NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Oneshot] A Light




Title            : A Light
Cast            :
            *Yamada Ryôsuke as Yamada Ryôsuke
            *Hey! Say! JUMP as Hey! Say! JUMP
Genre          : Slice of life, friendship
Rating         : T (PG-13)
Length         : Oneshot (1.495 words for story)
Language      : Bahasa Indonesia
Author         : ZPBellani
            -FB Link         : www.facebook.com/ZPBellani.is.Me/
            -Twitter          : www.twitter.com/ZPBellani/
            -Site Link       : www.zpbellaniblog.blogspot.com
Ichiban         : Inoo Kei (I guess)

Reason join this project: Aku hanya ingin memberikan sesuatu untuk seseorang yang membuatku berada di fandom ini, yakni Yamada Ryôsuke.

Disclaimer    :  Hey! Say! JUMP belongs with God, themselves, their families, Johnny Entertainment, and their fans. Other products here belongs with someone outside there. This fanfiction belongs with ZPBellani. I get no material profit by write this fanfiction, so feel free to read.

Summary      : Yamada Ryôsuke adalah seorang public figure yang menyadari bahwa, banyak orang tidak menyukainya yang seringkali menggunjing mengenai dirinya. Bersamaan dengan itu, kegelapan memerangkapnya dan membuatnya putus asa. Tak ada seorang pun yang peduli padanya dan datang untuk menolongnya. Namun apakah memang begitu yang terjadi?





A LIGHT




Namaku Yamada Ryôsuke. Salah seorang anggota Johnny Entertainment dan lebih dari itu, aku adalah anggota Hey! Say! JUMP dan NYC. Beberapa orang menyebutku sebagai ace dalam Hey! Say! JUMP, sehingga aku mendapatkan banyak perhatian dan perlakuan yang baik. Namun keluar dari semua hal itu, banyak orang yang tidak menyukaiku. Banyak orang yang membicarakan hal-hal buruk tentangku.

  Aku tidak perlu melihatnya atau pun mendengarnya secara langsung karena aku tahu. Ya, aku tahu itu semua.

Itu terjadi di mana-mana. Di kalangan staf. Di kalangan penggemar. Di kalangan sesama anggota JE. Bahkan, aku pun pernah mendengar –secara tidak sengaja- beberapa anggota Hey! Say! JUMP pun membicarakan hal buruk tentangku.

Kalau kupikir lagi, itu hal yang wajar. Amat sangat wajar, malah.

Aku menerima terlalu banyak sorotan dari berbagai media atau pun saat manggung. Aku mendapat line song dan shoot yang sangat banyak dalam lagu-lagu idol group-ku. Aku termasuk salah satu yang memiliki penggemar terbanyak dalam JE.

Tapi semua itu bukan aku yang memintanya.

Hal itu terjadi begitu saja dari waktu ke waktu.

Terkadang semuanya begitu hitam-putih untukku. Begitu buram. Begitu tak kumengerti.

Dan disinilah aku berada sekarang. Sebuah lorong tanpa cahaya. Kegelapan menyelimutiku, memelukku erat dan membuatku takut. Aku berlari sejauh dan sekuat yang kubisa, namun cahaya itu tak pernah ada. Aku tidak dapat melihatnya walau hanya setitik. Sebenarnya ini tempat apa?

Namun aku harus terus berlari.

Berlari, berlari, dan berlari sejauh mungkin.

Aku lelah berlari. Kaki-kakiku rasanya sudah lepas karenanya.

Aku dapat merasakannya. Kegelapan yang memekat dan oksigen yang semakin berkurang.

Inikah hukuman yang kudapat karena aku terlalu mengambil spotlight yang seharusnya bukan milikku?

  Inikah rasanya menjadi bukan siapa-siapa yang berada di balik bayanganku?
Sesak.

Menyakitkan.

Mataku memanas. Air mata menetes tanpa kuinginkan. Mengalir sangat banyak layaknya sebuah bendungan yang hancur karena menampung air terlalu banyak. Aku sudah berusaha menyekanya tetapi tidak habis jua.

Seseorang..

Seseorang tolonglah aku..

Bawa aku pergi dari tempat ini..

