NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Oneshot] Don’t leave me alone



Title             : Don’t leave me alone
Cast             : Ryosuke Yamada as Ryosuke yamada
Other cast     : Alsicika wang as Aru
                      Chinen Yuri as Chinen Yuri
                      Yaotome Hikaru
Genre          : Romance
Rating          : General
Length         : Oneshot
Language      : Bahasa Indonesia
Author         : Nikhe a.k.a BMR
- FB Link      : http://www.facebook.com/nikhe.salahlagi
- Twitter      : https://twitter.com/NFmaknae
- Site Link    : http://kheybee.wordpress.com/
- Ichiban      : Morimoto Ryutarou
- Reason join this project:

* Dulu ichibanku Yamada Ryosuke.
* Aku ingin memberi sedikit hadiah untuk ultahnya Yamada Ryosuke
* Dan tertarik dengan hadiahnya.

Disclaimer     : semua jalan cerita ini milik saya dan dunia khayal saya. Morimoto Ryutarou milik author dan Tuhan semata. Sedangkan sembilan member lain adalah aset Jhonny Entertainment. Saya yakin nggak akan ada yang mau nge-plagiat karya jelek ini.

Summary     : Miracle will be happen if you believe
A/N               : selamat membaca dan semoga kalian suka









Aru mempercepat langkahnya memasuki sebuah kafe dengan desain klasik dengan beberapa kayu jati tua dijadikan hiasan di pintu masuk. Gaun putih sepanjang lutut yang baru saja dibelinya kemarin mebalut tubuhnya yang mungil, rambutnya yang terurai panjang,melayang di dihembus angin malam. Aru memilih duduk di sebuah kursi panjang dengan meja berbentuk oval di samping jendela yang menghadap jalan raya. Dia memesan segelas cokelat hangat untuk menemaninya, sesekali dia merapikan rambutnya.

Aru memandang arloji kecil di pergelangan tangan kirinya, lima belas menit sudah berlalu namun orang yang di tunggunya tak kunjung datang.

Dimana dia? Apa dia lupa bahwa dia meminta bertemu hari ini?

Gumam Aru dalam hati.

Tiba-tiba semua lampu di ruangan mati, hanya cahaya lampu temaram dari pinggir jalan yang masuk menembus dari beberapa jendela. Aru bergidik, merapatkan diri ke dinding di sebelahnya. Tangannya meraih tasnya dan memeluknya dengan erat. Ketika dia berdiri, semua lampu hidup kembali. Dilihatnya Yamada memegang sebuah bucket mawar merah segar ditangannya.

Yamada berjalan menghampiri Aru yang masih berdiri keheranan. Yamada memegang tangan Aru sambil memberikan buket bunga tersebut padanya.

“Ini lima belas tangkai mawar untuk mengganti lima belas menit yang kau habiskan untuk menungguku.” Ujar Yamada sambil tersenyum.

Aru mengambil buket mawar itu dengan seulas senyuman manis, ekspresi bahagia tak mampu disembunyikan dari raut wajahnya. Yamada memang selalu mampu menakhlukkan hati Aru.

Yamada memesan menu pasta kesukaan Aru, tak lupa ia memesan hidangan penutup. Puding strowberry dengan coklat cair didalamnya terhidang dengan cantik di atas meja.

“Aru-chan, kau ada acara setelah ini?” Tanya Yamada sambil meneguk segelas wine.

“Tidak Ryo-chan, memangnya mengapa?” Aru balik bertanya.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Yamada menatap wajah Aru dengan pasti.

Setelah makan malam Yamada melesatkan mobilnya melaju di jalanan Tokyo, salah satu kota tersibuk di dunia. Tak berapa lama Yamada menghentikan mobilnya di parkiran sebuah gedung pencakar langit, Yamada membukakan pintu mobil untuk Aru dan segera menarik tangan gadis yang bertubuh mungil itu. Aru mengikuti Yamada tanpa banyak bertanya.

“Mana bunga mawar yang tadi kuberikan padamu?” Yamada menghentikan langkahnya di pertengahan lobby yang luas itu.

“Aku meninggalkannya di mobil Ryo-chan. Kau terlalu terburu-buru menarik tanganku tadi, aku tak sempat mengambilnya.” Ujar Aru sambil menolehkan wajahnya ke arah Yamada.

