NOTE: Reader, before you browsing to reading please make sure you read fanfiction in here according to your age. If you not yet 17 yo, we suggest you to read fanfiction with rating G, PG-13, PG-15. Rating NC-17 and NC-21 just for addult. Please follow this rule shake your self!

Thursday, May 2, 2013

[Series] Sacrifice (1/2)



Title           : Sacrifice
Cast           : Ryosuke Yamada as Ryosuke yamada
Other cast   : sembilan member Hey Say Jump.
Nisuichi Mariya
Morimoto Natsune
Genre         : Family and Friendship
Rating        : General
Length        : Series
Language    : bahasa Indonesia
Author        : kheybee.FR.

- FB Link      : http://www.facebook.com/nikhe.salahlagi
- Twitter      : https://twitter.com/NFmaknae
- Site Link    : http://kheybee.wordpress.com/
- Ichiban      : Morimoto Ryutarou
- Reason join this project:
#Dulu ichibanku Yamada Ryosuke.
#Aku ingin memberi sedikit hadiah untuk ultahnya Yamada Ryosuke
#Dan tertarik dengan hadiahnya.

Disclaimer    : semua jalan cerita ini milik saya dan dunia khayal saya. Morimoto Ryutarou milik author dan Tuhan semata. Sedangkan sembilan member lain adalah aset Jhonny Entertainment. Saya yakin nggak akan ada yang mau nge-plagiat karya jelek ini. J

Summary     :Balas dendam hanya akan menciptakan dendam selanjutnya.
A/N              : selamat membaca dan semoga kalian suka J


=====


“lakukan apa saja yang membuatmu bahagia, tetapi tidak mengambil kebahagiaan orang lain”


Kata-kata itu yang pernah dibaca Yamada dalam sebuah artikel.

Yamada memandang dirinya di cermin. Mata bening bercahaya, yang mampu mendamaikan siapa pun yang melihatnya. Wajah tampan dengan senyum yang memikat, dan dada bidang yang membuat ribuan gadis ingin didekap hangat dalam pelukannya.

Apa yang masih ingin dimiliki Yamada? Kepopuleran berada dalam genggaman. Karirnya yang melesat dengan sukses, harta berlimpah, bahkan dia bisa mendapatkan gadis mana pun dalam satu jentikan jari.

Entahlah,Yamada hanya merasa lelah dengan semua ini. Yamada sendiri bingung, apakah ini kebahagiaan yang benar-benar dia inginkan? Setiap hari bergelut dengan rutinitas yang melelahkan. Tak pernah ada rasa puas jika dia ingin menuruti bisikan setan yang menggelayut di hatinya. Dalam dunia yang melingkarinya, tujuan utama hanyalah mencapai puncak. Lalu, ketika Yamada telah berada di puncak apa yang akan dilakukannya. Puncak hanya memiliki satu ruang untuk ditempati, tak bisa dibagi dan tak ada yang boleh menyamai. Ketika berada dipuncak Yamada memang bisa melihat seluruh dunia, tetapi Yamada hanya sendiri. Kesedihan akan jauh terasa lebih indah jika memiliki seseorang disamping untuk berbagi. Tetapi bahagia akan terasa menyedihkan jika tak bisa membaginya dengan orang lain.

“hiduplah untuk masa depan, setidaknya berjuanglah yang terbaik untuk masa depanmu”

Yamada kembali teringat perkataan ibunya.

Yamada tidak mengatakan bahwa pernyataan itu salah, namun Yamada mengiyakannya dengan sebelah hati. Hiduplah untuk masa depan, bagaimana jika Yamada mati hari ini? Yamada sudah melakukan yang terbaik hari ini, tidak sama artinya dengan Yamada sudah berbahagia hari ini.

Ketulusan. Itu yang selalu membebani benak Yamada. Apakah semua orang berada disekitarnya karena benar-benar tulus menyayanginya? Atau hanya ingin mendapat percikan dari apa yang telah Yamada miliki. Semua orang mengaguminya bahkan tidak sedikit yang segan padanya. Segan atau takut, itu dua hal yang berbeda tipis.

