusing, ia hanya menjawab karena anemia. Kenapa ia tidak mengatakannya kepada kami kalau ia sakit kronis seperti itu?!" Keito meledak.

"Dia bilang tidak ingin menyusahkan kalian. Aku yang diberi tahunya pun tidak percaya ia mengidap penyakit seperti itu. Tuhan terlalu kejam untuk memberinya penyakit di tubuh pria yang tidak bersalah. Setiap kali aku melihatnya tertawa, bahagia seperti orang normal didepan kita, aku merasa sangat sakit. Tapi juga merasa kagum, ia masih bisa tertawa di tengah kondisinya yang seperti itu." Mata Daiki kini berkaca - kaca. Ia melempar pandangannya ke sembarang arah, menahan air matanya agar tidak jatuh.

Setelah beberapa lama berhenti, Daiki melanjutkan ceritanya. "Dan, apa kau tahu, Ryosuke? Chinen sering bersamamu , ia sering datang ke apartemenmu, itu bukan tanpa sebab. Ia bilang, sikapmu mirip seseorang yang sangat berarti baginya."

"Itu sudah jelas. Karena dia teman masa kecilku. Wajar saja ia menganggapku orang yang berarti baginya karena aku teman pertamanya dulu. Tapi ia sudah membunuh orang tuaku. Aku tidak bisa memaafkannya." Jelas Ryosuke dengan ketusnya.

"Terserah apa katamu. Yang jelas aku percaya Chinen tidak akan tega melakukan hal seperti itu. Kau menuduhnya, tidak ada bukti konkret bahwa ia pelakunya. Soal teman masa kecilmu, yang membunuh orang tuamu, itu pasti karena mimpimu bukan? Karena itu kau mengajaknya kesana? Karena  kau mencurigainya? Aku yakin dia bukan orang seperti itu."

"Ya, aku yakin dia. Di dunia ini tidak ada yang benar, semua orang itu munafik. Semua akan mengkhianatiku." Ryosuke tersenyum miris.

"Jangan samakan kami dengan mereka!! Kami sahabatmu yang siap membantu dalam kondisi apapun yang kau alami! Apa kau lupa itu?" Seru Takaki disusul anggukan Daiki dan Keito.

"Omong kosong! Aku sudah mendengar kalimat itu ratusan kali! Nyatanya? Semuanya berbalik ninggalin aku. Semuanya mengkhianatin aku!!" Bentak Ryosuke nyalang.

"Kami berbeda! Kami sahaba-"

"DIAM! Aku tidak percaya dan tidak akan pernah percaya sama kalian. Sejak awal KALIAN TIDAK PERNAH JADI SAHABTKU. TIDAK PERNAH!" Kata Ryosuke memalingkan wajah, dingin.

.... Hening

Daiki mengacak -acak rambutnya kesal, dan berbalik membelakangi Ryosuke. "Oi Bakaki, Keito ayo pergi. Tidak ada gunanya kita disini."
Takaki mengikuti Daiki sambil menggumam umpatan karena Daiki masih sempatnya memanggil dia 'Bakaki'. Sedangkan Keito hanya menunduk.

Ya, lebih baik begini.. Biarkan aku sendiri. Aku tidak peduli lagi. Aku capek berpura - pura didepan mereka. Semuanya bakal meninggalkan ku. Semuanya munafik.. Kau juga, Yuri.

***

"Aku tidak percaya Yama-chan bisa mengatakan hal kejam seperti itu." Keito menundukkan kepalanya di kursi.

Mereka sekarang berada di rumah Daiki setelah dari gereja dan membicarakan hal yang tidak mengenakkan hati mereka. Daiki berdiri sambil menyilangkan tangannya di sudut pintu, melihat keluar.

"Aku juga tidak percaya. Jadi selama ini kita main - main, ketawa- ketawa dengan dia itu tidak ada artinya? Dia tidak menganggap kita siapa - siapa." Ujar Takaki geram.

