Title : Don’t leave me alone
Cast : Ryosuke Yamada as Ryosuke yamada
Other cast : Alsicika wang as Aru
Chinen Yuri as Chinen
Yuri
Yaotome Hikaru
Genre :
Romance
Rating :
General
Length :
Oneshot
Language : Bahasa
Indonesia
Author :
Nikhe a.k.a BMR
- FB Link :
http://www.facebook.com/nikhe.salahlagi
- Twitter :
https://twitter.com/NFmaknae
- Site Link :
http://kheybee.wordpress.com/
- Ichiban :
Morimoto Ryutarou
- Reason join this
project:
* Dulu ichibanku Yamada
Ryosuke.
* Aku ingin memberi
sedikit hadiah untuk ultahnya Yamada Ryosuke
* Dan tertarik dengan
hadiahnya.
Disclaimer : semua jalan cerita ini milik saya dan
dunia khayal saya. Morimoto Ryutarou milik author dan Tuhan semata. Sedangkan
sembilan member lain adalah aset Jhonny Entertainment. Saya yakin nggak akan
ada yang mau nge-plagiat karya jelek ini.
Summary :
Miracle will be happen if you believe
A/N : selamat membaca dan semoga kalian suka
Aru mempercepat langkahnya
memasuki sebuah kafe dengan desain klasik dengan beberapa kayu jati tua
dijadikan hiasan di pintu masuk. Gaun putih sepanjang lutut yang baru saja
dibelinya kemarin mebalut tubuhnya yang mungil, rambutnya yang terurai
panjang,melayang di dihembus angin malam. Aru memilih duduk di sebuah kursi
panjang dengan meja berbentuk oval di samping jendela yang menghadap jalan
raya. Dia memesan segelas cokelat hangat untuk menemaninya, sesekali dia
merapikan rambutnya.
Aru memandang arloji kecil
di pergelangan tangan kirinya, lima belas menit sudah berlalu namun orang yang
di tunggunya tak kunjung datang.
Dimana dia? Apa dia lupa
bahwa dia meminta bertemu hari ini?
Gumam Aru dalam hati.
Tiba-tiba semua lampu di
ruangan mati, hanya cahaya lampu temaram dari pinggir jalan yang masuk menembus
dari beberapa jendela. Aru bergidik, merapatkan diri ke dinding di sebelahnya.
Tangannya meraih tasnya dan memeluknya dengan erat. Ketika dia berdiri, semua
lampu hidup kembali. Dilihatnya Yamada memegang sebuah bucket mawar merah segar
ditangannya.
Yamada berjalan
menghampiri Aru yang masih berdiri keheranan. Yamada memegang tangan Aru sambil
memberikan buket bunga tersebut padanya.
“Ini lima belas tangkai
mawar untuk mengganti lima belas menit yang kau habiskan untuk menungguku.”
Ujar Yamada sambil tersenyum.
Aru mengambil buket mawar
itu dengan seulas senyuman manis, ekspresi bahagia tak mampu disembunyikan dari
raut wajahnya. Yamada memang selalu mampu menakhlukkan hati Aru.
Yamada memesan menu pasta
kesukaan Aru, tak lupa ia memesan hidangan penutup. Puding strowberry dengan
coklat cair didalamnya terhidang dengan cantik di atas meja.
“Aru-chan, kau ada acara
setelah ini?” Tanya Yamada sambil meneguk segelas wine.
“Tidak Ryo-chan, memangnya
mengapa?” Aru balik bertanya.
“Aku ingin menunjukkan
sesuatu padamu.” Yamada menatap wajah Aru dengan pasti.
Setelah makan malam Yamada
melesatkan mobilnya melaju di jalanan Tokyo, salah satu kota tersibuk di dunia.
Tak berapa lama Yamada menghentikan mobilnya di parkiran sebuah gedung pencakar
langit, Yamada membukakan pintu mobil untuk Aru dan segera menarik tangan gadis
yang bertubuh mungil itu. Aru mengikuti Yamada tanpa banyak bertanya.
“Mana bunga mawar yang
tadi kuberikan padamu?” Yamada menghentikan langkahnya di pertengahan lobby
yang luas itu.
“Aku meninggalkannya di mobil
Ryo-chan. Kau terlalu terburu-buru menarik tanganku tadi, aku tak sempat
mengambilnya.” Ujar Aru sambil menolehkan wajahnya ke arah Yamada.