Pada sisi ini, aku pun menyadari bahwa aku sendirian selama ini. Aku tidak benar-benar punya teman. Semuanya hanya bayangan yang terlalu kuat akan impianku. Selama ini aku selalu sendirian. Tidak ada yang benar-benar tulus menganggapku teman. Tidak juga Yuto atau pun Chinen.

Aku menangis terisak hingga sesak nafas.

Apakah aku akan berada di sini selamanya?

Apakah ini akhir bagiku?

Kupeluk diriku sendiri yang semakin menggigil kedinginan. Hawa udara yang tiba-tiba menurun secara drastis melewati 0.

            “Tasukete kudasai,” [1] pintaku berbisik entah pada siapa.

Aku sudah memutuskan untuk menyerah bersama dengan kegelapan yang semakin menghimpitku begitu kuat. Biarlah aku terus di sini jika, memang itu yang harus terjadi. Toh, tak akan ada yang peduli, walaupun aku menghilang tanpa jejak. Aku hanya akan menjadi debu masa lalu yang terlupakan.

Tapi biarlah aku tetap berharap. Berharap akan adanya seseorang yang datang menyelamatkanku dari tempat antah berantah ini.

            “Tasukete kudasai,” pintaku dengan suara parau karena terlalu banyak menangis. Kurasakan sembab di kedua mataku dan tidak dapat digunakan untuk melihat.

Aku menghela nafas. Tidak akan ada yang datang, pikiranku yang kacau berkata. Tidak ada yang peduli padaku, batinku yang sesak tidak dapat percaya pada apa pun lagi.

Tapi..

            “TASUKETE KUDASAI!” pekikku sekuat tenaga.

.. aku belum bisa menyerah sekarang.

Tidak! Aku tidak boleh menyerah, meskipun tidak ada yang datang menyelamatkanku. Aku harus berusaha sendiri.

Sebuah cahaya yang sangat kecil di arah timur mengalihkan keputus asaanku.

Apakah itu cahaya yang akan menolongku kembali ke duniaku?

Apakah dengan mengikuti cahaya itu aku akan bisa kembali ke keseharianku?

Tapi bagaimana kalau cahaya itu hanya meyesatkanku saja?

Apakah aku harus berjalan ke sana atau tidak?

Apakah yang akan aku pilih saat ini?

Beribu-ribu pertanyaan bergaung dalam kepalaku. Aku meremas kepalaku yang kesakitan, frustasi. Dan semua pertanyaan ini bermuara pada satu titik..

Setelah aku sampai di cahaya itu dan jika aku bisa kembali ke dunia, akankah ada yang mengharapkan kekembalianku? Apakah yang akan terjadi jika tidak ada seseorang pun yang menginginkan aku kembali?

Aku bisa mendengar suara memanggilku dari arah cahaya yang semakin meredup. Suara-suara yang begitu menghangatkan hatiku. Perasaan apa ini? Apakah ada yang menginginkan aku untuk kembali?

Suara itu bersahut-sahutan memanggil namaku. Berteriak memanggil namaku layaknya orang yang sudah putus asa.

Tanpa pikir panjang lagi aku bangkit dari keputus asaanku. Berlari menuju cahaya yang hampir tidak terlihat lagi. Mataku yang sembab dan berkaca-kaca hanya melihat keburaman cahaya. Kaki-kakiku yang semakin lelah mengejar cahaya yang tetap terlihat jauh.

Apakah aku benar-benar terperangkap di sini? Di tempat yang penuh dengan kegelapan abadi dan hampir tidak tertembus. Sendirian dan kedinginan, hampir membeku.

Apakah aku akan mati disini?

Suara itu kembali menggema. Namaku kembali dipanggil, kali ini lebih keras dan berulang secara kontiniu.

  Aku harus terus berlari menggapai cahaya itu, meski jika itu berarti selamanya.

            “Yama-chan!”

            “Yamada!”

            “Ryô-chan!”

Aku membuka mataku dengan susah payah.

Cahaya yang sangat terang menyergap masuk ke dalam indera pengelihatanku. Aku menyipitkan mataku dan dapat melihat bayangan beberapa sosok manusia di sekitarku yang terlihat sangat kabur.