Yamada memandang Aru dengan tatapan datar. Aru tahu benar arti pandangan itu, Yamada memang tidak suka jika Aru agak ceroboh terhadap barang pemberiannya.

“Baiklah. Tunggu aku, aku akan segera mengambilnya,” Aru melepaskan genggaman tangan Yamada,” berikan kunci mobilnya.”

Yamada memberikan kunci mobilnya, dan Aru segera berbalik arah menuju parkiran yang tak cukup jauh dari tempat ini. Yamada menggelengkan kepala, melihat tingkah polos Aru, memandanginya berlari kecil ke arah luar.

Yamada berjalan menghampiri kursi yang disediakan gedung itu untuk pengunjung, namun belum sempat ia duduk. Tiba-tiba…,

Terdengar dencitan rem mobil mendadak dari arah depan pintu masuk gedung.

“Aaaaaaaaaaaa…,”terdengar suara teriakan panjang dari wanita.

BRRRRRUUUKKKKK,,, kali ini terdengar sesuatu terjatuh dari tempat yang sama.

Yamada segera berlari keluar mencari arah sumber suara. Dilihatnya sesosok tubuh seorang gadis terkulai lemah di aspal, tepat disamping mercedes berwarna hitam. Wajah Yamada berubah menjadi tegang seketika, lidahnya kelu melihat pemandangan yang terhampar didepannya.

Baju yang berwarna putih seketika berganti warna menjadi merah hati, darah kental mengalir dari kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya. Kelopak mawar merah berhamburan menyatu dengan aliran darah yang berceceran. Orang-orang berkerumun mengelilingi tubuh gadis yang bersimbah darah tersebut.

Yamada memecah kerumunan orang-orang dan mendekati gadis itu. Kakinya lemas seketika, jiwanya masih tak mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis yang beberapa menit lalu masih ia genggam tangannya sekarang terkapar tak berdaya. Sebisa mungkin Yamada menopang tubuhnya. Yamada dekap dengan erat tubuh gadis itu, menenggelamkan gadis yang ia cintai dalam pelukan hangatnya.

“Maafkan aku sayang. Maafkan aku.” Kata-kata itu berulang kali keluar dari bibir Yamada diiringi air mata hangat yang tak mampu ditahannya.

Tangannya bergetar hebat ketika mengusap kening kekasihnya, wajahnya yang selalu dihiasi dengan senyuman berubah menjadi pucat pasi. Yamada menyandarkan tubuh gadis itu di pangkuannya, mata gadis itu terbuka sayu memandang wajah Yamada yang penuh kekhawatiran.

“I-ini buket bunga darimu.” Ujar Aru pelan sambil memberikan buket bunga mawar yang kelopaknya telah berguguran, menyisakan tangkai yang dipenuhi duri.

“Baka, aku tidak butuh bunga ini. Aku bisa membeli seratus bahkan seribu bunga yang sama. Tetapi nyawamu siapa yang mampu menebusnya?” Yamada setengah berteriak pada Aru.

Aru meraih tangan Yamada dan menggenggamnya dengan erat. “Aku baik-baik saja.” Aru memaksakan senyum sambil menahan sakit yang teramat sangat di kepalanya.

“Baka-baka-baka. Kau tidak cukup hebat untuk membohongiku.” Yamada kembali memeluk Aru, membelai rambutnya yang basah oleh darah dengan sangat hati-hati.

Yamada tahu benar apa yang dirasakan kekasihnya, ingin Yamada bertukar posisi dengannya. Hati kecil Yamada sungguh tak tega dengan apa yang di alami oleh Aru, tubuh kecil dengan luka yang begitu banyak.

Pria pengendara mobil mercedes yang menabrak Aru turun dari mobilnya dengan kondisi yang tak kalah syok.

“Cepat bawa dia ke rumah sakit,” pria itu mendekati Yamada dan Aru, “pakai saja mobilku.”

Tanpa pikir panjang Yamada segera mengangkat tubuh Aru ke mobil, menyejajarkan posisi Aru senyaman mungkin. Aru masih dalam kondisi setengah sadar ketika mobil menembus jalanan menuju rumah sakit. Kepala Aru berada dalam pangkuan Yamada, tangan Yamada semakin menggenggam erat tangan Aru.