Yamada ingin semua orang menganggapnya orang biasa, bukan superstar;bukan artis kebanggaan Jhonny Entertainment; ataupun member idol grup ternama. Hanya seorang anak yang berusia dua puluh tahun dengan kehidupan yang baik bersama teman, sahabat dan keluarganya.

Yamada beranjak dari hadapan cermin dan membanting dirinya dikasur hangat, dia harus cepat beristirahat. Istirahat, Yamada harus membayar mahal untuk melakukan hal itu. Semakin cepat tertidur semakin baik.

-

Yamada, Chinen dan Yuto sedang memakan bakso di sebuah kedai sederhana, Kegiatan yang sering dilakukan oleh tiga orang siswa menengah atas tersebut ketika pulang sekolah.

“hei, apa yang sedang kau lihat Yama-chan?” tanya Chinen dengan mulut yang penuh bakso.

“lihatlah wanita yang berada di ujung jalan sana,” Yamada menunjuk ke arah seorang wanita berwajah manis dengan sumpitnya.

“Dia lumayan cantik” ujar Yuto.

“Bukan itu. Ini sudah ke tiga kalinya dia memandangiku dari tempat yang sama,” jelas Yamada.

“Mungkin saja dia penggemar kita, untuk artis seperti kita itu bukanlah hal yang aneh,” sambung Yuto.

“Aku setuju dengan Yuto-chan.” Chinen membenarkan perkataan Yuto.

“Dia memandangiku dengan tatapan dingin dan ekspresi wajah yang datar. Apakah dia terlihat seperti seorang penggemar yang mengagumiku?” Yamada menoleh ke arah Chinen dan Yuto.

“Abaikan saja. Lagi pula dia tidak mengganggumu.” Chinen memberi saran.

“Tapi cara dia menatapku membebaniku.”  Yamada melanjutkan makannya.

Yamada masih terbayang sorot mata wanita yang memandangnya dari kejauhan. Jaraknya sekitar 50 meter, tetapi magnet yang disasarkan pada Yamada melekat dengan kuat. Bukan hanya sekali, tetapi ini sudah yang ke tiga kalinya. Tanda tanya besar menghantuinya.

“Hari ini aku yang traktir,” ujar Yuto sambil berjalan ke arah kasir dan segera membayar makanan dan minuman yang mereka pesan.

“Arigatou. Ah,Yuto-chan baik sekali,” puji Chinen, sedangkan Yamada hanya menundukkan kepalanya.

“Mari kita pulang.” Ajak Yuto.

“Baiklah, aku juga sudah selesai makan.” Chinen menyandang tas hitam miiknya.

“Kalian duluan saja, aku masih harus ke toko. Okasan besok berulang tahun, aku ingin membelikannya sesuatu.” Ujar Yamada.

“Kau ingin kami temani?”  Tanya Chinen.

“Ah tidak usah, kalian pulang duluan saja. Aku tahu kalau kalian sangat lelah.” Tolak Yamada.

Yamada, Chinen dan Yuto berjalan berbeda arah. Yuto dan Chinen menuju stasiun kereta sedangkan Yamada berjalan ke arah pusat perbelanjaan.

Yamada berjalan menuju sebuah toko pakaian yang besar, terdapat tiga manekin yang mengenakan gaun berwarna hitam terpajang dengan rapi didepannya.

“Hey kau.” Panggilan itu menghentikan langkah Yamada.

Yamada menoleh, mencari sumber suara yang memanggilnya. Dilihatnya seorang wanita mengenakan seragam SMA sedang berdiri mematung memandangnya dari jarak dua meter.

“Kau memanggilku.” Ujar Yamada sambil berbalik arah mengahadap wanita tersebut.

“Menurutmu?” Tanya wanita itu datar.

“Ada apa?” Yamada kembali bertanya.