Yamada memandang Aru
dengan tatapan datar. Aru tahu benar arti pandangan itu, Yamada memang tidak
suka jika Aru agak ceroboh terhadap barang pemberiannya.
“Baiklah. Tunggu aku, aku
akan segera mengambilnya,” Aru melepaskan genggaman tangan Yamada,” berikan
kunci mobilnya.”
Yamada memberikan kunci
mobilnya, dan Aru segera berbalik arah menuju parkiran yang tak cukup jauh dari
tempat ini. Yamada menggelengkan kepala, melihat tingkah polos Aru,
memandanginya berlari kecil ke arah luar.
Yamada berjalan
menghampiri kursi yang disediakan gedung itu untuk pengunjung, namun belum
sempat ia duduk. Tiba-tiba…,
Terdengar dencitan rem
mobil mendadak dari arah depan pintu masuk gedung.
“Aaaaaaaaaaaa…,”terdengar
suara teriakan panjang dari wanita.
BRRRRRUUUKKKKK,,, kali ini
terdengar sesuatu terjatuh dari tempat yang sama.
Yamada segera berlari
keluar mencari arah sumber suara. Dilihatnya sesosok tubuh seorang gadis
terkulai lemah di aspal, tepat disamping mercedes berwarna hitam. Wajah Yamada
berubah menjadi tegang seketika, lidahnya kelu melihat pemandangan yang
terhampar didepannya.
Baju yang berwarna putih
seketika berganti warna menjadi merah hati, darah kental mengalir dari kepala
dan beberapa bagian tubuh lainnya. Kelopak mawar merah berhamburan menyatu
dengan aliran darah yang berceceran. Orang-orang berkerumun mengelilingi tubuh
gadis yang bersimbah darah tersebut.
Yamada memecah kerumunan
orang-orang dan mendekati gadis itu. Kakinya lemas seketika, jiwanya masih tak
mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis yang beberapa menit lalu masih ia
genggam tangannya sekarang terkapar tak berdaya. Sebisa mungkin Yamada menopang
tubuhnya. Yamada dekap dengan erat tubuh gadis itu, menenggelamkan gadis yang
ia cintai dalam pelukan hangatnya.
“Maafkan aku sayang.
Maafkan aku.” Kata-kata itu berulang kali keluar dari bibir Yamada diiringi air
mata hangat yang tak mampu ditahannya.
Tangannya bergetar hebat
ketika mengusap kening kekasihnya, wajahnya yang selalu dihiasi dengan senyuman
berubah menjadi pucat pasi. Yamada menyandarkan tubuh gadis itu di pangkuannya,
mata gadis itu terbuka sayu memandang wajah Yamada yang penuh kekhawatiran.
“I-ini buket bunga
darimu.” Ujar Aru pelan sambil memberikan buket bunga mawar yang kelopaknya
telah berguguran, menyisakan tangkai yang dipenuhi duri.
“Baka, aku tidak butuh
bunga ini. Aku bisa membeli seratus bahkan seribu bunga yang sama. Tetapi
nyawamu siapa yang mampu menebusnya?” Yamada setengah berteriak pada Aru.
Aru meraih tangan Yamada
dan menggenggamnya dengan erat. “Aku baik-baik saja.” Aru memaksakan senyum
sambil menahan sakit yang teramat sangat di kepalanya.
“Baka-baka-baka. Kau tidak
cukup hebat untuk membohongiku.” Yamada kembali memeluk Aru, membelai rambutnya
yang basah oleh darah dengan sangat hati-hati.
Yamada tahu benar apa yang
dirasakan kekasihnya, ingin Yamada bertukar posisi dengannya. Hati kecil Yamada
sungguh tak tega dengan apa yang di alami oleh Aru, tubuh kecil dengan luka
yang begitu banyak.
Pria pengendara mobil
mercedes yang menabrak Aru turun dari mobilnya dengan kondisi yang tak kalah
syok.
“Cepat bawa dia ke rumah
sakit,” pria itu mendekati Yamada dan Aru, “pakai saja mobilku.”
Tanpa pikir panjang Yamada
segera mengangkat tubuh Aru ke mobil, menyejajarkan posisi Aru senyaman
mungkin. Aru masih dalam kondisi setengah sadar ketika mobil menembus jalanan
menuju rumah sakit. Kepala Aru berada dalam pangkuan Yamada, tangan Yamada
semakin menggenggam erat tangan Aru.
