Chapter
Five: New Life, New Threat
Aku
membuka mata saat sinar matahari pagi sudah menyelinap
dari balik tirai jendela kamar. Aku mengucek mata dan perlahan bangun. Kulirik
Suke di sebelahku masih tertidur pulas. Aku tersenyum kecut. Seperti itukah
wajahku jika sedang tidur?
Aku
menguap dan menggeliat. Lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dan
menggosok gigi, aku menuju ke dapur. Kuhentikan langkahku ketika melewati ruang
makan. Kupandangi sosok seorang wanita yang sedang tersenyum di dalam bingkai
foto.
“Ohayou, Okaasan,” sapaku sambil
tersenyum manis ke arahnya.
“Ohayou,”
Aku tersentak kaget.
“Suke?”
“Hehe...” Suke cengengesan sambil
menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Aku sudah hampir senang barusan. Aku
kira Okaasan benar-benar menjawab sapaanku.”
Suke mengerucutkan mulutnya.
“Jadi tidak senang kalau aku yang
menyapa?”
Aku menggeleng, “bukan begitu.”
“Mau menyiapkan sarapan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku bantu, ya,” tawarnya. Senyumnya
terus berkembang. Jujur, setiap kali melihat Suke tersenyum aku sangat senang. Setidaknya
mungkin itulah ‘penampakan’ku jika aku sedang tersenyum. Mungkinkah aku selama
ini tidak tega melihat Suke dipukuli karena aku membayangkan kalau yang
dipukuli itu adalah tubuhku sendiri?
“Ryo?”
Ah, aku mengerjap – bangun dari
lamunan.
“Cuci muka dulu sana!”
“Hee...”
Aku mendorong tubuh Suke ke kamar
mandi.
“Memangnya kau mau meracuni masakanku
dengan air liurmu, dih!” Aku mencibir.
“Iyaa... Iyaa...”
***
Apakah
kasih sayangku pada Suke selama ini memang palsu? Apakah aku selalu melindungi
Suke hanya karena aku tidak tega melihat tubuh yang mirip denganku dipukuli? Tapi
jujur aku memang tidak tahan dengan ini semua. Aku sudah tidak mau berkelahi
lagi. Kenapa harus ada orang jahat di kehidupan kami? Kenapa aku harus
berlindung dari orang-orang jahat? Kenapa orang-orang jahat itu ingin
membunuhku, membunuh Suke? Memangnya kami salah apa?
Aku
memeriksa isi celengan. Semakin menipis. Aku menghela napas panjang. Tuhan, apa
yang harus kulakukan? Uang tabunganku sudah tidak cukup lagi. Apa aku harus
bekerja sambilan lagi? Dan kembali meninggalkan Suke sendiri di rumah. Dan
bekerja dengan hati gelisah karena memikirkan keadaan Suke di rumah. Aarghhh...
Sungguh semua keadaan ini semakin menyiksaku!
“Ryo,”
Aku cepat-cepat menyimpan celengan itu
di lemari dan berbalik menghadap Suke.
“Apa?”
“Sedang apa?”
“Tidak.”
“Itu...”
“Hm?”
“Obatku habis,”
Ah! Sudah kuduga! Memang keadaan
paceklik kini sedang menyerang kami. Tadi pagi saja kami hanya makan telur
rebus dan nasi putih. Aku menatap Suke sambil berpikir keras.
“Ryo, aku rasa aku tak usah minum obat
lagi.”
“Hah?”
“Lagipula asmaku sekarang sudah jarang
kambuh,” lanjutnya.
“Kau bercanda,”
Selama beberapa detik suasana hening.
Sampai aku membuka suara kembali.
“Suke,”
“Hm?”
“Aku akan bekerja lagi. Apa kau bisa
menjaga dirimu selama aku bekerja?”
Suke terdiam. Kemudian mengangguk.
“Un, aku bisa. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku ingin ikut bekerja denganmu, Ryo,”
pintanya.
“Apa?? Tidak, tidak bisa!” tolakku.
“Aku tidak mau kau lelah sendiri
bekerja untuk kita,”
“Aku tidak keberatan,” ucapku.