“Kau harus bertahan gadis bodoh, kau tidak boleh meninggalkan aku. Aku tak akan memafkanmu jika kau melakukannya.” Yamada berbisik lembut ke telinga Aru, sedangkan hatinya melantunkan do’a kepada tuhan untuk keselamatan kekasihnya.

Aru masih bisa mendengar semangat yang diberikan Yamada, namun rasa sakit yang diarasakan menyedot semua perhatian alam bawah sadarnya.

Sesampainya di rumah sakit Yamada menemani Aru menuju ruang UGD bersama dokter dan beberapa perawat. Perlahan Aru melepaskan genggamannya namun Yamada menggenggamnya lebih kuat. Tak ada satu kata terlontar, Yamada benar-benar kehabisan kata-kata. Yamada panik dan benar-benar cemas atas keselamatan Aru. Ketika sampai di pintu UGD genggaman tersebut harus benar-benar terlepas, mempercayakan Aru kepada dokter dan Tuhan sepenuhnya.

Baju Yamada tak pelak penuh dengan noda darah, tak jauh berbeda dengan tangannya. Yamada terduduk lemas di lantai depan pintu UGD, orang-orang yang berlalu lalang melihat Yamada dengan tatapan kasihan. Yamada bingung apa yang masih bisa dilakukannya, namun seketika Yamada memantapkan kakinya mencari-cari sosok tersangka yang harus bertanggung jawab atas semua ini.

Pria berusia 30 tahun berjalan dari arah koridor setelah membayar administrasi kepada pihak rumah sakit. Yamada yang dipenuhi amarah melayangkan tinjunya ke arah pria itu.

“Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan, haaahhhhh?” Yamada menarik kerah baju pria tersebut.

Pria itu terlihat pasrah atas apa saja perlakuan yang akan diterimanya.

“Yama-chan hentikan.” Chinen tiba-tiba datang melerai dan menarik Yamada menjauhi pria itu.

“Lepaskan aku,” Yamada meronta berusaha mendekati pria itu lagi,”aku harus memberinya pelajaran atau melaporkannya dengan polisi.”

Chinen membanting tubuh Yamada ke lantai. “Kau kira keadaan Aru-chan akan kembali seperti semula jika kau menghajarnya? Lagipula dia sudah bertanggung jawab, cukup.”

“Ini semua salahku. Andai saja dia tidak pergi mengambil bunga itu, semua ini tidak akan terjadi.” Yamada membenturkan kepalanya ke dinding.

“Sudahlah,” Chinen memeluk Yamada,” Aru-chan tidak akan senang jika melihatmu seperti ini.”

Yamada kembali terkulai lemah di lantai, meringkuk merapatkan diri di kaki Chinen.

“Kuatkan dirimu.” Chinen menepuk pundak Yamada “Aku langsung mengikutimu, ketika melihat kau mengangkat Aru ke dalam mobil pria itu.”

“Terima kasih, Yurii. Kau mau menemaniku.” Yamada semakin meringkuk.

***

          Yamada terbangun dari tidurnya, dilihatnya Aru masih belum sadarkan diri. Masker oksigen tepasang dihidung dan mulutnya, serta beberapa selang infus di kedua lengannya. Sudah tiga hari Aru terbaring di rumah sakit dan belum sadar sama sekali. Yamada merapikan selimut Aru dan membelai lembut rambutnya, namun perhatiannya teralih pada sosok yang berdiri di samping Aru.

Sesosok pria dengan wajah datar yang memiliki dua gingsul menatap Aru dengan tajam. Kedua bola matanya berwarna biru muda, di mata kirinya terdapat sesuatu berbeda. Sebuah cakra terlihat jelas dari caranya mengedipkan mata. Sudut bibir kanannya mengangkat menciptakan sebuah sunggingan, senyuman dengan aroma tak wajar. Aroma kematian. Sosok laki-laki itu mengenakan pakaian hitam dengan celana panjang lengkap dengan topi fedora yang bertahta di kepalanya.

“Siapa kau?” Yamada mendekati sosok itu. Namun dia mundur beberapa langkah setelah melihat bahwa pria itu tidak berjalan seperti dirinya. Dia mengambang beberapa centi dari lantai.

