NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Series] Dear God of Ruthlessness (6/6) by Hishiyama Sakura



Chapter Six: Losing


Aku masih ingat sorot mata itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat ada seseorang yang menculik aku dan Suke. Orang itu yang sudah membunuh Okaasan dan mencekik Suke sampai pingsan. Orang dengan sorot mata itu.

Hisashiburi,” suaranya yang berat menyapaku.

“Apa maumu?!” bentakku.

“Hahaha....” orang itu tertawa sampai mulutnya terbuka lebar.

“Masih bertanya,” dia beranjak dari sofanya kemudian menghampiriku. Tangannya yang besar mencengkeram rahangku. “Tentu saja nyawamu,” lanjutnya.

Ough... Apa jantungku tak bisa berdetak lebih tenang? Demi Tuhan. Apa yang akan terjadi padaku sekarang? Apa hidupku akan berakhir di tangan orang ini seperti yang dialami Okaasan dulu?

“Kau yang mengirim surat itu?”

“Ya. Ta kusangka kau akan sebodoh itu mempercayainya dan datang ke sini.”

Aku tersenyum licik dalam hati. Kita lihat siapa sebenarnya yang bodoh!
“Di mana kau sembunyikan ayahku?”


“Ayahmu, huh? Dia sudah lama mati! Dia laki-laki keparat yang sudah merebut Nanako dariku. Dan kau adalah anak dari laki-laki keparat itu! Nanako dan ayahmu adalah dua orang brengsek! Mereka hina!” suaranya yang berat menggema di ruangan yang cukup gelap itu.

“Bicara apa kau?!” aku membentaknya.

“Diam!” Laki-laki itu berteriak tepat di depan hidungku. “Bisa-bisanya kau memasang wajah tanpa dosa seperti itu. Apa kau tahu? Ayahmu adalah adik kandungku.”

Aku tercengang. Adik? Berarti orang ini adalah pamanku sendiri?

“Dia merebut segalanya dariku. Merebut kekasihku, jabatanku, hartaku, semuanya. Orang tua kami lebih memihak orang keparat itu. Orang licik yang sudah merebut kebahagiaanku.” Laki-laki itu menggeleng-geleng kepalanya. “Aku ingin membalas dendam pada semua orang yang sudah merebut kebahagiaanku. Dan kini saatnya aku menghabisimu, juga adikmu. Sudah saatnya aku mengakhiri ketidakadilan yang Tuhan berikan padaku!”

Demi Tuhan! Apa-apaan ini!? Kenyataan ini sulit sekali kuterima. Jadi orang ini ingin membunuh aku dan Suke karena perbuatan ayah di masa lalu?

“Apa kau siap untuk menyusul ayah dan ibumu ke neraka, bocah ingusan?!” orang itu mengempaskanku dengan kasar ke lantai.

 Laki-laki itu mengarahkan pistol ke dahiku. Kini aku benar-benar di antara hidup dan mati!

“Bunuh mereka sebelum mereka yang membunuhmu.”

Kata-kata Okaasan kembali terngiang di telingaku. Apa ini saatnya?

Tanganku merayap diam-diam mencoba mengambil sesuatu di saku celanaku.

Dor!

Clink!

Suara tembakan menggema. Peluru menembus dinding. Meleset. Orang itu meleset menembakkan pistolnya ke dinding saat aku menyabetkan pisau ke tangannya. Dengan cepat aku menendang tangannya dan pistol pun terlepas. Aku mencoba mengambilnya namun dia menendang perutku dan aku meringkuk kesakitan. Kini pistol itu sudah ada di tangannya lagi. Kembali mengarah ke dahiku.

Napasku pendek-pendek. Ah... Tidak! Pikiranku harus terus berjalan. Apa yang harus kulakukan?

Aku memejamkan mata. Menarik napas panjang dan berpikir mungkin ini adalah napasku yang terakhir.

Dia menarik pelatuknya dan sebentar lagi aku benar-benar akan....

Ctlek!

Hah?

“Sial! Ada apa dengan benda ini?” orang itu menjauhkan kembali pistolnya dariku. Sekarang!

Dak!

Aku menendang tangannya dan pistol itu kembali terlempar jauh.

Set!

Aku menyabetkan pisau ke lehernya. Dia geram dan berderap menghampiriku.

Kutusukkan pisau ke ulu hatinya sebelum dia bertindak lebih jauh. Darah mengalir dan berceceran melumuri tanganku.

Beberapa orang yang mendengar keributan segera memasuki ruangan itu.

“Tuan!”

Aku melirik ke arah mereka dan segera melarikan diri. Orang-orang itu menghampiri laki-laki yang sudah bersimbah darah di lantai.

***

Aku segera kembali ke rumah dan tergesa-gesa membuka pintu. Aku memanggil Suke dengan keras, namun ia tak menjawab. Ketika aku hendak ke luar untuk mencarinya, seorang tetangga memberitahuku untuk segera ke rumah sakit. Dia bilang ada yang menemukan Suke tergeletak tak bernyawa dengan keadaan mengenaskan di ujung gang.

Dengan langkah gamang aku menyusuri koridor rumah sakit. Sampai di depan sebuah kamar mayat, seorang petugas mempersilakan aku masuk dan melihat sendiri mayat yang mereka duga sebagai Suke.

                “Sukeee!!” teriakku. Aku menggeleng tak percaya. Sesosok mayat dalam kantung mayat itu benar-benar Suke. “Uso! Ini pasti mimpi!”