Sebenarnya, sih, sedikit berdusta.
“Kumohon,” Suke mulai merajuk.
“Sebaiknya kau istirahat saja. Kau
tidak boleh terlalu lelah.”
Kami bertatapan. Bisa kulihat Suke
masih memohon dari tatapan matanya.
“Sudah. Kau menurut saja. Diam di sini
dan jadi anak yang baik. Aku akan ke luar mencari pekerjaan. Do’akan aku ya,”
aku menyambar jaket dari gantungan dan segera berlari ke luar.
“Hati-hati, Ryoo...” teriak Suke sambil
melambai.
Aku mengangguk.
Baiklah. Mungkin hubungan kami yang
seperti ini memang lebih baik. Aku sepertinya harus berhenti bersikap dingin
padanya. Lagipula ini semua bukan salah Suke. Mau bagaimanapun, Suke adalah
Suke. Adikku. Saudara kembarku. Tanpa diminta oleh Okaasan pun harusnya
aku memang bertanggung jawab untuk melindunginya, bukan?
Mata dan pikiranku sedikit terbuka.
Cerah.
***
“Sebenarnya
aku yang melaporkan tindakanmu pada Kitagawa-sensei.” Suara Ayumi
tercekat di tenggorokan. Ia menelan ludah. Ia siap jika Kou akan bertindak
kasar padanya. Tapi Kou hanya menatap sinis pada Ayumi.
“Kumohon berhentilah mengganggu Suke,”
Ayumi memohon.
“Terima kasih sudah jujur padaku. Aku
tidak marah soal skorsing itu. Tapi...” Kou menggantungkan perkataannya,
kemudian ia melanjutkan, “aku akan tetap mengenyahkan Suke dari dunia ini.”
“Kou,” Ayumi membulatkan matanya.
“Aku punya alasan lain. Dan lebih kuat,”
sahutnya tenang.
“Kou, apa kau sebenci itu pada Suke
karena aku dekat dengannya?”
Kou menatap dalam-dalam ke mata Ayumi,
kemudian tersenyum pahit.
“Tidak. Lagipula aku sudah tidak ingin
memikirkan masalah wanita sekarang.”
Ayumi bergeming.
“Jangan benci aku jika suatu saat kau
harus kehilangan Suke karena aku,” tutupnya. Kemudian ia berjalan menjauhi Ayumi
yang masih terpaku tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Kou terlihat mengeluarkan ponselnya dan
berbicara dengan seseorang. Kemudian ia mengubah kecepatan jalannya. Berlari.
***
Inilah hidup baru yang kujalani dengan
Suke. Aku menjadi lebih akur dengannya. Sudah seminggu aku bekerja sambilan di
sebuah toko es krim di sekitar perempatan Shibuya. Gajiku dibayar per hari,
lumayan walaupun tidak bisa menutupi semua keperluan kami.
“Ryo,” panggil salah seorang teman
kerjaku.
“Ya,”
“Ini, ada yang menitipkan ini untukmu,”
dia menyerahkan sebuah surat dalam amplop putih padaku.
“Siapa?”
“Tidak tahu, tapi seragamnya seperti
seragam sekolahmu,”
Aku mengerutkan kening – berpikir. Siapa
kira-kira? Setelah aku menerima surat itu, aku pun segera membukanya.
Sebuah tulisan tangan yang tak kukenal.
“Ryo, Suke, ini Ayah.”
Deg!
Jantungku berdetak cepat saat membaca
kalimat pertama. Langsung aku melanjutkan membacanya.
“Ryo, Suke, ini Ayah. Apa kabar kalian?
Selama ini Ayah mencari-cari kalian berdua. Ryo, temuilah Ayah di jalan Tsubaki
no. 9 besok pukul 5 sore.”
Kulipat
kembali kertas surat itu. Sambil terus berpikir. Aku tahu ini pasti jebakan.
Lagipula, apa ayahku masih hidup? Kalaupun iya, seperti apa wajahnya? Aku tidak
pernah bertemu dengannya. Sejak kecil aku dan Suke hanya tinggal dengan Okaasan.