“Kau harus bertahan gadis
bodoh, kau tidak boleh meninggalkan aku. Aku tak akan memafkanmu jika kau
melakukannya.” Yamada berbisik lembut ke telinga Aru, sedangkan hatinya
melantunkan do’a kepada tuhan untuk keselamatan kekasihnya.
Aru masih bisa mendengar
semangat yang diberikan Yamada, namun rasa sakit yang diarasakan menyedot semua
perhatian alam bawah sadarnya.
Sesampainya di rumah sakit
Yamada menemani Aru menuju ruang UGD bersama dokter dan beberapa perawat.
Perlahan Aru melepaskan genggamannya namun Yamada menggenggamnya lebih kuat.
Tak ada satu kata terlontar, Yamada benar-benar kehabisan kata-kata. Yamada
panik dan benar-benar cemas atas keselamatan Aru. Ketika sampai di pintu UGD
genggaman tersebut harus benar-benar terlepas, mempercayakan Aru kepada dokter
dan Tuhan sepenuhnya.
Baju Yamada tak pelak
penuh dengan noda darah, tak jauh berbeda dengan tangannya. Yamada terduduk
lemas di lantai depan pintu UGD, orang-orang yang berlalu lalang melihat Yamada
dengan tatapan kasihan. Yamada bingung apa yang masih bisa dilakukannya, namun
seketika Yamada memantapkan kakinya mencari-cari sosok tersangka yang harus
bertanggung jawab atas semua ini.
Pria berusia 30 tahun
berjalan dari arah koridor setelah membayar administrasi kepada pihak rumah
sakit. Yamada yang dipenuhi amarah melayangkan tinjunya ke arah pria itu.
“Kau tahu apa yang baru
saja kau lakukan, haaahhhhh?” Yamada menarik kerah baju pria tersebut.
Pria itu terlihat pasrah
atas apa saja perlakuan yang akan diterimanya.
“Yama-chan hentikan.”
Chinen tiba-tiba datang melerai dan menarik Yamada menjauhi pria itu.
“Lepaskan aku,” Yamada
meronta berusaha mendekati pria itu lagi,”aku harus memberinya pelajaran atau
melaporkannya dengan polisi.”
Chinen membanting tubuh
Yamada ke lantai. “Kau kira keadaan Aru-chan akan kembali seperti semula jika
kau menghajarnya? Lagipula dia sudah bertanggung jawab, cukup.”
“Ini semua salahku. Andai
saja dia tidak pergi mengambil bunga itu, semua ini tidak akan terjadi.” Yamada
membenturkan kepalanya ke dinding.
“Sudahlah,” Chinen memeluk
Yamada,” Aru-chan tidak akan senang jika melihatmu seperti ini.”
Yamada kembali terkulai
lemah di lantai, meringkuk merapatkan diri di kaki Chinen.
“Kuatkan dirimu.” Chinen
menepuk pundak Yamada “Aku langsung mengikutimu, ketika melihat kau mengangkat
Aru ke dalam mobil pria itu.”
“Terima kasih, Yurii. Kau
mau menemaniku.” Yamada semakin meringkuk.
***
Yamada terbangun dari tidurnya,
dilihatnya Aru masih belum sadarkan diri. Masker oksigen tepasang dihidung dan
mulutnya, serta beberapa selang infus di kedua lengannya. Sudah tiga hari Aru
terbaring di rumah sakit dan belum sadar sama sekali. Yamada merapikan selimut
Aru dan membelai lembut rambutnya, namun perhatiannya teralih pada sosok yang
berdiri di samping Aru.
Sesosok pria dengan wajah
datar yang memiliki dua gingsul menatap Aru dengan tajam. Kedua bola matanya
berwarna biru muda, di mata kirinya terdapat sesuatu berbeda. Sebuah cakra
terlihat jelas dari caranya mengedipkan mata. Sudut bibir kanannya mengangkat
menciptakan sebuah sunggingan, senyuman dengan aroma tak wajar. Aroma kematian.
Sosok laki-laki itu mengenakan pakaian hitam dengan celana panjang lengkap
dengan topi fedora yang bertahta di kepalanya.
“Siapa kau?” Yamada
mendekati sosok itu. Namun dia mundur beberapa langkah setelah melihat bahwa
pria itu tidak berjalan seperti dirinya. Dia mengambang beberapa centi dari
lantai.
“Kau bisa melihatku?”
laki-laki itu menoleh ke arah Yamada dengan tatapan heran.