          Aku berlari ke luar ruangan dan berteriak-teriak di koridor rumah sakit. Kenapa Suke harus mati? Ini karena aku tidak ada bersamanya dan menjaganya. Ini salahku! Hiks... Tangisanku menggema di koridor rumah sakit. Tuhan, apa lagi yang Kau rencanakan setelah ini?

***

          Seorang laki-laki setengah baya terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa balutan perban di badannya. Lalu seorang pemuda berumur enam belas tahun masuk ke kamar rawat dan menghampiri laki-laki itu. Ia membungkukkan badannya memberi hormat.

“Aku sudah menjalankan tugasku, Tuan.”

Laki-laki itu melirik sekilas. “Apa dia sudah benar-benar mati?”

“Ya. Aku bisa pastikan.”

“Apa kau meninggalkan jejak?”

“Tidak. Aku bekerja dengan rapi.”

“Bagus.”

Anou, bisakah kau berikan upah yang kau janjikan?” pemuda itu berbicara pelan dan sedikit takut.

Tiba-tiba para body-guard yang sedang berjaga di sana mengerubungi pemuda itu dan menyeretnya keluar.

“Hei, apa-apaan ini?” pemuda itu berontak.

“Lihat keadaan! Tuan Kagawa masih terbaring di rumah sakit dan kau seenaknya meminta upah?”

“T-tapi, aku benar-benar membutuhkan uang itu sekarang. Kumohon...”
Tanpa ampun mereka mengempaskan tubuh pemuda itu di lantai koridor rumah sakit.

“Kumohon... Adikku harus segera dioperasi. Berikan aku uangnya sekarang. Aku mohon....” pemuda itu memegang kaki salah seorang body-guard, tapi body-guard itu menendangnya dengan kasar.

“Siapa peduli dengan adikmu!” hardiknya.


Pemuda itu menunduk dan menangis. Kami-sama, tasukette...

Ponsel di saku celananya bergetar, ia segera menjawab telepon.

Hai,” sapanya lemas.

“Kou, apa kau sudah mendapatkan uangnya?”

“Maaf, Bu. Aku belum mendapatkannya.”

“Ah, sayang sekali. Sepertinya operasi adikmu masih harus ditunda,” terdengar nada putus asa di seberang telepon. Menyakiti telinga dan hati Kou.

“Halo, Oniichan?” suara kecil terdengar menelusup telinganya.

“Yuuko, maafkan Oniichan.” Kou terisak.

Iie, tidak apa-apa, Oniichan. Aku tidak sakit, kok. Ke sinilah. Temui aku. Aku ingin bermain dengan Oniichan,” suara lemah itu kini terdengar lebih riang.

Hm, Oniichan akan segera ke sana. Tunggu, ya. Kau mau dibawakan apa?”

“Tidak mau apa-apa. Oniichan cepat ke sini saja,” katanya bersemangat.

Um, baiklah.”

Terdengar gadis kecil itu mencium Kou dari ujung sana. “Muach. Yuuko sayang Oniichan.”

Hati Kou terenyuh. Air matanya menetes lagi. Seketika rasa bersalah menghampirinya. Sesakit inikah rasa takut kehilangan seorang adik? Apa Ryo merasakan hal ini sekarang? Seperti apa perasaan Ryo setelah dirinya membunuh Suke?  

***

Aku menghampiri Kou yang sedang berjalan lesu dan langsung menatapnya tajam.

“Mau apa kau?”

“Aku tahu kau yang membunuh Suke,”

Kou mengangguk. “Ya.”

Aku menusukkan pisau ke perutnya. “Terimalah ini!”

Kou ambruk. Darah keluar dari perut dan mulutnya. Aku menatap puas ke arahnya. Tanpa kusadari di belakang sana Yuya melihat adegan ini dan langsung menelepon polisi.       

Ketika aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah, sebuah mobil polisi mencegat jalanku. Seorang polisi keluar dan mengarahkan pistol ke arahku. Seorang lagi berjalan ke arahku.

“Kau Yamada Ryo?”

Aku mengangguk.

“Ikut kami!” Polisi itu memborgol tanganku dan menggiringku ke mobil.
Ngiing... Ngiing... Ngiing...

Suara sirine memekakkan telinga mengiringi perjalananku menuju kehidupanku yang baru di penjara nanti.


=The End=




Writer’s desire (message): Never blame on God of anything. He always plan everything well and never be wrong. Our life is decided by ourselves. Be strong or be weak. Life doesn’t get easier, we just get stronger. Kuat dan lemah diciptakan agar bisa saling melengkapi dan melindungi. Hope this story can inspire you. But don’t try the violence scene, PLEASE! It is just story. Always Ganbarimashou! ^_^


For Yamachan, my lovely Otouto, everything the best I wish for you in your 20th birthday *akhirnya kepala dua juga XD* ... Dan yang pentiing,, Sekollahhh donk, nak... Inoo udah jadi sarjana tuh -,-“ *PLAK XD*
**: Big Love for Yamachan :**


Glosarium:
Itadakimasu           : Selamat makan
Iya, gomen            : Tidak, maaf
Sensei                   : Panggilan kepada orang yang dihormati, biasanya guru atau dokter
Okaasan                : Ibu
Tasukette              : Tolong aku
Boku wa dame       : Aku tak berguna
Ohayou                 : Selamat pagi
Dare                      : Siapa
Hisashiburi            : Lama tak bertemu
Kami-sama            : Tuhan
Oniichan               : Kakak (laki-laki)



No comments:

Post a Comment