Set!
Mataku menangkap sebuah bayangan di
sisi kiriku. Mataku menyipit menelisik setiap sudut. Aku harus waspada jika ini
adalah jebakan.
“Ryo, ambilkan satu karton es krim di
gudang!” atasanku terdengar berteriak.
“Baik,” aku segera menuju gudang dan
mengambil persediaan es krim untuk dipajang di kulkas di depan toko.
***
Kulirik
jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul empat lebih lima
puluh menit. Sepuluh menit menuju waktu perjanjian. Di mana aku harus menunggu?
Alamatnya tidak jelas. Kuputuskan untuk menunggu di persimpangan gang ini saja.
Tik... Tik...
Wah, hujan. Aku segera menepi dan
berteduh di pinggir sebuah rumah. Aku mengembuskan napas dan menggosok-gosokkan
telapak tanganku. Dingin juga ternyata.
“Hai, kau.”
Aku menoleh mencari sumber suara.
“Kau Ryo, kan?”
“Hah?” aku masih mencari-cari siapa
pemilik suara itu.
“Masuklah!” perintahnya.
“Siapa kau?” tanyaku pada seorang
laki-laki yang tiba-tiba saja berada di sampingku. Dia mengenakan jubah hitam
dan topi mafia. Wajahnya tertutup kerah jubahnya yang dinaikkan ke atas, serta
kaca mata hitam yang semakin menyamarkan wajahnya.
“Masuklah, Kagawa-san sudah
menunggumu.”
“K-Kagawa-san?”
Aku pun memasuki ruangan itu. Tidak ada
yang mencurigakan. Seperti layaknya rumah biasa. Aku terus menelusuri ruangan
itu sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Di ujung ruangan kutemukan seorang
laki-laki berpakaian jas rapi dan mengisap cerutu duduk bersantai di sofanya.
“D-dare?” tanyaku tergagap.
Laki-laki itu membuka kaca matanya.
Set!
Seketika darahku berdesir lebih cepat membuat jantungku berdegup lebih kencang. Mata itu!
***
Sudah
sore sekali, tapi Ryo belum pulang. Aku mulai cemas. Apa karena hujan ya, dia
terlambat pulang? Apa sebaiknya aku menjemputnya ke tempat kerja? Ah...
Sesampainya di sana Ryo pasti akan mengomeliku. Tapi... Ah, sudahlah. Akan
kujemput dan kubawakan payung untuknya.
Aku
berjalan menembus derasnya hujan. Hari sudah mulai gelap. Petir terus
menggelegar. Napasku pun mulai terasa sesak. Celaka, kumohon jangan kambuh
dulu. Bertahanlah.
Aku
terus berjalan menyeret kakiku dengan susah payah. Aku memegangi dadaku. Sepertinya
udara dingin ini membuat asmaku kambuh. Tidak, kumohon. Bertahanlah, Suke.
Hap!
Seseorang
mencengkeram leherku dari belakang. Aku berusaha berontak. Payungku terjatuh.
Aku pun basah kuyup. Orang itu menyeretku ke sebuah gang dan mengempaskan
tubuhku kasar.
Aku
mendongak melihatnya. Tunggu, postur seperti itu sepertinya...
“Kou, satu orang sudah beres. Kita tinggal
urus yang ini saja,”
Benar! Mereka adalah Kou dan Yuya.
Kou mendekati wajahku dan berkata, “ucapkan
selamat tinggal pada hidupmu,” kemudian dia menyeringai lebar bagaikan serigala
yang hendak memakan mangsanya.
“Kagawa-san pasti akan memberi
kita banyak uang setelah ini. Hahaha...” mereka berdua tertawa terbahak.
Menggelegar berlomba dengan suara petir.
Napasku yang semakin tersengal
membuatku sulit berkata-kata apalagi berteriak. Dadaku naik turun. Tuhan, entah
apa ini namanya. Jika ini mimpi buruk tolong bangunkan aku! Jika ini memang
akhir hidupku, tolong selamatkan Ryo. Itu saja, Tuhan. Selamatkan Ryo.
***
To be continue
No comments:
Post a Comment