Bukannya menjawab, wanita itu berbalik arah meninggalkan Yamada yang kebingungan. Yamada meraih tangan wanita itu dengan cepat, tetapi sama sekali tak ada ekspresi terkejut dari wanita itu.

“Mengapa kau memanggilku?” Yamada masih belum melepaskan genggamannya, ”sudah beberapa kali kau memandangiku dari kejauhan. Sekarang aku sudah ada di depanmu, apa yang ingin kau sampaikan.”

Wanita itu menatap Yamada dengan pandangan serius. Matanya menyusuri jalan pikiran Yamada, bibirnya yang mungil digigitnya dengan kuat.

“Kau. Apakah kau bahagia?” Tanya wanita itu.

Yamada terkejut dengan pertanyaan wanita itu, tangannya menjadi lemas seketika. Genggaman tangannya yang erat pada pergelangan wanita tersebut pun terlepas.

“Apa maksudmu?” Tanya Yamada dengan suara agak sedikit getir.

“Sudah kuduga.” Wanita itu tersenyum sinis dan berjalan ke arah utara.

Yamada tidak mengatakan apa-apa. Otaknya tiba-tiba menjadi kosong, semua pertanyaan yang sudah disiapkan hilang seketika. Kaki Yamada menuntunnya untuk mengikuti langkah wanita itu.

Mereka melewati sebuah jembatan dengan sungai beraliran tenang dibawahnya. Angin musim semi berhembus menerbangkan rambut wanita yang sejak tadi tidak mempedulikan Yamada yang mengikutinya. Wanita tersebut membelokkan langkahnya ke pinggir sungai dan duduk diatas rerumputan hijau dengan gradasi warna pink dari bunga sakura yang berguguran.

“Disini indah bukan?” Wanita tersebut memulai pembicaraan.

Yamada masih terdiam melemparkan tatapan kosong ke arah wanita disebelahnya.

“Apa maksud pertanyaanmu tadi?” Tanya Yamada.

Wanita itu menoleh. Ekspresi wajahnya yang sangat manis berubah menjadi bengis. Wanita itu mencengkram tangan Yamada, ditariknya Yamada dengan paksa. Tas yang disandang Yamada terlepas, tubuhnya terasa melayang mengikuti langkah wanita tersebut. Wanita tersebut berlari dengan sangat kencang. Semakin kencang. Yamada seperti sedang melewati perjalanan waktu, kakinya yang semula berpijak dibumi melangkah dengan ringan di udara. Yamada sangat cemas, jantungnya berdetak tak beraturan. Semua yang dilewatinya bagaikan sebuah siluet tak berwujud.

BRRRRUUUKKKKK… Tubuh Yamada dihempaskan ditanah. Yamada mendapati dirinya disebuah lapangan yang luas dan diselimuti oleh awan hitam, atmosfer seketika berubah menjadi mencekam. Dihadapannya terdapat seorang wanita berambut panjang menjuntai sampai ke pinggang, seragam SMA bertransformasi menjadi gaun bercahaya berwarna biru tosca. Di belakangnya bermunculan garis-garis biru bercahaya yang membentuk kedua sayap, dia tidak sedang berdiri lebih tepatnya mengambang beberapa centimeter dari permukaan tanah.

“Dimana ini?,” tanya Yamada sambil mencoba berdiri,”dan k-kau siapa?”

“Tidakkah kau ingat tempat apa ini?” Wanita itu memandang Yamada seperti ingin meremukkannya sampai ke tulang.

“T-tentu saja tidak. I-ini pertama kalinya aku berada disini,” jawab Yamada sambil terbata-bata. Tangannya gemetar, kakinya terasa amat berat untuk bangkit dari posisinya.

Wanita itu terbang mendekati Yamada. “Haruskah aku mengingatkanmu,” wanita itu menampar wajah yamada dengan tangan kanannya. Tamparan keras itu memelantingkan Yamada beberapa meter.

“Apa yang baru saja kau lakukan?” Yamada merintih kesakitan.