"Aku yakin, jauh di dasar hatinya Yamada sangat peduli dengan Chinen. Aku rasa ia lagi terpuruk saja atas kematian Chinen." Gumam Daiki. "Ia juga sama menderitanya dengan Chinen.."

***

Sesampainya di apartemen, Ryosuke dikagetkan oleh 2 sosok pria yang tinggi nan kurus, -Yabu- kakak sepupunya dan teman kakak sepupunya, -Inoo- didalam apartemen. Yabu memegang sesuatu di tangannya.

"Yo. kau dari mana?" Tanya Yabu.

"Dari pemakaman teman. Ngomong - ngomong kenapa kau bisa masuk ke dalam?"

"Pemakaman siapa? Kau tidak mengunci pintu apartemenmu, bodoh!"

Ryosuke mengangguk mengakui kalau ia lupa mengunci pintu. Kemudian ia menjawab pertanyaan Yabu tadi. "Chinen Yuri.."

"Chinen?!!Temanmu yang 'cantik' itu?! Kenapa ia meninggal?! Kenapa tidak memberi tahu ku!" Yabu histeris.

“Chinen siapa?” Tanya Inoo yang tidak mengenal Yuri.

“Dia teman akrab Yamada. Dia juga cantik, sepertimu.” Jawab Yabu sambil menoleh ke Inoo, yang membuatnya tersipu malu, entah kenapa.

“Ka-kau ini, jangan bercanda disaat kabar duka seperti ini!” Omel Inoo yang masih tersipu malu. Entah ada hubungan apa diatara mereka berdua, Ryosuke tidak peduli.

“Ah, maaf. Jadi, kenapa ia meninggal?!” Tanya Yabu histeris, dengan mengulang intonasi yang sama.

"Dia sakit. Maaf, aku tidak memberi tahumu." Jawab Ryosuke tidak semangat.

“Aku turut berduka cita..” Gumam Inoo, simpati.

Yabu menepuk pundak Ryosuke, merasa simpati. "Sudahlah, relakan saja dia. Nanti bawa aku ke makamnya ya." Kata Yabu. "Ah, ngomong - ngomong ini ada amplop di depan pintu apartemenmu tadi. Aku belum membukanya kok."

Ryosuke meletakkan amplopnya di atas meja. Rencananya nanti akan ia baca setelah Yabu dan temannya pergi.

"Ini, uangmu untuk bulan ini. Aku baru gajian." Yabu memberikan amplop  berisi uang yang jumlahnya lumayan banyak.

Yabu memang bekerja di perusahaan besar, yang tentu saja gajinya juga besar. Jadi uang yang ia berikan setiap bulan kepada Ryosuke bisa terpenuhi selama 30 hari, bahkan lebih jika ia bisa berhemat. Yabu sebenarnya sudah mengajak Ryosuke untuk tinggal bersama ibu dan ayahnya. Tapi Ryosuke menolak. Ia ingin hidup sendiri.

"Kalau begitu kami pergi dulu." Yabu menepuk - nepuk lembut kepala Ryosuke, memperlakukannya seperti adik kandung sendiri. Inoo tersenyum melihat adegan kakak-adik yang ada di depan matanya. "Sudahlah, jangan bersedih atas kepergiannya. Bawa aku ke makamnya besok." kata Yabu.

Setelah mereka berpamitan dan menutup pintu, Ryosuke mengambil amplop yang ia letakkan di meja tadi. Saat membuka, betapa kagetnya ia dengan tulisan yang tertera di kertas itu.


Chinen Yuri tidak bunuh diri atau kecelakaan.Ia dibunuh. Jika kau ingin tahu siapa pelakunya, datang ke gedung kosong dekat SMU Tsukishima, hari Minggu jam 8 malam.

Ryosuke kaget atas surat misterius yang ia baca. Siapa pengirimnya?

TBC


Glosarium :
Yamero yo = hentikan
Hangout = Jalan-jalan
-web�14 t x �B �|< width: 0px;word-spacing:0px'> “HAH?! Tidak, jangan salah paham! Aku tidak gay!” keras Ryosuke salah tingkah, tidak terima dengan perkataan Yuri.