“Kau bisa melihatku?” laki-laki itu menoleh ke arah Yamada dengan tatapan heran.

“Ten-tentu saja,”Yamada agak gugup,”apa yang kau lakukan disini?”

“Sudah seharusnya aku berada disini, melakukan tugasku dengan benar.” Laki-laki itu kembali memfokuskan pandangannya ke Aru.

“Tugas? Apa tugasmu? “Yamada kebingungan.

“Menjemput jiwa yang harus kembali kepada Sang Pencipta.” Jawab laki-laki itu datar.

“A-apa maksudmu?” Tanya Yamada terbata-bata.

“Ah, kau ini. Anak manusia tidak akan mengerti tentang semua ini. Aku memang baru dua tahun dalam penugasan, tetapi ini pertama kalinya aku mendapatkan pertanyaan seperti ini. Alsicika Wang, akan meninggal pada pukul 19 malam; di menit ke 17; detik 17. Tepatnya tiga jam dari sekarang.” Jawab laki-laki itu tanpa ekspresi sambil memandang arlojinya.

“Kau pasti berbohong. Itu tidak mungkin.” Yamada menggelengkan kepalanya menahan kakinya yang mulai lemas. Jawaban laki-laki tersebut menghantam batin Yamada dengan telak.

“Kau mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku.” Laki-laki itu membalikkan badan.

“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?” Yamada mendengus kesal dengan apa yang baru saja di dengarnya.

“Manusia memang sangat merepotkan.” Laki-laki itu memalingkan wajah ke arah Yamada. “Tugasku hanya menjemput jiwa wanita ini. Bukan untuk meladenimu.”

“Tunggu. Tak adakah cara untuk membatalkannya? Kumohon, jangan ambil dia dariku. Hanya dia alasanku hidup sejauh ini, aku tak mampu membayangkan hidup tanpa dirinya disampingku. Apa jadinya diriku?” Yamada bersimpuh, tangannya memegang kaki laki-laki yang melayang di udara tersebut.

“Sudah kukatakan bahwa aku hanya melakukan tugasku. Aku tidak punya wewenang untuk memperpanjang umur manusia.”

“Tidaakk,”suara Yamada memenuhi ruangan,”kau tidak boleh mengambilnya.”

Laki-laki itu memandang yamada dengan pasti. Tak lama kemudian laki-laki itu mengangguk pelan.

“seberapa berarti dia bagimu?” Tanya laki-laki itu.

“Jika kau memang benar-benar ingin membawanya, maka bawalah aku ikut bersamamu juga. Tak ada artinya hidupku ini tanpa dia.” Yamada menitikkan air mata.

“Bagaimana mungkin, sekarang waktumu belum tiba.” Laki-laki itu menyerngitkan keningnya.

“Kumohon, lakukanlah sesuatu.” Yamada sama sekali tak mengubah posisi bersimpuhnya.

“Lepaskan aku.” Laki-laki itu mencengkram erat tangan Yamada agar Yamada berhenti merengek di kakinya.

“Sungguh, aku menyayanginya. Tukarkan saja nyawaku padanya.”

Laki-laki itu tertawa. “Baka,terima saja nasibmu.”

“Demi Tuhan, aku sangat mencintainya.” Ucap Yamada dengan suara bergetar penuh ketakutan akan kehilangan.

Laki-laki itu menatap tajam ke mata Yamada. “Baiklah.” Jawab laki-laki itu pelan. “Aku akan memberimu satu kesempatan.”

“Benarkah?” Yamada menghapus air matanya dan langsung berdiri.

“Kau yakin bisa melakukannya?” Laki-laki itu tersenyum sinis.

“Apa yang harus ku lakukan?” Tanya Yamada antusias.

“Jiwa Alsicika Wang, atau yang lebih sering kau panggil Aru-chan sekarang dalam proses pemurnian. Dia berada di alam paralel sedang dalam penantian hari kelahirannya kembali. Jika kau mampu membujuknya untuk kembali ke badannya sebelum waktu kematiannya, maka dia akan tetap hidup. Keinginannya untuk tetap hidup akan memberikan kekuatan terhadap apa yang telah dituliskan.” Laki-laki itu mendesah, menatap Yamada dalam mengambil keputusan.

“Baiklah, akan aku lakukan.” Yamada menjawab dengan pasti.