Wanita itu menghentakkan sayapnya dan membentangkan cahaya yang menyilaukan mata. Wanita itu mengibaskan kilatan cahaya dan kembali membantingkan tubuh kecil Yamada. Yamada mencakar tanah dan mencoba berdiri. Namun usaha tersebut sia-sia. Wanita itu kembali menerjangkan cahaya dan melecut tubuh Yamada dengan keras. Cahaya hitam membias dari tubuh Yamada, meleburkan kemilau cahaya ungu pudar dari arah pundaknya.

“Bagaimana? kau sudah mengingatnya? Haaahh.” Suara wanita itu menggelegar, menggema dari seluruh penjuru.

Yamada masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mengapa wanita itu terlihat sangat dendam padanya? Seingat Yamada, dia tak pernah menyakiti seseorang sehingga dia pantas menerima perlakuan seperti yang baru saja dia alami. Dipandangnya lekat-lekat wanita itu dari kejauhan, yang tergurat dari wajahnya hanyalah amarah yang membuncah.

Wanita itu mendekatinya merentangkan kedua tangannya. Cakar-cakar besi yang runcing bertakhta dengan indah diujung jemari kirinya, tangan kanannya menggenggam erat belati kecil yang memancarkan cahaya merah menyala. Wanita itu mengibaskan sayapnya dengan cepat menelusuri celah-celah diantara mereka. Wanita itu menjulurkan tangan kirinya, menyemburkan cahaya bergulung ke arah Yamada. Cahaya tersebut semakin mendekat, Yamada bangkit dengan sisa tenaganya berlari menghindari kejaran cahaya yang akan menjeratnya. Naas, cahaya tersebut mencekik leher Yamada. Seperti perputaran jam, cahaya tersebut kian panas per detiknya dan membuat tenggorokan Yamada seperti terbakar.

“H-hentikan.” Yamada kesulitan bernafas.

Wanita tersebut semakin mendekati Yamada, belati yang dipegangnya siap menghunus Yamada kapan saja. Secara refleks Yamada mengibaskan tangannya dan menciptakan cahaya berwarna ungu yang meleburkan cahaya yang sejak tadi mencekiknya. Sekarang giliran wanita itu yang terpelanting jauh.

Apa yang baru saja aku lakukan? Dari mana cahaya tersebut berasal? Apa yang sebenarnya terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi setiap sel otak yang Yamada miliki.

***

          “Berengsek.”Ryosuke mengepal erat tangannya.

Ryosuke mengibaskan sayapnya melintasi Aspire, dia terbang seperti kilatan cahaya yang menembus kabut hitam. Ryosuke melakukan perjalanan dengan bimbingan setan dihatinya. Matanya menatap lurus kedepan, amarah; dendam; dan kecewa meluap dalam tatapannya. Klan Morizhura, satu-satunya tujuan yang akan didatanginya.

“Ryutaro, dimana kau?” Ryosuke mengerahkan semua pita suaranya didepan puri kecil yang dikelilingi cahaya biru.

Cahaya kecil berwarna merah terbang mendekati Ryosuke. Sesosok Zhurema berdiri dihadapan Ryosuke. Zhurema, makhluk pembiasan antara malaikat dan dewa. Semua makhluk di Aspire merupakan Zhurema, yang membedakan mereka adalah klan tempat mereka berasal.

“Heh, klan dari Yamainvi. Apa yang membawamu kemari,?” Ryutaro melipat tangannya didada.

“Kau adalah iblis. Kau sama sekali tak memiki hati nurani.” Ryosuke mengancungkan telunjuknya ke wajah Ryutaro.

“Kau tak ada bedanya denganku.” Ryutaro membuang muka dari Ryosuke.

Kepalan tangan yang telah lama ditahan oleh Ryosuke akhirnya melayang ke wajah Ryutaro. Tangan kirinya mengibaskan cahaya dan membentuk jilatan cambuk yang menghantam dada Ryutaro. Ryutaro tersedak, tubuhnya terpelanting beberapa meter ke belakang.