“Ten-tentu saja,”Yamada
agak gugup,”apa yang kau lakukan disini?”
“Sudah seharusnya aku
berada disini, melakukan tugasku dengan benar.” Laki-laki itu kembali
memfokuskan pandangannya ke Aru.
“Tugas? Apa tugasmu?
“Yamada kebingungan.
“Menjemput jiwa yang harus
kembali kepada Sang Pencipta.” Jawab laki-laki itu datar.
“A-apa maksudmu?” Tanya
Yamada terbata-bata.
“Ah, kau ini. Anak manusia
tidak akan mengerti tentang semua ini. Aku memang baru dua tahun dalam
penugasan, tetapi ini pertama kalinya aku mendapatkan pertanyaan seperti ini.
Alsicika Wang, akan meninggal pada pukul 19 malam; di menit ke 17; detik 17.
Tepatnya tiga jam dari sekarang.” Jawab laki-laki itu tanpa ekspresi sambil
memandang arlojinya.
“Kau pasti berbohong. Itu
tidak mungkin.” Yamada menggelengkan kepalanya menahan kakinya yang mulai
lemas. Jawaban laki-laki tersebut menghantam batin Yamada dengan telak.
“Kau mau percaya atau
tidak, itu bukan urusanku.” Laki-laki itu membalikkan badan.
“Omong kosong apa yang
sedang kau bicarakan?” Yamada mendengus kesal dengan apa yang baru saja di
dengarnya.
“Manusia memang sangat
merepotkan.” Laki-laki itu memalingkan wajah ke arah Yamada. “Tugasku hanya
menjemput jiwa wanita ini. Bukan untuk meladenimu.”
“Tunggu. Tak adakah cara
untuk membatalkannya? Kumohon, jangan ambil dia dariku. Hanya dia alasanku
hidup sejauh ini, aku tak mampu membayangkan hidup tanpa dirinya disampingku.
Apa jadinya diriku?” Yamada bersimpuh, tangannya memegang kaki laki-laki yang
melayang di udara tersebut.
“Sudah kukatakan bahwa aku
hanya melakukan tugasku. Aku tidak punya wewenang untuk memperpanjang umur
manusia.”
“Tidaakk,”suara Yamada
memenuhi ruangan,”kau tidak boleh mengambilnya.”
Laki-laki itu memandang
yamada dengan pasti. Tak lama kemudian laki-laki itu mengangguk pelan.
“seberapa berarti dia
bagimu?” Tanya laki-laki itu.
“Jika kau memang
benar-benar ingin membawanya, maka bawalah aku ikut bersamamu juga. Tak ada
artinya hidupku ini tanpa dia.” Yamada menitikkan air mata.
“Bagaimana mungkin,
sekarang waktumu belum tiba.” Laki-laki itu menyerngitkan keningnya.
“Kumohon, lakukanlah
sesuatu.” Yamada sama sekali tak mengubah posisi bersimpuhnya.
“Lepaskan aku.” Laki-laki
itu mencengkram erat tangan Yamada agar Yamada berhenti merengek di kakinya.
“Sungguh, aku
menyayanginya. Tukarkan saja nyawaku padanya.”
Laki-laki itu tertawa.
“Baka,terima saja nasibmu.”
“Demi Tuhan, aku sangat
mencintainya.” Ucap Yamada dengan suara bergetar penuh ketakutan akan
kehilangan.
Laki-laki itu menatap
tajam ke mata Yamada. “Baiklah.” Jawab laki-laki itu pelan. “Aku akan memberimu
satu kesempatan.”
“Benarkah?” Yamada
menghapus air matanya dan langsung berdiri.
“Kau yakin bisa
melakukannya?” Laki-laki itu tersenyum sinis.
“Apa yang harus ku
lakukan?” Tanya Yamada antusias.
“Jiwa Alsicika Wang, atau
yang lebih sering kau panggil Aru-chan sekarang dalam proses pemurnian. Dia
berada di alam paralel sedang dalam penantian hari kelahirannya kembali. Jika
kau mampu membujuknya untuk kembali ke badannya sebelum waktu kematiannya, maka
dia akan tetap hidup. Keinginannya untuk tetap hidup akan memberikan kekuatan
terhadap apa yang telah dituliskan.” Laki-laki itu mendesah, menatap Yamada
dalam mengambil keputusan.
“Baiklah, akan aku
lakukan.” Yamada menjawab dengan pasti.