Laki-laki itu kembali tersenyum sinis.

“Ini bukan pekerjaan mudah, jika kau menemuinya dia tidak akan mengingatmu sama sekali.” Sambung laki-laki itu.

Yamada menunduk dan memantapkan pilihan. “Aku menyanggupinya.”

“Wow, aku akui keberanianmu.” Laki-laki itu mengangkat dagu Yamada dengan tangannya.

“Sudah. Katakan saja apa yang harus aku lakukan, kau membuang banyak waktuku.” Ujar Yamada dengan nada agak sedikit tinggi.

“Tetapi jika gagal. Kau tidak akan bisa bertemu dengannya lagi dalam kesempatan apa-pun, bahkan kehidupan kedua kelak. Segala sesuatu itu ada harga yang harus kau bayar.”

“Aku siap.” Jawab Yamada tanpa ragu.

Tak ada lagi yang dipikirkan Yamada, persetan dengan kehidupan kedua. Hidup tanpa Aru jauh lebih mengerikan baginya. Mata Yamada berbinar mengetahui bahwa harapan Aru bisa kembali masih ada, jiwanya sedikit pulih dari semua beban berat yang dia rasakan.

Laki-laki itu menggerakkan tangannya ke kepala Yamada, membacakan beberapa mantera dengan bahasa yang sama sekali Yamada tidak mengerti. Perlahan mata Yamada terpejam dan badannya terasa semakin ringan, Yamada merasakan hembusan angin di sekitarnya.

Yamada perlahan membuka matanya dan menemukan dirinya tengah bersandar di bawah pohon. Tempat ini tak asing bagi Yamada, jalan ini sering di laluinya ketika dia hendak pergi bekerja. Yamada mencoba bangkit dari posisinya, namun dari arah berlawanan datanglah seorang anak kecil yang tengah berlari. Belum sempat Yamada mengelak anak tersebut sudah menembus badan Yamada.

Mengapa anak itu tidak melihatku? Apa aku ini sekarang hanyalah sebuah Roh?

Ucap Yamada lirih.

Tak jauh dari tempat Yamada berdiri dilihatnya sesosok gadis tengah memandang ke dalam toko roti yang cukup terkenal di kota itu.

Aru. Apa yang kau lakukan disana? Apakah kau masih mengingat toko roti favoritmu?

Lagi-lagi Yamada berbicara sendiri.

Yamada berjalan menghampiri Aru yang sedang berdiri, dia mengenakan gaun yang sama dengan yang dipakainya pada malam itu. Gaun itu kembali menjadi putih bersih tanpa noda darah setitik pun. Yamada berdiri tepat disamping Aru. Aru hanya melemparkan sebuah senyuman kecil dan berjalan meninggalkannya. Yamada berdiri mematung melihat senyuman Aru, senyuman yang sangat dirindukannya.

Kepergian Aru langsung disusul oleh Yamada, dia tahu dia tak boleh menyia-nyiakan waktu barang sedetik pun. Aru kembali berhenti di depan kafe tempat terakhir yang dikunjunginya semasa hidup dengan Yamada.

“Kau ingin makan?” Tanya Yamada.

“Tidak.” Jawab Aru pelan sambil menoleh ke arah Yamada.

Tiba-tiba, hasrat Yamada membujuknya untuk ke dalam. Kaki Yamada menuntunnya untuk memasuki Kafe tersebut, mengingat kembali kenangan yang terukir di sana. Tempat duduk yang biasa di pakai Aru, menu makanan kesukaan Aru. Semua kenangan itu tak akan pernah bisa tergantikan. Cukup lama Yamada terdiam memandangi sudut demi sudut kafe tersebut. Masih ada sedikit rasa tidak percaya dibenak Yamada dengan semua situasi yang tengah berlangsung.

Astaga. Apa yang aku lakukan?

Yamada memukul keningnya pelan.

Yamada keluar dari kafe dan mulai mencari keberadaan Aru yang ditinggalkannya sejak masuk ke dalam kafe. Yamada berjalan melewati jalan-jalan kecil, menyusuri rute yang biasa dilaluinya dengan Aru. Namun tak ada jejak keberadaan Aru sama sekali. Yamada memandang Arlojinya, jam menunjukkan pukul 18:10. Itu berarti sisa waktunya hanya sejam beberapa menit lagi.