“Apa yang kau lakukan? Memang seperti inilah tingkah dari klan rendah.” hina Ryutaro sambil bangkit.

“Kau sadar apa yang kau lakukan pada Mariya, hah? Dia mencintaimu, dia rela mengorbankan segalanya untukmu. Tetapi dia mati sia-sia atas semua pengorbanan yang telah dia lakukan. Jika kau tidak bisa menerima cintanya, setidaknya jangan kau hancurkan hatinya.” seru Ryosuke.

“Wanita itu lagi. Aku tidak pernah memintanya menukarkan nyawanya dengan nyawaku. Dan kau terlalu bodoh karena mau melepaskan dia.” Ryutaro terbang ke arah Ryosuke.

“Bagiku kebahagiannya adalah segalanya. Dan jika memang pria itu adalah dirimu maka aku rela. Tanpa pengorbanannya kau tak akan berdiri disini sekarang.” Air mata Ryosuke mengalir.

“heh, sayang sekali. Kau sama menyedihkannya dengan wanita itu.” Ryutaro menepuk-nepuk pundak Ryosuke.

Darah Ryosuke mendidih, nafsu membunuh memenuhi semua jalan pikirannya. Ryosuke menebaskan kilatan sayap ke arah Ryutaro. Ryutaro dengan cepat terbang menghindari serangan dari Ryosuke, Ryosuke terbang mengikuti arah Ryutaro. Dua cahaya saling berkerjaran dilangit malam Aspire, membawa dua cahaya itu ke sebuah lapangan luas yang dipolesi dengan awan hitam dan kabut tebal.

Ryosuke melemparkan beberapa bola api ke arah Ryutaro, namun Ryutaro lebih lincah dari perkiraan Ryosuke. Bola api yang dilemparkan Ryosuke membakar bebatuan yang menumpuk dilapangan luas itu. Suasana yang semula gelap menjadi terang benderang seiring dengan bongkahan batu yang terbakar.

“Kemampuanmu sangat memalukan,” desah Ryutaro.

Ryutaro melepaskan serangan ke arah Ryosuke, Ryutaro mengibaskan sayapnya menciptakan cahaya api yang menjilat-jilat ke arah Ryosuke.

Ryosuke membalasnya dengan mengobarkan cahaya ungu yang meleburkan cahaya api yang diciptakan Ryutaro. Cahaya tersebut hancur di udara, Ryutaro dan Ryosuke terpental ke arah yang berlawanan. Ryosuke mengibaskan sayapnya dan kembali terbang, meskipun kobaran api yang hancur berhasil menciptakan luka dibahu kirinya.

Ryutaro bangkit dari posisinya yang tersungkur, dia mengepakkan sayapnya dan menciptakan serangan baru untuk Ryosuke. Lengan baju kirinya tercabik oleh cahaya yang dia ciptakan sendiri. Belum sempat tangannya membuat ancang-ancang, kaki kanannya telah ditarik oleh cahaya panjang yang melumpuhkan semua rasa dikakinya. Ryosuke menarik Ryutaro, dan membuat Ryutaro bersujud dibawah kakinya. Ryutaro menarik leher Ryosuke dengan cahaya ditangan kanannya. Ryosuke terjerembab di balik bebatuan panas.

Emosi yang bersarang dihati Ryosuke tak memberikan peringatan untuk menyerah atas apa yang telah dimulainya, Ryosuke melecut batu yang ada didekatnya dan melemparkannya ke punggung Ryutaro. Ryutaro terjatuh ke salah satu kawah api bekas bola api yang dibuat Ryosuke. Tulang rusuk Ryutaro berderak, bulu-bulu berhamburan dari sayapnya.

“cih,”Ryosuke membuang ludahnya,”hanya ini kemampuan klan Morizhura.”

Ryosuke terbang kearah Ryutaro yang terkulai lemah. Ryosuke membalik posisi badan Ryutaro yang tertelungkup ditanah dengan kakinya. Dijambaknya rambut Ryutaro dan dihempaskannya kembali ke tanah.