Laki-laki itu kembali
tersenyum sinis.
“Ini bukan pekerjaan
mudah, jika kau menemuinya dia tidak akan mengingatmu sama sekali.” Sambung
laki-laki itu.
Yamada menunduk dan
memantapkan pilihan. “Aku menyanggupinya.”
“Wow, aku akui
keberanianmu.” Laki-laki itu mengangkat dagu Yamada dengan tangannya.
“Sudah. Katakan saja apa
yang harus aku lakukan, kau membuang banyak waktuku.” Ujar Yamada dengan nada
agak sedikit tinggi.
“Tetapi jika gagal. Kau
tidak akan bisa bertemu dengannya lagi dalam kesempatan apa-pun, bahkan
kehidupan kedua kelak. Segala sesuatu itu ada harga yang harus kau bayar.”
“Aku siap.” Jawab Yamada
tanpa ragu.
Tak ada lagi yang
dipikirkan Yamada, persetan dengan kehidupan kedua. Hidup tanpa Aru jauh lebih
mengerikan baginya. Mata Yamada berbinar mengetahui bahwa harapan Aru bisa
kembali masih ada, jiwanya sedikit pulih dari semua beban berat yang dia
rasakan.
Laki-laki itu menggerakkan
tangannya ke kepala Yamada, membacakan beberapa mantera dengan bahasa yang sama
sekali Yamada tidak mengerti. Perlahan mata Yamada terpejam dan badannya terasa
semakin ringan, Yamada merasakan hembusan angin di sekitarnya.
Yamada perlahan membuka
matanya dan menemukan dirinya tengah bersandar di bawah pohon. Tempat ini tak
asing bagi Yamada, jalan ini sering di laluinya ketika dia hendak pergi
bekerja. Yamada mencoba bangkit dari posisinya, namun dari arah berlawanan
datanglah seorang anak kecil yang tengah berlari. Belum sempat Yamada mengelak
anak tersebut sudah menembus badan Yamada.
Mengapa anak itu tidak
melihatku? Apa aku ini sekarang hanyalah sebuah Roh?
Ucap Yamada lirih.
Tak jauh dari tempat
Yamada berdiri dilihatnya sesosok gadis tengah memandang ke dalam toko roti
yang cukup terkenal di kota itu.
Aru. Apa yang kau lakukan
disana? Apakah kau masih mengingat toko roti favoritmu?
Lagi-lagi Yamada berbicara
sendiri.
Yamada berjalan
menghampiri Aru yang sedang berdiri, dia mengenakan gaun yang sama dengan yang
dipakainya pada malam itu. Gaun itu kembali menjadi putih bersih tanpa noda
darah setitik pun. Yamada berdiri tepat disamping Aru. Aru hanya melemparkan
sebuah senyuman kecil dan berjalan meninggalkannya. Yamada berdiri mematung
melihat senyuman Aru, senyuman yang sangat dirindukannya.
Kepergian Aru langsung
disusul oleh Yamada, dia tahu dia tak boleh menyia-nyiakan waktu barang sedetik
pun. Aru kembali berhenti di depan kafe tempat terakhir yang dikunjunginya
semasa hidup dengan Yamada.
“Kau ingin makan?” Tanya
Yamada.
“Tidak.” Jawab Aru pelan
sambil menoleh ke arah Yamada.
Tiba-tiba, hasrat Yamada
membujuknya untuk ke dalam. Kaki Yamada menuntunnya untuk memasuki Kafe
tersebut, mengingat kembali kenangan yang terukir di sana. Tempat duduk yang
biasa di pakai Aru, menu makanan kesukaan Aru. Semua kenangan itu tak akan
pernah bisa tergantikan. Cukup lama Yamada terdiam memandangi sudut demi sudut
kafe tersebut. Masih ada sedikit rasa tidak percaya dibenak Yamada dengan semua
situasi yang tengah berlangsung.
Astaga. Apa yang aku
lakukan?
Yamada memukul keningnya
pelan.
Yamada keluar dari kafe
dan mulai mencari keberadaan Aru yang ditinggalkannya sejak masuk ke dalam
kafe. Yamada berjalan melewati jalan-jalan kecil, menyusuri rute yang biasa
dilaluinya dengan Aru. Namun tak ada jejak keberadaan Aru sama sekali. Yamada
memandang Arlojinya, jam menunjukkan pukul 18:10. Itu berarti sisa waktunya
hanya sejam beberapa menit lagi.