            “Yama-chan, apa kamu sudah sadar?” seseorang bertanya padaku, namun aku tidak dapat melihat wajahnya.

Seseorang menimpali. “Sepertinya belum sepenuhnya.”

            “Bagaimana ini?” seorang yang lain terdengar panik.

            “Jangan katakan kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”

Kurasakan pelukan pada tubuhku. Walau buram, aku tahu seseorang sedang memelukku sambil menangis.

Siapa?

Ini di mana?

Belum sempat aku membuka mulutku untuk bicara, aku kembali terjatuh ke dalam pekatnya kegelapan.


Aku membuka mataku saat kurasakan sesuatu yang basah dan lembut menyentuh keningku. Aku menoleh ke samping dan menemukan Chinen sedang merendam handuk putih kecil. Ia terkejut ketika mata kami bertemu pandang.

Senyum terkembang sedikit demi sedikit. “Minna, [2] Yama-chan sudah siuman!” ia langsung berteriak. Chinen melihatku dengan khawatir. “Kamu baik-baik saja?”

Aku hanya memberikannya, “Un.” pelan, tapi kuyakin ia dapat mendengarnya.

Derap kaki terdengar dari arah pintu. Aku bisa melihat semua yang berada di sana menghambur ke arahku. Duduk di pinggiran kasur sambil melihatku. Banyak ekspresi yang mereka perlihatkan. Khawatir, lega, panik, dan yang lain.

Yabu angkat bicara. “Kamu baik-baik saja, Yama-chan?” tanyanya khawatir.

Pertanyaan yang sama dalam kurun waktu lima menit terakhir. Aku mengangguk. “Lumayan,” jawabku.

            “Kamu membuat kami panik,” ucap Yuto cepat. Ia menunjuk kelima anggota BEST dan berkata, “Kau tahu, mereka-mereka ini sampai berniat untuk membawamu ke rumah sakit agar kamu segera dirawat di UGD karena kamu pingsan sangat lama.”

            “Hei, kami hanya ingin yang terbaik untuk teman kami,” balas Hikaru yang diikuti anggukan Yuya.

            “Tapi itu kan berlebihan,” sindir Yuto.

Daiki tak mau kalah. “Bagaimana kalau Yama-chan tidak kunjung bangun, kau pikir siapa yang bisa menggantikannya?”

            “Tapi itu tetap berlebihan,” ucap Yuto dan meminta dukungan dari teman dekatnya. “Ya, kan, Keito?”

Semua anggota BEST memandang Keito dengan tatapan membunuh yang berhasil membuat Keito tidak tahu harus mendukung siapa.

            “Ya, agak berlebihan,” jawab Keito pada akhirnya.

Inoo mengerucutkan bibirnya. “Kau selalu mendukungnya, Keito.”

Aku mengerjapkan mataku. Aku tidak mengerti situasi ini. Sebenarnya apa yang terjadi, sih?

Chinen yang duduk di sebelahku menepuk tangannya. “Hei, kalian malah membuatnya semakin pusing,” ucapannya berhasil menyita perhatian ketujuh laki-laki yang bertingkah kekanak-kanakan meski di tahun ini umur mereka sudah kepala dua.

Aku memutuskan untuk bertanya, “Sebenarnya ada apa?”

            “Kamu tak sadarkan diri selama lima hari,” jawab Chinen yang kini mengukur suhu tubuhku.

Yabu menambahkan, “Kemarin kamu sadar selama dua menit.”

            “Tapi setelahnya pingsan lagi,” lanjut Yuya.

Daiki berdecak kesal. “Kamu sungguh membuat semua orang khawatir.”

Apa ini?

Semua orang memperhatikanku?

Mereka peduli padaku?

Apakah ini hanya ilusi?

Yuto memukul kepalaku. “Jangan bengong sampai arwahmu keluar dari tubuh begitu! Sadar, woy!”

Aku meringis sembari mengusap bagian kepalaku yang sakit terkena pukulan Yuto. Berarti ini kenyataan.

Kulihat senyuman pada wajah mereka yang membuat diriku sendiri tersenyum.