“Aku tak pernah mengira jika persahabatan kita akan berakhir seperti ini.” Ryosuke menepuk-nepuk wajah Ryutaro yang lebam akibat terpanggang api.

“Kau baru saja membuktikan bahwa kau memang tak sederajad dengan klan kami. Kau lebih mementingkan wanita dibanding sahabatmu sendiri yang kau kenal sejak kecil.” Ujar Ryutaro sambil memegang pergelangan kaki Ryosuke.

“Nyawamu berada dalam genggamanku, tetapi kau masih sanggup melontarkan hinaan padaku.”

“Kau harus tau berurusan dengan siapa.” Ancam Ryutaro.

“Aku tidak peduli. Aku harap Mariya melihat apa yang baru saja aku lakukan padamu, agar dia bisa berbahagia disurga.” Ryosuke menendang tubuh lawannya dan berjalan membelakangi Ryutaro.

Dengan nafas yang tersendat dan sayap yang mulai patah, Ryutaro melakukan upaya terakhir. Ditariknya lengan kanannya dan menciptakan cahaya api yang akan dicambukkan untuk Ryosuke, namun sejurus kemudian Ryosuke menghujamkan sebuah belati tepat ke dada kiri Ryutaro.

Ryutaro terkapar ditanah, cahaya dari tubuhnya perlahan menghilang. Sayapnya terkulai tak bertenaga, tangan kiri Ryutaro menggenggam tempat bersarangnya belati. Matanya menatap Ryosuke yang tengah berdiri penuh kemenangan disampingnya. Ryosuke berdesah puas atas tindakannya, tak terlihat penyesalan sedikit pun dari raut wajahnya. Terbayang olehnya wajah Mariya yang tengah tersenyum dari surga.

Ryosuke meninggalkan Ryutaro dalam keadaan sekarat, Ryosuke terbang dan kembali ke klan Yamainvi. Disalah satu sudut hati kecil Ryosuke, ia pun tak tega membunuh sahabatnya dengan tangannya sendiri. Namun setan yang menguasainya tak mampu dilawan oleh Ryosuke. Ryosuke terbang melintasi langit malam dengan sunggingan kecil di bibirnya.

“Kaaakaaakkkk…,” suara itu terbang ke arah Ryutaro yang mencoba menahan sakitnya.

Seorang anak perempuan dengan cahaya biru terbang dari arah berlawanan yang digunakan Ryosuke, diiringi anak laki-laki dengan cahaya kuning dibelakangnya.

Anak perempuan itu langsung memangku Ryutaro, kepala Ryutaro tenggelam dalam pelukannya.

“R-Ryosuke.” Ryutaro terbata-bata menyebutkan nama pelaku yang membuatnya sekarat.

“Adikku, bertahanlah,” pria itu mengusap-ngusap kening Ryutaro,”kami akan segera membawamu kembali ke balai pengobatan.”

Anak perempuan itu mencabut belati yang menancap di dada kakaknya. Sedangkan pria yang bersamanya mengangkat Ryutaro dan terbang kembali ke klan Morizhura. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ryutaro tak dapat diselamatkan. Bekas luka yang dialaminya beberapa waktu lalu akibat perang bersama makhluk Zughor telah membuatnya sekarat, nyawa Mariya-lah yang telah membuatnya hidup sampai hari ini. Perang Zughor telah merenggut separuh kehidupan Ryutaro dan menghabisi kedua orang tuanya.

Ryutaro diikat dan diterbangkan bersama raga-raga lain disebuah ruang angkasa yang tak jauh dari Aspire. Tangis Netsune pecah ketika melihat Ryutaro dilepas. Ia baru saja kehilangan salah seorang kakaknya setelah ditinggal oleh orang tuanya. Netsune membenamkan tangisnya kedalam pelukan hangat kakaknya yang masih hidup.