“Hahaha. Aku hanya bercanda. Jangan anggap serius.”

Sialan, berani-beraninya orang ini mengerjaiku

“Oke, aku ikut. Jam berapa?” tanya Yuri menyudahi tawanya.

“Jam 2 siang. Aku akan menjemputmu.” Jawab Ryosuke kalem.

“Oke.” Jawab Yuri pendek, kemudian menutup telponnya.

Chinen Yuri, ia memang senang mengusili Ryosuke. Gelagat Ryosuke yang salah tingkah selalu membuatnya ingin tertawa. Biasanya Ryosuke akan marah setiap kali Yuri menggodanya. Tapi Yuri tidak pernah bosan untuk mengulangi perbuataan usilnya tersebut. Ia terus meng-ijime Ryosuke. Tapi, walaupun Ryosuke selalu marah setiap ia goda, Ryosuke akan baik dengan sendirinya 1 atau 2 jam kemudian.

***

Mobil sedan yang dibawa Ryosuke melaju menjauhi pusat kota.

Ya, sebenarnya ini mobil yang diberikan kakak sepupunya, Yabu. Ialah yang membiayai hidup Ryosuke sepeninggalan orang tua Ryosuke.

Chinen yang duduk di kursi sebelahnya memandang keluar jendela dengan ekspresi yang antusias. Gedung-gedung pencakar langit semakin lama tidak terlihat seiring dengan menjauhnya mobil dari pusat kota. Digantikan dengan pemandangan laut yang indah disisi jalan.

“Waa, suteki na..” Ujar Yuri melihat pemandangan laut dengan mata yang berbinar seperti baru pertama kali melihatnya.

“Kau belum pernah melihat laut sebelumnya?” Tanya Ryosuke heran.

“Tentu saja sudah. Hanya saja aku jarang keluar kota. Jadi pemandangan seperti ini jarang aku jumpai.” Sanggah Yuri.

“A.. souka” ujar Ryosuke mengangguk.

“Ryosuke.. sebenarnya kita mau kemana?”

“Ke suatu tempat. Desa terpencil saat aku tinggal waktu kecil.”

“Dimana?”

“Kau akan tahu nanti..” jawab Ryosuke datar.

***

Mobil Ryosuke berhenti di tengah jalan kecil. Di samping kirinya terdapat hutan lebat sedangkan di sebelah kanannya tampak sungai jernih yang cukup lebar. Rerumputan yang menyelimuti tanah di sepanjang tepian sungai dapat dijadikan tempat bermain untuk anak-anak, baik itu bermain bola kaki, bisbol atau untuk sekedar tidur-tiduran.

Sekitar 1 kilo dari mobil terlihat sebuah desa yang cukup terpencil. Suasana yang asri, udara yang segar adalah tempat yang cocok untuk melepas kepenatan kota. Ryosuke dan Yuri keluar dari mobil dan duduk di kap mobil tersebut.

“Hei Ryosuke! Aku tahu tempat ini! Aku pernah tinggal di daerah ini saat umurku 8 tahun. Natsukashii na..”

Apa? Yuri pernah tinggal disini? Oke, mungkin hanya kebetulan.

“Oh ya? Aku juga pernah tinggal disini saat umurku 6 tahun. Dan 3 tahun kemudian aku pindah ke kota.” Ryosuke berusaha bersikap normal dan mencoba menikmati suasana dan pemandangan yang ada.

“Eh? Hontou? Jangan – janga kita pernah kenal disini sebelumnya?” Tanya Yuri yang antusias.

“Mungkin saja.” Ryosuke membuka ranselnya dan mengeluarkan 2 kaleng cola, yang satunya ia berikan kepada Yuri

“Sankyuu.” Yuri membukatutup cola dan kemudian meneguknya. Hal serupa pun dilakukan oleh Ryosuke.

“Waktu kecil aku suka menjelajah di hutan ini dengan temanku.” Ryosuke menunjuk hutan yang ada di sisi kirinya.