Yamada mempercepat langkahnya. Hati Yamada berkata bahwa keberadaan Aru takkan jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Taman. Hanya tempat itu yang terlintas dalam pikiran Yamada. Yamada berlari menuju taman, berharap kali ini tebakannya tidak meleset.

Dengan nafas yang terengah-engah, Yamada akhirnya sampai di taman. Dilihatnya seorang gadis tengah duduk di salah satu kursi taman, memandangi bintang di langit. Tanpa banyak ancang-ancang Yamada langsung mendekatinya dan duduk di sebelahnya, Yamada tidak mau membuang waktu lebih banyak lagi.

“Kau menyukai tempat ini?” Yamada memulai pembicaraan.

“Ya. Kau juga?” Aru mengalihkan pandangannya dari langit ke arah Yamada.

“Tempat ini memiliki banyak arti untukku.” Jawab Yamada.

“Entahlah, ini pertama kalinya aku kemari. Namun tempat ini terasa sangat akrab untukku.” Aru melemparkan pandangannya pada bintang yang tersusun indah di langit malam.

Tentu saja kau akrab dengan tempat ini. Ini tempat pertama kita bertemu, saat itu kau menumpahkan es krim ke bajuku. Kau sering memandang bintang disini. Ketika musim semi, kita sering menghabiskan waktu disini. Kau selalu mengatakan bahwa bunga sakura yang mekar disini jauh lebih indah jika dibandingkan dengan tempat lain.

Kata-kata itu tertahan di mulut Yamada.

“Kau tau,ada seorang gadis yang sangat menyukai tempat ini. Dia duduk di tempat ini sambil melihat bintang, persis seperti yang kau lakukan.” Yamada membuka lagi lembaran kenangan yang disimpannya.

“Sepertinya dia sangat berarti bagimu.” Timpal Aru.

“Sangat istimewa.” Jawab Yamada.

“Dimana dia saat ini?”

“Dia sedang menjalani kehidupan di tempat yang berbeda, dia akan pergi meninggalkanku.” Yamada menarik nafas panjang.

Aru menatap Yamada dengan tatapan sendu. “Apakah kau percaya dengan rencana Tuhan?”

Yamada mengangguk pelan.

“Percayalah,jika dia memang untukmu. Dia takkan kemana-mana.” Aru tersenyum kecil memberikan semangat kepada Yamada.

“Jika wanita itu adalah kau,maukah kau kembali padaku?” Yamada menatap dalam ke arah Aru.

“Aku? Maksudmu?” Aru bergidik, bangkit dari tempat duduknya.

“Ya. Dia adalah dirimu.” Yamada berdiri dan membalikkan badan Aru.

Yamada dan Aru saling berhadapan. Yamada memandang Aru dengan tatapan rindu, seribu rasa membuncah di hatinya. Aru menatap Yamada dengan tatapan nanar, dia melihat Yamada dengan sangat bingung. Yamada menatap mata Aru, mencoba memberikan telepati dari hati ke hati.

Aru terpaku sejenak melihat wajah Yamada, jantungnya berdegup cepat. Ada sesuatu yang tak biasa dirasakannya.

“Tunggu dulu.Bukankah kau orang yang kutemui di ujung jalan tadi? Kau mengikutiku?” Tanya Aru kepada Yamada yang masih mengumpulkan nafasnya.

“Ya,” jawab Yamada.

“doushite?”

“Kau. Bisakah kau kembali ke tubuhmu?” Yamada berterus terang.

“Apa yang kau bicarakan? Tubuh siapa?” Aru tidak mengerti apa yang di maksud oleh Yamada.

“Bisakah kau bertahan sedikit lebih lama? Tetaplah hidup. Kumohon. Ada seseorang yang sangat membutuhkanmu.” Yamada bersimpuh di kaki Aru.

“Apa yang kau lakukan?” Aru menarik Yamada.”hentikan.”

“Aru, apakah kau benar-benar tidak mengingatku? Kau mengingat toko roti dan kafe yang kita sering kunjungi bersama, kau bahkan mengingat tempat ini. Kau tahu, ini tempat pertama kali kita bertemu.” Yamada mengguncang-guncang tubuh Aru berharap ingatannya kembali.