            “Arigatou gozaimasu,” [3] ucapku pelan dan dapat kulihat mereka kebingungan. “Kemarin aku merasa berada di dalam sebuah kegelapan yang membuatku putus asa. Aku berusaha berlari, namun aku tidak berhasil sampai di ujung kegelapan itu. Aku berusaha mencari secercah cahaya, namun tidak ada yang muncul.” Aku menarik nafas dan menghembuskannya. “Pada suatu ketika, aku sudah menyerah.. setitik cahaya yang sangat kecil muncul. Aku berlari kesana, hingga akhirnya aku sampai dan melihat semua dalam keburaman.

            “Aku bisa mendengar suara namun saat aku ingin bicara..” Air mata jatuh ke pipiku. “.. aku kembali tertarik ke dalam kegelapan yang menyesakkan dan dingin itu. Hingga akhirnya aku berhasil kembali ke sini tadi.”

            “Untung kau lari ke cahaya, kalau tidak kau pasti mati,” Hikaru berkata dalam nada bercanda yang langsung menerima jitakan dari yang lain. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. “Baik-baik. Aku tahu ini bukan saatnya bercanda.”

Chinen tersenyum tulus padaku. “Yang penting sekarang kamu sudah sadar dari pingsan berhari-harimu.”

Dan yang lain pun tersenyum padaku. Itu bukan senyum penuh kepalsuan.

Aku tidak sendiri di sini.

Semuanya mempedulikanku. Semuanya ingin aku berada di sini.

Tanpa kepura-puraan.

Aku menunduk. “Gomen nasai.” [4]

            “Eh?”

            “Maaf, karena aku pasti membuat kalian tidak nyaman,” ucapku pelan merasa sangat bersalah. Lebih baik aku mengatakannya sekarang daripada terlambat. “Maaf, karena aku menerima spotlight terlalu banyak dan hampir menyisakan tidak ada ruang untuk kalian mendapatkan sorotan tersebut. Maafkan aku.”

Aku merasakan tepukan lembut di bahuku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Keito tersenyum padaku. “It’s okay. We’re team, right?” [5]

            “Tim saling mendukung dan membantu,” ucap Inoo yang juga tersenyum.

Yuto menepuk pundakku yang lain. “Ketika salah satu dari kita mendapatkan spotlight, ia akan membawa nama seluruh Hey! Say! JUMP. Jadi secara tidak langsaung, semua pun mendapatkan sorotan, ya kan?”

Kulihat semuanya tersenyum setuju dengan kata-kata mereka.

  I am not alone in here.

おわり






Memo:
[1] 助けて下さい (Tasukete kudasai) [Bahasa Jepang] = Tolong
[2] (Minna) [Bahasa Jepang] = Semuanya; Teman-teman
[3] 有り難う御座いマす (Arigatou gozaimasu) [Bahasa Jepang] = Terima kasih banyak
[4] ご免なさい (Gomen nasai) [Bahasa Jepang] = Maafkan aku
[5] It’s okay. We’re team, right? [Bahasa Inggris] = Tak masalah. Kita satu tim kan?


A/N: Okay, I don’t know what I gonna say. --“ Sebenarnya ketika diumumkan bahwa deadline pengumpulan fanfic ini dimajukan dua hari, aku sudah menetapkan diri untuk mundur. “Lebih baik mundur ajalah, apalagi aku belum nulis sedikit pun,” pikirku saat itu. Namun ketika tadi sore pengingatan deadline dikumpulkan besok, entah bagaimana aku kembali ingin ikut serta. Dengan berbekal putus asa, aku mempertanyakan diri sendiri, “Am I must give up or keep fighting? Aa!! The deadline is tomorrow but I haven’t write anything~” Tetapi temanku muncul dan mengatakan, “Nothing impossible, zp. I know you can do anything. Ganbatte!” Jadi aku berpikir betapa baiknya temanku mempedulikanku dan lahirlah fanfic ini. ^^ Aku sendiri mendapatkan struck pada bagian judul dan sinopsis karena aku menulis datanya belakangan (biasanya aku menulisnya duluan). So, this is it.. A Light.

Writer Desire: I just want to say.. お誕生日お目出度う山田凉!! Hope you’ll always get the best from God.


No comments:

Post a Comment