“Wah? Aku juga sering! Jangan – jangan memang benar kita pernah kenal saat kecil?”

“Ya, mungkin saja kau temanku itu?” Ujar Ryosuke memperkuat asumsi Yuri. “Lalu, setelah menjelajah biasanya kami ke tepian sungai ini untuk sekedar beristirahat. Aku dan temanku berbaring disini sambil menengadah ke langit. Pemandangan yang sangat indah. Ah, natsukashii~” Ryosuke menutup matanya dan menghirup udara segar.

“Sekarang aku benar – benar yakin kita pernah kenal saat tinggal disini. Aku juga melakukan hal yang sama. Aku pasti temanmu itu.”

Yuri adalah temanku itu? Memang benar aku tidak mengingat wajahnya, tapi mendengar hal – hal yang ia katakan ini.. berarti ia adalah anak itu? Tapi bagaimana cara membuktikannya?

“Kau tahu, sebelum aku pindah orang tuaku dibunuh saat umurku 9 tahun, di desa ini.” Ujar Ryosuke datar menatap kakinya. Ia mulai ke pembicaraan serius.

“Ap-apa..? Benarkah? N-ne Ryosuke, kenapa kau berpikir orang tuamu dibunuh? Bu-bukankah itu kecelakaan?” Tanya yuri sambil gelagapan.

“Mimpi. Seorang bocah datang ke mimpiku dan mengatakan kalau ialah yang membunuh orang tuaku. Aku yakin ia teman masa kecilku?” Ryosuke menoleh ke arah Yuri dengan tatapan tajam.

“He-hei.. Apa kau mencurigaiku? Ti-tidak mungkin anak kecil bisa membunuh”. Jawab Yuri terbata-bata.

Kali ini Ryosuke mengalihkan pandangannya ke depan. “Ia berkelainan. Ia hanya ingin aku yang menjadi temannya. Apa bocah itu adalah orang yang duduk disampingku sekarang?”

“Ti.. Tidak mungkin! Aku tidak-“

Ryosuke menepuk pundak Yuri keras. “Hahahaa.. Aku hanya bercanda, Yuri. Tidak perlu panik begitu.”

“Huft.. Kau membuatku takut tahu!” Yuri menghembus napas panjang, merasa lega. Tapi keringat dingin mengucur dari pelipisnya, ekspresi cemas tergambar pada wajahnya.

“Tapi soal anak yang ada di mimpiku itu benar adanya..”

Kau orangnya. Aku yakin, kau yang membunuh orang tuaku. Kau panik saat aku mengatakan perihal orang tuaku. Bocah itu tidak mengizinkanku untuk berteman dengan yang lain. Dan melihat kau yang sekarang, kau sangat sering berdekatan denganku. Memang hebat kau bisa menyembunyikan sifat aslimu. Sekarang aku harus merencanakan balasan apa yang pantas untukmu.

***

TRIIING… TRIIING…

“moshi moshi?”

“Ryosuke! Kau harus datang ke apartemen Yuri! Sekarang!!”

“Hah? Memangnya ada apa?”

“Chinen!! Chinen!!”

“Tenang, kau tenang dulu.. Yuri kenapa?”

“Dia.. Dia sudah tidak ada..”

“Apa maksudmu? Dia kabur dari apartemen?”

“Tidak.. Chi-chinen ditemukan tewas di apartemennya!!”

“…. Oke, Dai-chan, candaanmu tidak lucu. Aku tutup sekarang”

“Aku tidak bercanda! Sekarang juga kau berangkat ke sini!”

TREK.

Daiki menutup teleponnya di seberang. Sedangkan Ryosuke masih bergeming dengan telepon yang masih ditelinganya.

Yuri.. meninggal?

TBC


Glosarium :
Nandemo nai = tidak ada apa – apa               
Urusai = diam                                                           
Suteki = indah                                                           
Hontou? = benarkah?
Natsukashii = kangennya
Souka = begitu
Moshi moshi = halo


No comments:

Post a Comment