Yamada mempercepat
langkahnya. Hati Yamada berkata bahwa keberadaan Aru takkan jauh dari tempatnya
berdiri saat ini. Taman. Hanya tempat itu yang terlintas dalam pikiran Yamada.
Yamada berlari menuju taman, berharap kali ini tebakannya tidak meleset.
Dengan nafas yang
terengah-engah, Yamada akhirnya sampai di taman. Dilihatnya seorang gadis
tengah duduk di salah satu kursi taman, memandangi bintang di langit. Tanpa
banyak ancang-ancang Yamada langsung mendekatinya dan duduk di sebelahnya,
Yamada tidak mau membuang waktu lebih banyak lagi.
“Kau menyukai tempat ini?”
Yamada memulai pembicaraan.
“Ya. Kau juga?” Aru
mengalihkan pandangannya dari langit ke arah Yamada.
“Tempat ini memiliki
banyak arti untukku.” Jawab Yamada.
“Entahlah, ini pertama
kalinya aku kemari. Namun tempat ini terasa sangat akrab untukku.” Aru
melemparkan pandangannya pada bintang yang tersusun indah di langit malam.
Tentu saja kau akrab
dengan tempat ini. Ini tempat pertama kita bertemu, saat itu kau menumpahkan es
krim ke bajuku. Kau sering memandang bintang disini. Ketika musim semi, kita
sering menghabiskan waktu disini. Kau selalu mengatakan bahwa bunga sakura yang
mekar disini jauh lebih indah jika dibandingkan dengan tempat lain.
Kata-kata itu tertahan di
mulut Yamada.
“Kau tau,ada seorang gadis
yang sangat menyukai tempat ini. Dia duduk di tempat ini sambil melihat
bintang, persis seperti yang kau lakukan.” Yamada membuka lagi lembaran
kenangan yang disimpannya.
“Sepertinya dia sangat
berarti bagimu.” Timpal Aru.
“Sangat istimewa.” Jawab
Yamada.
“Dimana dia saat ini?”
“Dia sedang menjalani
kehidupan di tempat yang berbeda, dia akan pergi meninggalkanku.” Yamada
menarik nafas panjang.
Aru menatap Yamada dengan
tatapan sendu. “Apakah kau percaya dengan rencana Tuhan?”
Yamada mengangguk pelan.
“Percayalah,jika dia
memang untukmu. Dia takkan kemana-mana.” Aru tersenyum kecil memberikan
semangat kepada Yamada.
“Jika wanita itu adalah
kau,maukah kau kembali padaku?” Yamada menatap dalam ke arah Aru.
“Aku? Maksudmu?” Aru
bergidik, bangkit dari tempat duduknya.
“Ya. Dia adalah dirimu.”
Yamada berdiri dan membalikkan badan Aru.
Yamada dan Aru saling
berhadapan. Yamada memandang Aru dengan tatapan rindu, seribu rasa membuncah di
hatinya. Aru menatap Yamada dengan tatapan nanar, dia melihat Yamada dengan
sangat bingung. Yamada menatap mata Aru, mencoba memberikan telepati dari hati
ke hati.
Aru terpaku sejenak
melihat wajah Yamada, jantungnya berdegup cepat. Ada sesuatu yang tak biasa
dirasakannya.
“Tunggu dulu.Bukankah kau
orang yang kutemui di ujung jalan tadi? Kau mengikutiku?” Tanya Aru kepada
Yamada yang masih mengumpulkan nafasnya.
“Ya,” jawab Yamada.
“doushite?”
“Kau. Bisakah kau kembali
ke tubuhmu?” Yamada berterus terang.
“Apa yang kau bicarakan?
Tubuh siapa?” Aru tidak mengerti apa yang di maksud oleh Yamada.
“Bisakah kau bertahan
sedikit lebih lama? Tetaplah hidup. Kumohon. Ada seseorang yang sangat
membutuhkanmu.” Yamada bersimpuh di kaki Aru.
“Apa yang kau lakukan?”
Aru menarik Yamada.”hentikan.”
“Aru, apakah kau
benar-benar tidak mengingatku? Kau mengingat toko roti dan kafe yang kita
sering kunjungi bersama, kau bahkan mengingat tempat ini. Kau tahu, ini tempat pertama
kali kita bertemu.” Yamada mengguncang-guncang tubuh Aru berharap ingatannya
kembali.