Belati yang disimpan Netsune dibawanya ke hadapan sang penguasa Aspire. Belati yang hanya diwariskan oleh klan Yamainvi membuat Ryosuke dengan cepat tertangkap. Sebagai hukuman atas kejahatannya, Ryosuke dihukum dengan dibuang ke bumi. Terlahir kembali sebagai anak manusia dan semua ingatannya akan Aspire dihapuskan.


***


          Langit membentuk gumpalan-gumpalan awan yang memerah, angin senja berhembus membawa kesejukan dari segala arah.

“Dai-chan, apa rencanamu akhir pekan ini?” Tanya seorang anak laki-laki sambil memanyunkan bibirnya.

“Mungkin aku akan seharian bermalas-malasan di rumah. Bagaimana denganmu Inoo-chan?” Daiki menatap wajah Inoo.

“Aku akan pergi ke pantai bersama adikku.” Inoo menoleh ke arah Daiki.

Inoo dan Daiki berjalan melintasi jalan setapak di samping pantai, jalan ini sering mereka lalui ketika pulang sekolah.

“Inoo-chan lihatlah pria itu,” Daiki menunjuk ke arah seorang laki-laki yang berdiri di pinggir jurang yang curam,”apa yang dilakukannya disana?”

“Ayo Dai-chan.” Inoo menarik tangan Daiki dan segera berlari menuju anak laki-laki tersebut.

Daiki dan Inoo berdiri beberapa meter di belakang pria itu. Kaki Daiki bergetar ketika matanya menatap ke dalam jurang, jurang tersebut memiliki kedalaman sekitar seratus meter. Batu karang yang cadas telah menanti didasar jurang dengan hempasan gelombang air laut dibibir bebatuan. Inoo melepaskan tas yang disandangnya, dia berlari menarik baju laki-laki tersebut dari belakang.

“Y-Yama-chan, apa yang kau lakukan dipinggir jurang ini?” Ujar Inoo terbata-bata setelah melihat wajah pria yang ditariknya.

“Yama-chan, kau tidak sedang berpikir untuk bunuh diri bukan?” Tanya Daiki keheranan.

“Kalian lihat, wanita itu ingin membunuhku. Lihat ini, lihatlah.” Yamada ketakutan sambil menunjukkan beberapa luka memar di wajah dan tubuhnya.

“Wanita? Siapa? Kau hanya sendiri disini.” Inoo melihat sekeliling, mencari jejak wanita yang disebutkan Yamada.

“Apa yang terjadi? Apakah kau baru saja berkelahi?” Daiki masih menyerang Yamada dengan beberapa pertanyaan.

“Wanita itu yang melakukannya. Dia memukulku dengan sayap-sayapnya, membanting tubuhku ke tanah.” Yamada bergidik dan terduduk lemas diatas rerumputan.

Daiki dan Inoo saling berpandangan, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang Yamada bicarakan.

Sudahlah. Tak ada gunanya aku menjelaskan dengan mereka. Mereka pasti menganggap bahwa aku hanya berhalusinasi.

Ucap Yamada dalam hati.

“Sudahlah Yama-chan, ayo kita pulang.” Inoo membantu Yamada berdiri.

“Kemarikan tanganmu, biar kubantu.” Daiki membantu Inoo memapah Yamada.

Yamada, Inoo dan Daiki berjalan kaki bersama. Sepanjang perjalanan tak ada satu kata pun terlontar dari bibir Yamada, matanya menerawang jauh dan pikirannya mengembara mencari-cari jawaban atas kejadian yang baru saja dia alami. Inoo dan Daiki mengantar Yamada kembali ke rumahnya, mereka hanya ingin memastikan bahwa Yamada sampai ke rumah dengan selamat.


–To be continued—




The End



WRITER DESIRE : Hows? Thanks for RCL and please read my other story too :3

Happy birthday my one and only Ichigo prince. Your; smile, face, voice –your presence is my force. Thank you for coming to my world. I love you...



No comments:

Post a Comment