Yamada sangat mencintai Aru, meskipun dia mengenal Aru baru setahun setengah. Yamada tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis sebelumnya, Aru adalah cinta pertamanya.

“Lepaskan.” Aru membanting tangan Yamada dari pundaknya.

Aru membalikkan badannya. Dengan spontan Yamada memeluknya dari belakang. Yamada menumpahkan segala kerinduannya terhadap kekasihnya, mencurahkan segenap kekhawatiran yang selama ini di pendamnya sendiri. Yamada tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, memang benar seperti yang diucapkan lelaki itu. Bahwa semua ini tidak akan mudah.

Aru melepaskan diri dari pelukan Yamada.

“Kau ini siapa? Aku. Tidak. Mengenalmu.” Aru memperjelas kata-katanya.

Yamada pasrah. Matanya menatap kosong ke arah roh Aru yang perlahan menjauh. Yamada tak berani membayangkan apa-pun. Yamada melakukan upaya terakhirnya, dia kembali mengejar Aru dan meraih tangannya. Yamada merogoh sakunya, diambilnya beberapa kelopak mawar yang mulai layu dari sisa bucket yang di serahkan Aru malam itu. Yamada membuka kepalan jemari tangan Aru dan meletakkan tiga kelopak mawar ditangannya.

Yamada berbalik arah, dia berjalan membelakangi Aru. Dilihatnya sosok laki-laki tengah berdiri pongah di atas gerbang taman, kali ini senyumnya jauh lebih sumringah dibanding sebelumnya.

“Aku ingin pulang.” Ujar Yamada pelan.

Laki-laki itu melayang turun mendekati Yamada. “Kau Yakin? Waktumu masih tersisa lima belas menit lagi.”

Yamada membalasnya dengan anggukan lesu.

“Hmm,baiklah.” Desah laki-laki itu.

Laki-laki itu meletakkan tangannya ke kepala Yamada, membacakan mantera sedikit lebih panjang. Mantera yang dibacakan laki-laki itu menusuk sampai ke jantung Yamada. Rasanya jauh lebih sakit dibanding sebelumnya. Jiwa Yamada menggelepar di tanah, seluruh jiwanya mengejang dan melayang dengan ringan di udara.

Yamada membuka kelopak matanya perlahan, beberapa sinar langsung menusuk indera penglihatannya. Tercium bau khas yang sangat akrab olehnya. Bau obat-obatan rumah sakit. Yamada mendapati dirinya tergeletak dilantai, beradu dengan marmer mengkilap. Yamada bangkit dan memperbaiki posisinya, namun kepalanya terasa berat sebelah. Yamada mendekati Aru dan memandanginya, sebelum waktu  Aru tiba.

Sejak dia masuk rumah sakit tak ada yang menjenguk Aru kecuali Chinen. Yamada bergantian dengan Chinen menunggui Aru jika Yamada pulang untuk mengambil keperluan Aru selama di rumah sakit. Aru hanya hidup sebatang kara, tak ada kerabat yang pernah dikenalkannya pada Yamada sejak mereka berkenalan. Kedua orang tuanya meninggal ketika kebakaran saat Aru masih kecil,sedangkan kakaknya meninggal karena kecelakaan sepeda motor dua tahun lalu.

Tubuh mungil Aru semakin kurus, rona pucat di wajahnya terlihat sangat kentara. Kondisi Aru bukanlah sebuah pemandangan yang bagus untuk dilihat. Yamada sangat tidak tega, tetapi apa hendak dikata. Beginilah adanya.

Yamada berlari keluar ruangan menuju atap rumah sakit, dia tak ingin memperlihatkan tangisnya dihadapan Aru.

Tuhan, harus seperti ini takdirku? Haruskah berakhir dengan mengenaskan? Tak bisakah kita bernegosiasi? Tuhan, kumohon buatlah sebuah keajaiban.

Suara Yamada melolong menghadap langit.

Yamada mengeluarkan cincin yang akan di berikannya pada Aru jika kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Yamada memakai cincin itu di jari kelingkingnya. Yamada persis seperti orang linglung. Bingung;sedih;cemas menyatu dalam hatinya. Mengetahui jam kematian orang yang dikasihinya bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. Beberapa menit lagi waktu itu akan datang. Yamada berjalan menuju area paling pinggir di atap, kakinya melangkah menuju satu pembatas rendah dan bertengger indah di atas sana.