Yamada sangat mencintai
Aru, meskipun dia mengenal Aru baru setahun setengah. Yamada tidak pernah
menjalin hubungan dengan seorang gadis sebelumnya, Aru adalah cinta pertamanya.
“Lepaskan.” Aru membanting
tangan Yamada dari pundaknya.
Aru membalikkan badannya.
Dengan spontan Yamada memeluknya dari belakang. Yamada menumpahkan segala
kerinduannya terhadap kekasihnya, mencurahkan segenap kekhawatiran yang selama ini
di pendamnya sendiri. Yamada tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, memang
benar seperti yang diucapkan lelaki itu. Bahwa semua ini tidak akan mudah.
Aru melepaskan diri dari
pelukan Yamada.
“Kau ini siapa? Aku.
Tidak. Mengenalmu.” Aru memperjelas kata-katanya.
Yamada pasrah. Matanya
menatap kosong ke arah roh Aru yang perlahan menjauh. Yamada tak berani
membayangkan apa-pun. Yamada melakukan upaya terakhirnya, dia kembali mengejar
Aru dan meraih tangannya. Yamada merogoh sakunya, diambilnya beberapa kelopak
mawar yang mulai layu dari sisa bucket yang di serahkan Aru malam itu. Yamada
membuka kepalan jemari tangan Aru dan meletakkan tiga kelopak mawar
ditangannya.
Yamada berbalik arah, dia
berjalan membelakangi Aru. Dilihatnya sosok laki-laki tengah berdiri pongah di
atas gerbang taman, kali ini senyumnya jauh lebih sumringah dibanding
sebelumnya.
“Aku ingin pulang.” Ujar
Yamada pelan.
Laki-laki itu melayang
turun mendekati Yamada. “Kau Yakin? Waktumu masih tersisa lima belas menit
lagi.”
Yamada membalasnya dengan
anggukan lesu.
“Hmm,baiklah.” Desah
laki-laki itu.
Laki-laki itu meletakkan
tangannya ke kepala Yamada, membacakan mantera sedikit lebih panjang. Mantera
yang dibacakan laki-laki itu menusuk sampai ke jantung Yamada. Rasanya jauh lebih
sakit dibanding sebelumnya. Jiwa Yamada menggelepar di tanah, seluruh jiwanya
mengejang dan melayang dengan ringan di udara.
Yamada membuka kelopak
matanya perlahan, beberapa sinar langsung menusuk indera penglihatannya.
Tercium bau khas yang sangat akrab olehnya. Bau obat-obatan rumah sakit. Yamada
mendapati dirinya tergeletak dilantai, beradu dengan marmer mengkilap. Yamada
bangkit dan memperbaiki posisinya, namun kepalanya terasa berat sebelah. Yamada
mendekati Aru dan memandanginya, sebelum waktu
Aru tiba.
Sejak dia masuk rumah
sakit tak ada yang menjenguk Aru kecuali Chinen. Yamada bergantian dengan
Chinen menunggui Aru jika Yamada pulang untuk mengambil keperluan Aru selama di
rumah sakit. Aru hanya hidup sebatang kara, tak ada kerabat yang pernah
dikenalkannya pada Yamada sejak mereka berkenalan. Kedua orang tuanya meninggal
ketika kebakaran saat Aru masih kecil,sedangkan kakaknya meninggal karena
kecelakaan sepeda motor dua tahun lalu.
Tubuh mungil Aru semakin
kurus, rona pucat di wajahnya terlihat sangat kentara. Kondisi Aru bukanlah
sebuah pemandangan yang bagus untuk dilihat. Yamada sangat tidak tega, tetapi
apa hendak dikata. Beginilah adanya.
Yamada berlari keluar
ruangan menuju atap rumah sakit, dia tak ingin memperlihatkan tangisnya dihadapan
Aru.
Tuhan, harus seperti ini
takdirku? Haruskah berakhir dengan mengenaskan? Tak bisakah kita bernegosiasi?
Tuhan, kumohon buatlah sebuah keajaiban.
Suara Yamada melolong
menghadap langit.
Yamada mengeluarkan cincin
yang akan di berikannya pada Aru jika kecelakaan itu tidak pernah terjadi.
Yamada memakai cincin itu di jari kelingkingnya. Yamada persis seperti orang
linglung. Bingung;sedih;cemas menyatu dalam hatinya. Mengetahui jam kematian
orang yang dikasihinya bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. Beberapa
menit lagi waktu itu akan datang. Yamada berjalan menuju area paling pinggir di
atap, kakinya melangkah menuju satu pembatas rendah dan bertengger indah di
atas sana.
Meskipun aku hidup rasanya
akan sama saja dengan mati jika aku menjalaninya tanpamu.Aru.
Yamada memandang
arlojinya.
Waktu menunjukkan pukul
19:15. Dua menit, tujuh belas detik lagi maka akan tiba waktunya. Yamada
merentangkan tangannya, berharap ada sayap yang akan membawanya terbang bersama
Aru. Yamada mulai memejamkan matanya.
“Ryo-chan. Apa yang kau
lakukan?” Suara dari arah belakang menyadarkan Yamada.
Yamada sangat mengenal
suara lembut ini. “Aru-chan.” Yamada menoleh ke belakang dan terbelalak tak
percaya.
Yamada turun dari
tempatnya dan segera memeluk Aru.
“Aru,benarkah ini kau?”
Yamada masih meragukan sosok yang dilihatnya. “Terima kasih Tuhan.”
“Tentu saja.” Aru membalas
pelukan Yamada.
Yamada memeluk Aru semakin
erat.
“Ryo-chan, kau memelukku
terlalu erat. Aku kesulitan bernafas.” Ujar Aru.
Yamada melepaskan
pelukannya dan menatap wajah Aru yang semakin tirus. Yamada sangat bahagia
melihat keadaan Aru membaik.
“Bagaimana kau bisa
menemukanku?” Tanya Yamada.
“Itu.” Aru menunjuk Chinen
yang berdiri di pintu tangga.
“Kau menangis disini?”
Tanya Aru sambil menyeka sisa air mata yang mengering dari kedua mata Yamada
dengan kedua tangan mungilnya.
“Tidak, tadi ada debu
masuk ke mataku.” Yamada mengelak.
“Benarkah?” Aru menggoda
Yamada.
“Ah,sudahlah. Ayo masuk,
kau belum boleh terkena angin malam.” Yamada membimbing Aru.
“Kau habis menangis kan?”
Tanya Aru sambil tersenyum kecil.
“Ck,kau ini. Sudah
kubilang tidak.” Yamada berdecak.
“Oh iya, Ryo-chan. Aku
bermimpi bertemu dengan sesorang laki-laki, dia memberiku tiga buah kelopak
mawar merah. Dia bersimpuh di kakiku dan berkata bahwa aku harus kembali.” Aru
menceritakan mimpinya selama dia tidak sadarkan diri.
“Apa dia lebih tampan
dariku?” Tanya Yamada sambil menggandeng Aru.
“Entahlah, aku lupa
wajahnya. Tetapi sepertinya aku pernah bertemu dengannya.” Aru menambahkan
sambil merapatkan diri ke tubuh Yamada.
Dari kejauhan Yamada
melihat sosok laki-laki yang tak asing sedang tersenyum sumringah melihat ke
arahnya.
“Aru-chan, kau masuklah
duluan dengan Yuri-chan.” Ujar Yamada sambil melepaskan pelukannya.
“Kau mau kemana?” Aru
menahan pergelangan tangan Yamada.
“Kesana. Sebentar saja.”
Yamada mengacak-acak rambut Aru.
Yamada mendekati sosok
laki-laki itu. Laki-laki itu tetap berdiri dengan pongah, persis seperti
pertama kali Yamada melihatnya.
“Terima kasih,” Yamada
membungkukkan badanya dua kali,”dengan nama apa aku harus mengenangmu?”
“Hikaru Wang.” Jawab
laki-laki itu sambil tersenyum. “Tolong, jaga adikku dengan baik.”
Setelah berbicara sosok
itu langsung menghilang, menyatu bersama hembusan angin malam. Mencari
jiwa-jiwa yang akan dijemput selanjutnya.
*END*
Writer
Desire :
Ini karya saya yang
pertama saya ikutkan dalam lomba. Saya hanyalah penulis fanfiction amatir, maaf
jika banyak kata-kata yang tidak bisa dimengerti. Senangnya bisa berpartisipasi
dalam project ini \(^o^)/… do’aku untuk Yamada Ryosuke, semoga di usia yang
baru dia semakin rendah hati, tidak sombong, makin cakep dan semoga temennya
yang bernama Morimoto Ryutaro cepat balik ke HSJ lagi dan semoga dia makin unyu
& makin sehat…
Untuk Ryo jangan pernah
lupa sama Fans yah…
No comments:
Post a Comment