Meskipun aku hidup rasanya akan sama saja dengan mati jika aku menjalaninya tanpamu.Aru.

Yamada memandang arlojinya.

Waktu menunjukkan pukul 19:15. Dua menit, tujuh belas detik lagi maka akan tiba waktunya. Yamada merentangkan tangannya, berharap ada sayap yang akan membawanya terbang bersama Aru. Yamada mulai memejamkan matanya.

“Ryo-chan. Apa yang kau lakukan?” Suara dari arah belakang menyadarkan Yamada.

Yamada sangat mengenal suara lembut ini. “Aru-chan.” Yamada menoleh ke belakang dan terbelalak tak percaya.

Yamada turun dari tempatnya dan segera memeluk Aru.

“Aru,benarkah ini kau?” Yamada masih meragukan sosok yang dilihatnya. “Terima kasih Tuhan.”

“Tentu saja.” Aru membalas pelukan Yamada.

Yamada memeluk Aru semakin erat.

“Ryo-chan, kau memelukku terlalu erat. Aku kesulitan bernafas.” Ujar Aru.

Yamada melepaskan pelukannya dan menatap wajah Aru yang semakin tirus. Yamada sangat bahagia melihat keadaan Aru membaik.

“Bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya Yamada.

“Itu.” Aru menunjuk Chinen yang berdiri di pintu tangga.

“Kau menangis disini?” Tanya Aru sambil menyeka sisa air mata yang mengering dari kedua mata Yamada dengan kedua tangan mungilnya.

“Tidak, tadi ada debu masuk ke mataku.” Yamada mengelak.

“Benarkah?” Aru menggoda Yamada.

“Ah,sudahlah. Ayo masuk, kau belum boleh terkena angin malam.” Yamada membimbing Aru.

“Kau habis menangis kan?” Tanya Aru sambil tersenyum kecil.

“Ck,kau ini. Sudah kubilang tidak.” Yamada berdecak.

“Oh iya, Ryo-chan. Aku bermimpi bertemu dengan sesorang laki-laki, dia memberiku tiga buah kelopak mawar merah. Dia bersimpuh di kakiku dan berkata bahwa aku harus kembali.” Aru menceritakan mimpinya selama dia tidak sadarkan diri.

“Apa dia lebih tampan dariku?” Tanya Yamada sambil menggandeng Aru.

“Entahlah, aku lupa wajahnya. Tetapi sepertinya aku pernah bertemu dengannya.” Aru menambahkan sambil merapatkan diri ke tubuh Yamada.

Dari kejauhan Yamada melihat sosok laki-laki yang tak asing sedang tersenyum sumringah melihat ke arahnya.

“Aru-chan, kau masuklah duluan dengan Yuri-chan.” Ujar Yamada sambil melepaskan pelukannya.

“Kau mau kemana?” Aru menahan pergelangan tangan Yamada.

“Kesana. Sebentar saja.” Yamada mengacak-acak rambut Aru.

Yamada mendekati sosok laki-laki itu. Laki-laki itu tetap berdiri dengan pongah, persis seperti pertama kali Yamada melihatnya.

“Terima kasih,” Yamada membungkukkan badanya dua kali,”dengan nama apa aku harus mengenangmu?”

“Hikaru Wang.” Jawab laki-laki itu sambil tersenyum. “Tolong, jaga adikku dengan baik.”

Setelah berbicara sosok itu langsung menghilang, menyatu bersama hembusan angin malam. Mencari jiwa-jiwa yang akan dijemput selanjutnya.



*END*



Writer Desire :

Ini karya saya yang pertama saya ikutkan dalam lomba. Saya hanyalah penulis fanfiction amatir, maaf jika banyak kata-kata yang tidak bisa dimengerti. Senangnya bisa berpartisipasi dalam project ini \(^o^)/… do’aku untuk Yamada Ryosuke, semoga di usia yang baru dia semakin rendah hati, tidak sombong, makin cakep dan semoga temennya yang bernama Morimoto Ryutaro cepat balik ke HSJ lagi dan semoga dia makin unyu & makin sehat…

Untuk Ryo jangan pernah lupa sama Fans yah…



No comments:

Post a Comment